Ilustrasi sampul Jack Prince. |
Berbagai macam pikiran merasuk dalam benak saya ihwal apa gerangan yang bisa membuat ibu guru berhalang secara mendadak, tanpa dia sempat memberikan pengumuman di kelas kemarin. Mungkin ada temannya yang sakit, mungkin dia sendiri yang sakit. Mungkin dia harus ke dokter gigi.
Guru pengganti berdiri di samping kepala sekolah dan ternyata adalah seorang bapak-bapak yang masih terlihat cukup muda, sebayalah dengan kepala sekolah. Dari meja tempat saya duduk, saya mempelajari dia dari atas sampai bawah. Selesai memperkenalkan guru pengganti kepada kami, kepala sekolah langsung pergi. Saya sesalkan perkenalannya begitu singkat. Soalnya, sekarang tinggal kita sama pak guru.
Saya mengambil sikap diam sambil menunggu; sepertinya, murid lainnya juga demikian karena tidak ada yang bersuara. Rupanya sebagai persiapan mengajar pak guru sudah membekali diri dengan setumpuk kertas fotokopian, yang mulai dia bagi-bagikan kepada kami.
Isi fotokopiannya ternyata gambar foto orang, yang terlihat serius, sakelek, sedikit muram. Sama seperti pak guru, yang begitu semua kebagian fotokopian mulai mengisahkan sebuah cerita.
Karena berdiri, semua murid terpaksa menengadah ke pak guru, yang berdiri di depan kelas di dekat dinding dengan dereten jendelanya yang menghadap ke luar, ke jalan raya. Suaranya seperti menyedot semua suara lainnya selain suara dia. Mata semua murid terarah kepada dia, terbius menyimak kisah dia, yang sepertinya sangat serius karena sekali pun dia tidak tersenyum atau tertawa.
Mungkin pak guru keliru. Mungkin kisah ini ditujukan untuk kakak-kakak kelas kami; ini kan kelas tiga, bukan kelas empat atau kelas lima yang adanya di lantai atas.
Saya melirik ke kanan dan ke kiri. Perlahan saya tengok ke belakang. Saya berusaha menangkap pandangan mata teman sekelas lainnya. Saya butuh penegasan atas firasat saya itu. Akan tetapi, tidak ada yang membalas pandangan saya. Semua mata terarah ke pak guru. Pak guru dengan bajunya yang suram. Saya melirik ke pintu keluar, tapi pikiran itu saya buang.
Untung saja karena tidak lama kemudian pak guru ternyata selesai bercerita. Berdasarkan kisahnya itu, kami diminta menulis di balik lembar fotokopian siapa menurut hemat kami orang di foto itu. Sementara kami mengerjakan tugas itu, pak guru mau keluar sebentar. Untuk minum kopi di ruang guru, batin saya.
Saya mengamati fotonya dengan saksama. Siapa ini orang? Orang sini? Tapi belum pernah lihat tuh di jalan. Mungkin dia orang penting. Soalnya… Mungkin...
Saya tulis bahwa menurut saya orang di foto itu adalah direktur pabrik cokelat Wormerveer.
Pabriknya kelihatan dari rumah saya. Saking dekatnya dari rumah saya, bunyi sirene pergantian sif juga terdengar. Dari sekolah juga dekat banget. Ini dia foto orangnya.
Sekarang saya agak curiga: jangan-jangan waktu itu pak guru lagi mengisengi kami.
Kejadiannya tahun 1984/1985. Cukup lama dan yang saya ingat pun hanya garis besarnya. Nama pak guru, wajahnya, saya tidak ingat. Seperti apa ceritanya, di mana saya duduk waktu itu. Lupa. Yang berbekas hanya perasaan saya waktu itu. Kesan saya waktu itu.
Ken Gilland dalam Hunter's Moon merangkum hal ini dengan lugas: "Ingatan bersifat lancung dan taksempurna; ia pilih-pilih dan menggiurkan." Itulah mengapa Jona Oberski menyebut Masa Kanak-Kanak sebagai sebuah novela alih-alih sebuah autobiografi, yaitu karena dia menulisnya berdasarkan ingatan, padahal ingatan adalah lancung dan taksempurna, apalagi karena waktu mengalaminya dia masih seorang bocah cilik. Seorang bocah cilik yang terjebak di tengah-tengah pusaran Perang Dunia II.
Betapa pahitnya arti sebuah penindasan dan peperangan, tulis harian Analisa dalam rubrik opininya tentang Masa Kanak-Kanak. Betul. Dan yang tak kalah pahitnya, penindasan dan peperangan masih juga dialami oleh banyak anak di zaman sekarang, pada saat ini.
Pionir Books dengan bangga mempersembahkan e-book pertama kami. Pengguna iPad, iPhone, dan Android bisa mengunduhnya di situs Wayang Force. Edisi Masa Kanak-Kanak ini memakai ilustrasi sampul Jack Prince.
Selamat membaca.
Laurens Sipahelut, penerjemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar