16 Desember 2015

Surat Terbuka kepada Donald Trump

Bapak Donald Trump, ini adalah tanggapan atas siaran pers bertajuk Donald J. Trump Statement on Preventing Muslim Immigration tertanggal 7 Desember 2015, yang dirilis kurang dari seminggu setelah penembakan massal San Bernardino dan kurang dari sebulan setelah serangan Paris. Jadi, sekali lagi Pak, ceritanya bagaimana sampai Bapak mau mencalonkan diri jadi capres Amerika Serikat?

Pak, menjalankan suatu perusahaan tidak sama dengan menjalankan suatu negara. Di dunia bisnis, yang namanya lahan, orang, dan uang tidak lebih dari aset yang bisa dimainkan seperti buah pada papan permainan monopoli, dan yang dipertaruhkan paling banter profit. Tidak demikian dalam menjalankan negara, Pak. Dalam menjalankan negara yang dipertaruhkan roh orang. Itulah. Makanya Plato dulu menyerukan pemerintahan di bawah raja filsuf, alih-alih di bawah raja biasa.

Pak Trump, ini dugaan saja, tetapi boleh saya berasumsi bahwa Bapak mencalonkan diri karena hasrat Bapak akan kekuasaan? Menurut Bapak, mestikah hasrat tersebut dilampiaskan dengan cara begini ini? Soalnya begini Pak, yang pasti yang namanya raja filsuf tidak akan mau menempatkan diri dalam posisi demikian karena dia memang tidak punya hasrat lagi akan kekuasaan. Soalnya, kekuasaan saja sudah tidak memadai lagi bagi dia.

Pasal, sang raja filsuf mendambakan hal-hal yang lebih tinggi: cinta, kebenaran, dan pengetahuan. Dia menghasratkan pencerahan, bukan hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi semua orang. Maka itu, kepemimpinan dia bakal bercirikan keinginan menjadikan manusia besar kembali, yaitu dengan cara seluas-luasnya mengembangkan pikiran rakyatnya. Dia akan menciptakan pemikir bebas. Dalam jumlah besar-besaran pula.

Masalahnya, Bapak ini bukan raja filsuf. Bapak seorang calon raja filsuf, tetapi semua orang juga begitu, Pak. Pak Trump, Bapak ini raja biasa, atau seandai terpilih menjadi presiden Bapak ini cukup bakal menjadi raja biasa saja. Apa akibatnya?

Akibatnya, rakyat Amerika, di bawah kepemimpinan Bapak yang dimotori oleh kekuasaan itu, bakal terjerembap dalam kegelapan. Bapak bakal membawa mereka menjauh dari Cinta dan ke dalam dekapan dingin Ketakutan. Alih-alih membebaskan pikiran, Bapak bakal menambah ikatan yang menahan orang dalam gua Plato. Sekarang saja kata-kata Bapak sudah mempertajam sanding sektarian -- mengencangkan ikatan dalam gua Plato -- dan itu tampaknya baru permulaan saja.

Bapak mengumbar akan menjadikan Amerika besar kembali. Tetapi itu mustahil; bukan karena Bapak tidak ingin, tetapi karena Bapak tidak bisa. Hasrat Bapak akan kekuasaan yang bakal memustahilkan itu.

Pak Trump, Bapak menurut saya orang baik-baik. Pecat diri Bapak selagi masih mungkin.

Hormat saya,

Laurens Sipahelut
#KekekalanLatenFasisme, @PionirBooks


Sampul muka 'Kekekalan Laten Fasisme'
Kekekalan Laten Fasisme
Tulisan di atas diturunkan dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme, esai filsuf Belanda Rob Riemen yang mengingatkan terhadap bahaya laten fasisme di Eropa dan menunjuk politikus Geert Wilders sebagai prototipe fasisme masa kini. Untuk info terkini tentang Kekekalan Laten Fasisme pantau kicauan ber-tagar #KekekalanLatenFasisme pada Twitter. Kekekalan Laten Fasisme dapat dipesan pada Pionir Books dan outlet daring pilihan.

15 Desember 2015

Open Letter to Donald Trump

Mr Donald Trump, this is a response to your press release titled 'Donald J. Trump Statement on Preventing Muslim Immigration' of December 7, 2015, published less than a week after the San Bernardino mass shooting and less than a month after the Paris attacks. Mr Trump, why again are you running for US presidency?

Running a business is not the same thing as running a country. In the world of business, land, people, and money are simply assets -- chips -- you can wager and the only thing at stake is the bottom line. That's not the case when running a country. When you run a country what's at stake is the very souls of the citizens. Yeah. And it's why Plato argued for rule by philosopher-kings, as opposed to by regular kings.

