30 Desember 2017

Mengupas 'Anna Karenina' Karya Tolstoy

Terbit pada akhir abad ke-19, Anna Karenina adalah mahakarya penulis Rusia Leo Tolstoy. Dalam mengupas novel ini saya akan menggunakan apa yang saya sebut 'model buah apel'. Dengan menggunakan model ini cerita akan saya bagi menjadi tiga taraf: kulit, daging, dan inti.

Novel yang saya punya adalah edisi bahasa Inggris terbitan Wordsworth Classics dengan kata pengantar E.B. Greenwood (Universitas Kent, Canterbury). Novel diterjemahkan oleh Louise dan Aylmer Maude (1918).

Saya membelinya karena membutuhkan tantangan: dari apa yang saya tangkap di sana sini, Leo Tolstoy adalah penulis besar yang karyanya begitu padat dan (oleh karena itu, tentunya) sulit untuk dipahami. Setelah sekian lama menjadi murid John Grisham, Michael Crichton, dan George Pelecanos saya siap untuk naik kelas: Leo Tolstoy (dan penulis kelas berat lainnya seperti dia).

Betapa herannya saya ketika pada saat membaca halaman-halaman pertama buku saya justru tertawa geli: Steve Oblonsky kedapatan berbuat serong dengan pengasuh anak, dan sekarang dia harus tidur di atas sofa. Adegan itu, bahasa yang dipakai, begitu ringan, begitu mudah, dan sungguh jenaka. Apakah yang dikatakan oleh orang-orang mengenai Leo Tolstoy hanya lelucon, apakah saya telah menjadi korban practical joke dunia kesusastraan?

Namun, setelah bab pertama itu, dan ketika saya terus membaca, saya pada akhirnya mendapati diri saya menyudahi setiap bab dengan tercengang. Memangnya ada orang bisa menulis sehebat ini?

Ada kalanya ada bab yang terasa mubazir dalam buku setebal 800 halaman lebih itu, tetapi ketika saya untuk pertama kalinya menemui bab seperti itu saya sudah telanjur berpasrah diri pada kepiawaian Tolstoy: yakin, ini pasti ada maknanya, yakin, ini pasti ada gunanya, entah untuk mengembangkan tokoh, entah untuk mengerucutkan motif, pokoknya, yakin saja. Dan setiap kali keyakinan itu berbalas. Tolstoy mengembangkan tokoh-tokoh utamanya hingga menjadi sosok yang tulen, dengan perangai yang terasa wajar dan mantap. Saking tulennya, malah, (begitu sudah masuk jauh ke dalam dunia novel itu) saya jadi merasa seperti sedang menguping dan mengintai orang alih-alih membaca sebuah novel.

Untuk mencapai realisme seperti itu Tolstoy mestilah seorang pengamat yang sangat jeli. Orang-orang terdekatnya dia jadikan model, tabiat mereka dia rekat-salin dari kehidupan nyata ke atas kertas. Kebiasaan menulis jurnal pribadi selama bertahun-tahun mestinya telah melatih dia menyelami isi hati dia sendiri; dia telah memahami diri dia sendiri hingga pada taraf batin, dan itu lantas menjadikannya peka dan tanggap terhadap orang lain, juga hingga pada taraf batin.

Termasuk terhadap perempuan. Tolstoy, seorang laki-laki, mestilah memodelkan Anna Karenina, tokoh utama buku, pada seorang perempuan yang waktu itu pernah atau sedang dia idamkan, dan yang gerak geriknya lantas dia cermati untuk kemudian dia abadikan di atas kertas dalam rangka memajukan alur cerita.