My I assume that you running for presidency is directly linked to your need for power? Now, you see, you needing to run for presidency doesn't necessarily mean that you should. On the contrary. No philosopher-king would volunteer himself to a position of power for the simple reason because he doesn't have the desire to be in that position. He has been there, done that.

You see, the philosopher-king craves for the higher and finer things in life: love, truth, knowledge. He desires enlightenment, and not just for himself but for everyone else as well. And because of that leadership under him would center around the idea of making man great again by way of expanding the mind of his subjects to the greatest extent possible. He would create freethinkers. Lots and lots of them as well.

But you are no philosopher-king. Yes, you're one in the making, but then again so is everyone else. Mr Trump, you're but a regular king, or you'll make for one should you get elected to presidency. Now, and what would that entail?

Your subjects, under your power-driven leadership, would become mired in darkness. You would lead them away from Love and into the eager clutches of Fear. Instead of freeing minds, you'd add to the bonds that keep people a prisoner to Plato's cave. Already your words are drawing deeper sectarian lines -- tightening the bonds in Plato's cave -- with no hope of things improving anytime soon either.

You promise to make America great again. But no, you won't, you won't make America great again. Not because you don't want to, but because you can't. Your desire for power will see to that.

You're a good man. Fire yourself while you still can.

With best regards,

Laurens Sipahelut
#KekekalanLatenFasisme, @PionirBooks

Sampul muka 'Kekekalan Laten Fasisme'
Kekekalan Laten Fasisme
Tulisan di atas diturunkan dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme, esai filsuf Belanda Rob Riemen yang mengingatkan terhadap bahaya laten fasisme di Eropa dan menunjuk politikus Geert Wilders sebagai prototipe fasisme masa kini. Untuk info terkini tentang Kekekalan Laten Fasisme pantau kicauan ber-tagar #KekekalanLatenFasisme pada Twitter. Kekekalan Laten Fasisme dapat dipesan pada Pionir Books dan outlet daring pilihan.

29 November 2015

Tanggapan Opini Geert Wilders dalam The New York Times

Pada 19 November 2015 harian The New York Times memuat opini anggota parlemen Belanda Geert Wilders dengan tajuk Let My People Vote. Dalam tulisan tersebut, Wilders mengulang pesan yang dia tuangkan dalam opini dia yang dimuat dalam harian Belanda de Volkskrant pada 5 November 2015, yaitu anti-Islam, anti-multikulturalisme, dan pemertahanan jati diri bangsa. Di bawah ini adalah tanggapan terhadap tulisan dalam The New York Times yang ditulis sebagai surat pembaca.

Yth Redaksi:

Perihal "Let My People Vote" (Op-Ed Contributor, 20 Nov): Kearifan politikus Geert Wilders sesungguhnya hanya pantas untuk debat warung kopi; akan tetapi, ajang tempat dia berdebat tidak kurang dari gedung parlemen Belanda. Hasilnya: Pidato-pidato miring tentang pajak taplak kepala, Eurabia, dan agama padang pasir alih-alih tentang kebenaran, kearifan, dan keadilan.

Geert Wilders memiliki pandangan yang cadok atas krisis migran Eropa sehingga jalan keluar yang dia tawarkan pun hal-hal yang terbatas pada prinsip ekonomi. Dia bernalar bahwa dengan menutup perbatasan maka masalah akan selesai. Dia menyerukan dilangsungkannya demokrasi langsung dalam suatu masyarakat yang mengamini kebebasan bicara tetapi belum menginsafi kebebasan berpikir.

Geert Wilders belum dilengkapi kemampuan untuk menggalakkan altruisme di dalam suatu dunia tempat egoisme adalah sifat bawaan. Bukan tanpa alasan Plato mengusulkan pemerintahan di bawah raja filsuf.

Laurens Sipahelut

Penulis seorang penerbit yang berlokasi di bilangan Tangerang Selatan yang baru-baru ini mengeluarkan edisi bahasa Indonesia esai filsuf Belanda Rob Riemen yang berjudul Kekekalan Laten Fasisme.

Sampul muka 'Kekekalan Laten Fasisme'
Kekekalan Laten Fasisme
Tulisan di atas diturunkan dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme, esai filsuf Belanda Rob Riemen yang mengingatkan terhadap bahaya laten fasisme di Eropa dan menunjuk politikus Geert Wilders sebagai prototipe fasisme masa kini. Untuk info terkini tentang Kekekalan Laten Fasisme pantau kicauan ber-tagar #KekekalanLatenFasisme pada Twitter. Kekekalan Laten Fasisme dapat dipesan pada Pionir Books dan outlet daring pilihan.

A Response to Geert Wilders's Op-Ed in The New York Times

On November 19, 2015, The New York Times published an op-ed penned by Dutch MP Geert Wilders. In it Wilders repeated his views that he expressed in an op-ed published by Dutch daily de Volkskrant on November 5, 2015: anti-Islamism, anti-multiculturalism, and preservation of national identity. The following is a response to Wilders's The New York Times piece styled as a Letter to the Editor.

To the Editor:
Re "Let My People Vote" (Op-Ed Contributor, Nov. 20): Geert Wilders's wisdom is as profound as anyone else's that manages to look smart wearing a suit, yet he gets to debate as an MP in Dutch parliament about grave issues. The result: Talks about head rag taxes, Eurabia, and desert religions instead of truth, wisdom, and justice.

He holds a myopic view regarding the European migrant crisis, seeking the solution in economic terms, thinking that closing the borders is the solution. He calls for direct democracy in a society that appreciates free speech but that's not geared up for freethinking.

Wilders lacks the capacity to argue for altruism in a world that takes egoism for granted. Plato argued for rule by philosopher-kings for a reason.

Laurens Sipahelut

The writer is a publisher based in Indonesia who has recently published an Indonesian edition of The Eternal Return of Fascism by Dutch philosopher Rob Riemen.
Sampul muka 'Kekekalan Laten Fasisme'
Kekekalan Laten Fasisme

Tulisan di atas diturunkan dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme, esai filsuf Belanda Rob Riemen yang mengingatkan terhadap bahaya laten fasisme di Eropa dan menunjuk politikus Geert Wilders sebagai prototipe fasisme masa kini. Untuk info terkini tentang Kekekalan Laten Fasisme pantau kicauan ber-tagar #KekekalanLatenFasisme pada Twitter. Kekekalan Laten Fasisme dapat dipesan pada Pionir Books dan outlet daring pilihan.

22 November 2015

Op-Ed Geert Wilders dalam The New York Times

Berikut opini politikus dan anggota parlemen Belanda Geert Wilders yang pada 19 November 2015 dimuat dalam versi daring The New York Times. Isinya mengulang pesan opini dia dalam harian Belanda de Volkskrant: anti-Islam, anti-multikulturalisme, pemertahanan kemurnian jati diri bangsa. 

Geert Wilders: Let the Dutch Vote on Immigration Policy

By GEERT WILDERS

NOV. 19, 2015


The Hague — The first thing France did after last Friday's terrorist attacks in Paris was to temporarily close its borders. It was a wise move. The attacks showed just how unsafe Europe has become as a result of the European Union's open border policies and decades of foolish decisions by governments across the Continent to open their doors to mass immigration from Islamic countries.

Mass immigration changes countries beyond recognition. Ordinary people are well aware of that. In 2008, before the current crisis, a poll in the Netherlands already showed that a majority of Dutch citizens considered the importation of huge numbers of immigrants to be the biggest mistake in their country's postwar history.

Unfortunately, there is a tendency among political elites to distrust the opinions of ordinary people. They are perceived to base their views on dark instincts and unjustified fears, rather than on rational choices. European voters, however, are highly educated, and it is ridiculous to suppose they can be easily fooled or manipulated.

We should respond to the current migration crisis by relying on the wisdom of the people and putting crucial national policies to a vote in binding referendums. This is an existential crisis that is leading to the dilution of national identity and the loss of security at a moment when the European Union has also robbed member nations of their sovereignty and the right to conduct their own asylum policies.

Europe's political elite has lost touch with the people. Citizens no longer feel represented by their national governments and parliaments.

That's why there has been growing support for parties like my own Party for Freedom in the Netherlands. Polls indicate that if elections were held today, we would be the largest party in the country.

We oppose a centralized Europe, because we realize the importance of national sovereignty and controlling our own borders. Without sovereignty, a nation cannot exist. Without borders, it can't be defined or protected. Chancellor Angela Merkel of Germany gave people in the Middle East the impression that they were welcome in Germany. This was foolish, because millions now want to come to Western Europe. But other European countries should not be the victims of Ms. Merkel's policies. Nor should they be forced to help Germany. The Poles, Hungarians, Slovaks and Czechs are entitled to have different priorities. And so are we. Our political and moral compass is not the Bundeskanzlei in Berlin, or the European Commission in Brussels.

There is a perfectly good alternative to the European Union — it is called the European Free Trade Association, founded in 1960. Switzerland, Norway, Iceland and Liechtenstein are members. E.F.T.A. stands for friendship and cooperation through free trade. It does not rob anyone of sovereignty, it doesn't aim for the political unification of its member states, but members do have access to the internal European market.