Misal, cara Anna, dengan gugup dan salah tingkah, di hadapan suaminya berusaha mencari dan melepaskan sebuah jepitan rambut--suaminya yang hingga malam buta menunggukan dia pulang dari acara dansa tanpa menyadari bahwa di sana Anna dan seorang bujang muda, Vronsky, telah saling jatuh cinta. Atau cara Tolstoy melukiskan Anna, Vronsky, dan rombongan berkuda mereka berderap mendekat dan bagaimana pandangan mata sekumpulan buruh tani mengikuti mereka dengan takzim. Atau cara Anna menyikapi dan dengan mudahnya mengendalikan seorang laki-laki muda yang perlente dan kurang adat yang tengah bertamu di kediamannya.

Saya tidak ingin berhenti membaca tentang Anna, tetapi dalam buku dia harus berbagi alur cerita dengan dua tokoh utama lainnya, yaitu Steve Oblonsky (kakak kandung Anna) dan Levin (sahabat dekat Steve). Ketiganya memiliki lingkaran keluarga masing-masing dan novel ini diisi oleh interaksi dalam dan antara ketiga keluarga itu (Tolstoy sendiri mengaku bahwa Anna Karenina bertemakan keluarga), dan itulah bagian 'kulit' pada buah apel saya: kehidupan berkeluarga.

Dengan memanfaatkan interaksi yang terjadi dalam dan antara ketiga keluarga itu, Tolstoy membangun dua alur cerita utama yang menjalin secara terpisah satu dengan yang lain, yaitu alur cerita Anna dan alur cerita Levin, yang lantas dihubungkan oleh satu alur cerita pendamping: alur cerita Steve Oblonsky. Baik Anna maupun Levin mendambakan kasih dan alur cerita mengisahkan pencarian mereka akan hal itu. Anna telah menikah dan dikaruniakan seorang anak, tetapi Anna tidak mencintai suaminya, yang berusia lebih tua dan yang oleh Anna digambarkan berperangai lebih mirip mesin, dan Anna menemukan apa yang dia dambakan pada diri Vronsky. Levin (yang dimodelkan atas diri Tolstoy sendiri) masih membujang dan dia berusaha memperistri seorang gadis muda bernama Kitty.

Apabila sekadar mengisahkan pencarian kedua insan itu akan kasih, buku ini kemungkinan tidak akan menyandang status sebagai novel terbaik, atau salah satu novel terbaik, sepanjang masa. Namun, pencarian akan kasih itu ibarat menjadi 'daging' novel, yaitu bagian yang lazim dipahami sebagai hal utama pada cerita.

'Inti' cerita niscaya mengisahkan pencerahan spiritual Levin yang dia alami kala sedang menderita depresi berat (dia sampai harus menyembunyikan tambang dan senapan di rumah), yang Tolstoy persandingkan dengan nasib Anna yang mengalami depresi yang sama beratnya tetapi yang pada akhirnya melakukan bunuh diri. Sumber depresi Anna adalah suaminya yang tidak ingin melepaskan anak mereka dan yang tidak kunjung menceraikannya dengan resmi, yang lantas menjadikan status Anna terkatung-katung dan sekaligus menjadikannya bahan pergunjingan dalam lingkaran sosialita (hampir semua tokoh dalam Anna Karenina berdarah biru), yang menciptakan tekanan sosial dan perasaan diluarkan.

Sebaliknya, sumber depresi Levin adalah kematian kakak kandungnya dan, mestinya, juga kematian Anna. (Tolstoy sendiri semasa kecil mengalami kematian sejumlah kerabat dekat.) Peristiwa-peristiwa itu menjadikan Levin mempertanyakan makna hidup yang lantas (namun, tanpa dia menyadarinya sendiri) menyingkap selubung alam kesunyataan.

Anna dalam depresinya mengarahkan sorotan ke luar; Levin ke dalam. Anna memersekusi orang lain; Levin diri sendiri. Anna menyerahkan kendali; Levin mempertahankannya.

Anna Karenina konon memiliki akhir yang tragis. Anggapan itu keliru. Walaupun nasib tokoh Anna Karenina betul mengalami akhir yang tragis, bukunya sendiri, lewat Levin, justru berakhir dengan sangat gemilang.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 30 Des 2017