Leaving the European Union would, according to one expert study, be economically beneficial for the Netherlands; it would also allow our country to adopt its own asylum policies. We do not want to jeopardize our values by bringing in large numbers of people from a less liberal and less secular culture. Nor do we want to fall victim to increasing terrorism. Of course, genuine refugees are entitled to a safe haven. But we believe that they should be accommodated in their own region. It's a disgrace that there are no resettlement schemes in the immensely rich Persian Gulf States and Saudi Arabia. These countries have a moral obligation to take in their fellow Muslims.

Many Dutch voters are finally waking up to what we have been saying for years. Unfortunately, Dutch political elites suffer from the fatal arrogance of thinking they know better than the people. The democratic deficit in our society isn't caused only by the transfer of sovereignty to Brussels but also by the lack of ways in which citizens can correct their elected representatives and governments at the national level. To avoid what Thomas Jefferson called "elective despotism," we need to introduce direct democracy.

We need a system like Switzerland's, in which people have the opportunity to hold regular binding referendums whenever they feel that elected representatives are acting against the people's will. It's no coincidence that the Swiss never sold out their interests to Brussels. In a direct democracy, citizens exercise sovereignty directly and without mediation.

Dutch law actually allows consultative referendums. Next April, we will vote on the Association Agreement between the European Union and Ukraine. But the conditions for holding referendums are very rigid. Opponents of a bill accepted in Parliament have to collect 10,000 valid signatures in 28 days after the acceptance of the bill, followed by 300,000 more within the next 42 days (that’s about 2 percent of all Dutch citizens). Moreover, the referendum is valid only if 30 percent of the electorate votes, and even then it will not be binding.

In Switzerland, any law passed by Parliament can be overruled if opponents manage to collect 50,000 valid signatures within 100 days and then vote. Voters can also propose new legislation, if they succeed in collecting 100,000 valid signatures within 18 months. And the outcome is always binding, no matter how high or low the turnout.

The Netherlands would benefit from direct democracy. In a time of crisis, we need the wisdom of the people.

Geert Wilders is a member of the Dutch Parliament and leader of the Party for Freedom.

Sampul muka 'Kekekalan Laten Fasisme'
Kekekalan Laten Fasisme
Tulisan di atas diturunkan dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme, esai filsuf Belanda Rob Riemen yang mengingatkan terhadap bahaya laten fasisme di Eropa dan menunjuk politikus Geert Wilders sebagai prototipe fasisme masa kini. Untuk info terkini tentang Kekekalan Laten Fasisme pantau kicauan ber-tagar #KekekalanLatenFasisme pada Twitter. Kekekalan Laten Fasisme dapat dipesan pada Pionir Books dan outlet daring pilihan.

19 November 2015

Siaran Pers: 'Kekekalan Laten Fasisme', Suatu Esai oleh Rob Riemen

Sampul muka 'Kekekalan Laten Fasisme'.


KEKEKALAN LATEN FASISME

Judul asli: De eeuwige terugkeer van het fascisme
Pengarang: Rob Riemen
Harga: Rp 55.000
Tebal: 64 hlm
ISBN: 978-979-15417-8-7







Rob Riemen: Peradaban Eropa dalam Krisis

Tangerang Selatan – 11 November 2015 – Buku terbaru yang terbit dari Pionir Books, penerbit yang bermarkas di Tangerang Selatan, adalah Kekekalan Laten Fasisme (KLF), edisi bahasa Indonesia esai karya filsuf Belanda Rob Riemen yang berjudul asli De eeuwige terugkeer van het fascisme. KLF tersedia pada gerai daring pilihan.

KLF membahas munculnya kembali fasisme di Belanda pada khususnya dan Eropa pada umumnya. Di Belanda, kemunculan kembali fasisme diujungtombaki oleh politikus kanan-jauh Geert Wilders dan gerakannya Partai untuk Kebebasan (PVV), yang dalam bukunya Riemen sebut sebagai prototipe fasisme masa kini. Menurut Riemen, fasisme muncul bilamana nilai-nilai objektif atau universal digantikan dengan nilai-nilai subjektif atau personal, yang lantas menghasilkan suatu masyarakat-massa.

Masyarakat-massa lantas akan mengalami apa yang disebut nihilisme kala nilai-nilai spiritual digeser oleh suatu budaya kits yang kemudian menjalari masyarakat-massa tersebut. Apabila dipertemukan dengan krisis dan disuntik dengan dosis nasionalisme yang tinggi, keadaan tersebut akan berujung dengan fasisme. Singkat kata, fasisme adalah politisasi masyarakat-massa.

Menurut Riemen, Eropa tengah mengalami suatu krisis peradaban karena nilai-nilai universal telah luntur. Hal itu tampak lebih kentara sekarang dari bagaimana negara-negara Eropa, termasuk Belanda, menangani krisis migran. Pada saat arus migran dan pengungsi membanjiri Eropa – karena melarikan diri dari konflik, ketidakstabilan politik dan ekonomi, pelanggaran HAM, dan kemiskinan – politikus seperti Geert Wilders menyerukan penyetopan ‘invasi Islam’.

Pada saat-saat seperti itu, Geert Wilders menggalakkan nilai-nilai subjektif (penghematan anggaran, azmat, patriotisme) alih-alih nilai-nilai objektif (kebenaran, keadilan, cinta). Geert Wilders hampir bisa dipastikan akan melakukan hal serupa setelah tindakan teror yang konon dilakukan oleh kelompok IS pada Jumat malam (13/11) waktu setempat di Prancis.

Meskipun pengarang KLF berbicara dari sudut pandang Eropa, pertanyaan yang patut diajukan oleh kita adalah apakah masyarakat Indonesia sendiri merupakan suatu budaya kits dan, apabila memang betul demikian, apakah ia dapat dipolitikkan.

Riemen menyudahi bukunya dengan memberikan solusi terhadap fasisme: kita harus menemukan kembali kecintaan akan hidup dan ingin kembali mengabdikan hidup kepada hal ihwal yang sungguh-sungguh memberikan hidup – kebenaran, kebaikan, keindahan, persahabatan, istikamah, belas kasih, dan kearifan. Singkat kata, solusi dia adalah: hidupkan nilai-nilai universal.

###

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Laurens Sipahelut
info [et] pionirbooks [dot] co [dot] id
Telp.: (021) 74863255
Faks: (021) 74868267

Press Release: 'Kekekalan Laten Fasisme', the Essay by Philosopher Rob Riemen

Kekekalan Laten Fasisme
Front cover of 'Kekekalan Laten Fasisme'.

KEKEKALAN LATEN FASISME


Original title: De eeuwige terugkeer van het fascisme
Author: Rob Riemen
Price: IDR 55,000
Softcover: 64pp
ISBN: 978-979-15417-8-7




 

 

Rob Riemen: European Civilization in Crisis

Tangerang Selatan – November 11, 2015 – The latest to come out from Pionir Books, a publishing house located in the suburbs of Jakarta, Indonesia, is Kekekalan Laten Fasisme (KLF), an Indonesian translation of an essay penned by Dutch philosopher Rob Riemen. The book, titled originally De eeuwige terugkeer van het fascisme, is available at select online outlets.

KLF addresses the return of fascistic sentiments in the Netherlands and in Europe as a whole. In the Netherlands this is notably spearheaded by far-right politician Geert Wilders and his Party for Freedom movement, which Riemen in his book calls the prototypes of contemporary fascism. Fascism, according to Riemen, arises when objective or universal values are replaced by subjective or personal values to consequently produce a mass-society.

This will then give way to nihilism as spiritual values gradually give way to a kitsch culture that permeates this mass-society which, if confronted with a crisis and injected with a good dose of nationalism, will result in fascism. Fascism, in short, is the politicization of a mass-society.

According to Riemen, because of this loss of universal values, the European civilization is presently undergoing a crisis, now more apparent than ever by the way European countries, including the Netherlands, are handling the migrant crisis. While migrants and refugees are arriving in Europe – fleeing conflict, political and economic instability, human rights violations and poverty – politicians like Geert Wilders are calling for halting the 'Islamic invasion'.

Although the author is talking from a European point of view, it would be interesting to know whether Indonesia is a kitsch culture and, if so, whether it is prone to politicization.

Riemen concludes his book by providing the solution to overcoming fascism: Rediscover our love for life and devote ourselves to what truly gives life – truth, goodness, beauty, friendship, justice, compassion, wisdom. In short, his solution is to give universal values a chance.

### 

For further information, please contact:
(Mr) Laurens Sipahelut
info [et] pionirbooks [dot] co [dot] id
Tel.: +62-21-74863255
Fax: +62-21-74868267

16 November 2015

Surat Terbuka Itu kepada Geert Wilders



Yth. Bapak Geert Wilders,

Saya telah membaca tulisan Bapak dalam harian Belanda de Volkskrant tertanggal 5 November 2015, yang isinya cukup menarik. Dalam tulisan Bapak, Bapak menguraikan bagaimana kalangan elite politik Belanda sudah tidak menyambung lagi dengan masyarakat Belanda, yang, dalam kaitannya dengan krisis pencari suaka yang menjadi tema latar tulisan Bapak, menghendaki bahwasanya jati diri bangsa dilestarikan dengan cara menghalau segala sesuatu yang berbau asing, karena kalau tidak mereka bakal menyeberang perbatasan dan seperti bangsa Borg dalam Star Trek bakal 'meleburkan' bangsa Belanda sampai licin.

Amit-amit jabang bayi, tapi kalau itu sampai terjadi melawan tentu bakal perbuatan sia-sia belaka sehingga, dengan demikian, kalau saya mengikuti jalan pikiran Bapak dengan benar, Bapak bertekad untuk memberikan masyarakat Belanda hal-hal yang selama ini ditolak oleh elite politik, yaitu menutup perbatasan untuk mementalkan arus pencari suaka; meningkatkan keamanan dengan cara mengurangi Islam dan mengurangi tindak kejahatan; dan memperbaiki layanan kesehatan dan layanan lansia dengan cara memangkas pos pengeluaran yang biasanya ditujukan untuk orang migran dan Yunani nehek itu.

Singkat kata, sepertinya solusi Bapak untuk segala macam permasalahan adalah melenjan segala sesuatu menjadi dua kelompok: asing vs pribumi. Untungnya, bahasa Belanda punya dua kata yang dengan tepat tetapi santun mengungkapkan itu: allochtoon yang berarti asing dan autochtoon yang berarti pribumi. Sangat bermanfaat.

Dan sangat payah.

Pak, saya bisa salah bisa juga benar, tetapi dari kacamata Bapak: pribumi identik dengan baik, asing identik dengan tidak baik. Namun, dalam dikotomi hitam putih macam ini, pilihan yang diambil oleh kelompok yang 'baik' untuk kepentingan orang 'baik' – begitu Bapak keluhkan dalam tulisan Bapak – malah dikecam oleh rekan-rekan Bapak dan oleh media massa sebagai sesuatu yang datangnya dari suatu keadaan hati yang 'gelap dan bodoh'.

Kemudian Bapak dengan cukup keren menulis bahwa elite politik telah mengawali suatu 'mars kesintingan' yang akan mengantar seluruh Belanda ke jurang kehancuran karena, kalau saya boleh simpulkan pola pikir Bapak, tindakan mereka bertentangan dengan apa yang Bapak, dan dengan demikian masyarakat Belanda, selama ini menuntut, yaitu: tutup perbatasan; kurangi Islam; lebih banyak ini itu untuk wong cilik.

Kemudian Bapak menulis bahwa krisis pencari suaka sesungguhnya gejala dari suatu penyakit yang lebih dalam, yaitu elite politik yang tidak menyambung lagi dengan masyarakat. Soalnya, segala sesuatu yang mereka perbuat melulu kebalikan dari apa yang dihendaki oleh masyarakat, yang dihendaki oleh Bapak tentunya dan, di mata Bapak, krisis pencari suaka mempertunjukkan hal itu dengan sangat gamblang. Sehingga, Bapak pun merasa perlu untuk mereformasi sistem politik. Pasal, hanya rakyat, dan seorang Geert Wilders, dan bukan para petinggi pada parlemen tentunya, yang tahu apa yang terbaik bagi Belanda. Setelah itu, dalam tulisan Bapak, Bapak menyerukan suatu revolusi politik yang demokratis dan non-bengis.

Pak Geert, saya boleh jadi tidak setuju sama sikap Bapak yang memecah belah dan suka memaksa itu, tetapi sama yang satu ini saya setuju sekali. Saya setuju sekali bahwasanya sistem politik betul butuh dirombak total. Soalnya begini, Pak Geert: masa iya politik sistem yang berlaku sekarang ini memungkinkan siswa untuk dengan cara yang tidak patut mengambil alih tugas mengajar dari guru?

Soalnya begini, Pak Geert, sistem yang berlaku sekarang ini memungkinan Bapak untuk berbuat itu. Bukan Bapak saja sih, tetapi semua teman-teman Bapak dalam dunia politik. Padahal, untuk dapat mengambil alih tugas mengajar si siswa itu mesti luar biasa berbakat, dia mesti dianggap luar biasa maju untuk umurnya, dan dia mesti menginsafi betul seluk-beluk dunia. Soal yang terakhir itu Bapak malah menuding teman-teman Bapak di parlemen masih harus banyak belajar. Akan tetapi, kenyataannya Pak, Bapak pun begitu alias sebelas-dua belas saja.

Dan seperti halnya di dalam kebanyakan ruang kelas, ruang kelas kita yang ini juga punya tipe-tipe siswa yang paten punya. Akan tetapi, saya masih kurang yakin mau memasukkan Bapak sebagai tipe mana – tukang onar, tukang lamun, genius? – tapi yang pasti Bapak belum pantas untuk mengajar. Pasal, seorang guru dalam keadaan seperti ini bakal berbuat begini: dia akan mengajari siswa-siswanya bahwa bala adalah bagian dari hidup, bahwa ia tidak lain adalah cara bagi seseorang untuk tumbuh dan berkembang. Malah, ia bisa dikatakan merupakan kesempatan bagi kita untuk bertumbuh dan berkembang. Dia akan berkata bahwa segala upaya untuk mengelak dari bala dengan maksud memperlama nasib baik hanyalah perbuatan yang sia-sia belaka. Akan tetapi, Pak Geert (siswa), Bapak malah menganjurkan untuk mengelak. Akan tetapi, menurut hemat saya itu wajar-wajar saja.

Pasal, siswa mana sih yang dengan sukarela membiarkan dirinya mengalami bala? Ada kalanya si siswa memang bisa mengelak dari tugas-tugas tidak asyik seperti PR, tetapi tidak mungkin dia melakukan itu dengan terus-menerus. Ada kalanya dia terpaksa harus menghadapi balanya. Biasanya itu terjadi kala hidup memberikan dia cobaan yang, tidak seperti arus pencari suaka, tidak bisa dia lihat muncul dari kejauhan.

Akan tetapi, dengan menghadapi bala, betapapun itu terasa menyakitkan, Bapak justru membuka jalan untuk keberhasilan tertentu, yaitu Bapak membuka jalan untuk naik kelas dan, siapa tahu, untuk kembali sebagai seorang guru yang siap untuk mengajar. (Apa yang tidak mematikan menjadikan Bapak lebih tangguh.) Akan tetapi, bagaimana mau menghadapi bala besar kalau yang kecil saja Bapak tidak bisa atasi dengan benar? Bagaimana mau naik kelas kalau mengerjakan PR yang mudah saja tidak becus? Bagaimana mau bertumbuh menjadi lebih tangguh?

Seperti pada kebanyakan ruang kelas, ruang kelas kita yang ini juga menjadi bagian dari suatu sekolah. Kebetulan sekolah kita ini kita jadikan perumpamaan untuk gua Plato (dari perumpamaan gua Plato yang tersohor itu). Seperti yang barangkali Bapak sudah tahu, Plato seorang filsuf asal Yunani dan kebetulan saja dia menjabat sebagai kepsek pada sekolah ini, yang kita namakan Sekolah Altruisme Plato. (Yang terakhir itu karangan saya saja.)

Pada sekolah ini, perkara seperti rugi laba, kebanggaan, dan patriotisme tidak ada apa-apanya sama yang namanya Cinta. Pada sekolah ini, negara bangsa hanyalah ikhtiar untuk melayani kemanusiaan, dan tidak pernah sebaliknya. Pada sekolah ini, segala sesuatu yang Bapak begitu agungkan tidak ada artinya karena mereka sama sekali tidak membantu siswa naik kelas lantaran sifatnya yang mengekang jiwa. Nilai-nilai subjektif mengekang jiwa; nilai-nilai universal membebaskan jiwa. Jiwa harus dibebaskan sehingga jangan menggalakkan nilai-nilai yang mengekang jiwa sebagaimana yang Bapak lakukan selama ini. Galakkan nilai-nilai yang membebaskan jiwa. Dengan demikian, revolusi Bapak haruslah bertujuan mengganti nilai-nilai subjektif itu (rugi laba, kebanggaan, patriotisme) dengan nilai-nilai universal (kebenaran, keadilan, cinta). Revolusi Bapak haruslah bertujuan menjadikan siswa naik kelas dan kembali sebagai guru untuk mengajar. Itu pun kalau Bapak tidak mau semua menjadi sia-sia belaka.

Dengan demikian, apa yang saya minta dari revolusi Bapak adalah untuk mewujudkan gagasan Plato ihwal raja filsuf. Supaya afdal, hal pertama yang kita butuhkan adalah suatu masyarakat pemikir bebas. Sehingga ada bagusnya juga kalau Bapak mempertimbangkan untuk memecah revolusi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama adalah mengubah Belanda menjadi masyarakat pemikir bebas yang tulen. Itu pun kalau Bapak tidak mau semua menjadi sia-sia belaka.

Setelah masyarakat pemikir bebas kita terwujud, Bapak bisa mulai merevolusi parlemen (yakni, bagian kedua dari revolusi kita) guna menjadikan parlemen tempat yang keramat untuk Kebenaran dan Keadilan. Di tempat itu hanya seorang guru yang dapat mengajar. Itu pun kalau Bapak tidak menghendaki semua menjadi sia-sia belaka.

Begitu Belanda menjadi suatu masyarakat pemikir bebas yang bernapaskan Cinta, baru Bapak boleh menyelenggarakan berbagai referendum itu seperti di Swiss, dan ini sekaligus menjadi bagian yang ketiga dan terakhir dari revolusi kita.

Menurut saya, seharusya seperti itulah revolusi Bapak harus dijalankan. Itu pun kalau Bapak tidak mau semua menjadi sia-sia belaka.

Hormat saya,

Laurens Sipahelut
#KekekalanLatenFasisme, @PionirBooks

Tulisan di atas diturunkan dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme, esai filsuf Belanda Rob Riemen yang mengingatkan terhadap bahaya laten fasisme di Eropa dan menunjuk politikus Geert Wilders sebagai prototipe fasisme masa kini. Untuk info terkini tentang Kekekalan Laten Fasisme pantau kicauan ber-tagar #KekekalanLatenFasisme pada Twitter. Kekekalan Laten Fasisme dapat dipesan pada Pionir Books dan outlet daring pilihan.

10 November 2015

A Stupid Open Letter to Geert Wilders

Dear Mr Geert Wilders,

I have read your piece in Dutch daily de Volkskrant dated November 5, 2015, – this one right here – with great interest. In it you expound on how the Dutch political elite has been out of touch with the Dutch people, who, in the context of the asylum crisis against which you penned your penny for your thoughts, want nothing less than having their identity preserved by way of holding anything that's foreign at bay – lest of course it should cross the border and, like the Borg, assimilate everything in its path.

Should this, God forbid, happen, resistance will be very much futile, and for that reason, if I surmise your train of thought correctly, you want to give the people the very things the political elite has been denying them all this time: closed borders to repel the incoming stream of asylum seekers, strengthened security through less Islam and less crime, and improved health care and eldercare by cutting expenses destined otherwise for migrants and those damned Greeks.

In short, your solution to everything, it seems, is to lump everything together in two categories: foreign and native – and to go from there. Hell, the Dutch language now even has two neat expressions to distinguish the two: allochtoon meaning foreign and autochtoon meaning native. How helpful.

And how sad.

Now, correct me if I'm wrong, but the way you see it: foreign is synonymous with bad and native with good. However, under this stark dichotomy, the choices made by the good guys for the good of the good guys – you lament – are criticized by your colleagues and the media as coming from a place that's both 'dark and ignorant'.

Then, as you so eloquently put it, the political elite has started a 'march of madness' that will lead the entire country straight into the abyss precisely, if I may again surmise your rationale, because they have been doing the exact opposite of what you, and by extension the people, has been demanding, i.e. close the borders; less Islam; more attention for Henk & Ingrid.

You then go on to say that the asylum crisis is a symptom of a deeper-lying disease, i.e. a political elite out of touch with the people. Because all they ever do is doing the exact opposite as to what the people want, i.e. as to what you want, and, in your eyes, the asylum crisis has demonstrated this fact all too well. And therefore, this calls for a reform of the political system. Because only the people, YOU, and not the bigwigs in The Hague, know what's best for the Dutch. You then call for a democratic and non-violent political revolution.

Mr Wilders, of all the things I mentioned above (your us-against-them, my-way-or-the-highway attitude) this I can agree with. I agree that the political system could indeed benefit from a good clean-up. Because, Mr Wilders, what political system allows the student to unduly take over teaching duties from the teacher in the classroom?

Because, Mr Wilders, that's exactly what the system has allowed you to do. Well, not just you, but you and your colleagues in the world of politics. However, to be allowed to take over teaching duties the student has to be exceptionally gifted, he has to be considered exceptionally advanced for his age, he has to be well-versed in the ways of the world. You accuse your friends in The Hague to be particularly wanting in the last thing mentioned. But reality is, Mr Wilders, so are you.

And like in any classroom this one too has the obligatory stock characters. I'm not sure what to peg you as – troublemaker, daydreamer, genius? – but you're unfit for teaching duties. Because what a teacher would do in situations like these is this: he would instruct his students that adversity is part and parcel of life, that this is the very means by which one grows and matures. You could even say that it is nothing but an opportunity to grow and mature. That trying to circumvent adversity in the hope of prolonging any existing good luck is an exercise in ignorance. But you, Mr Wilders (student), you advocate such circumvention. Which, I think, can only come as natural.

After all, no student in the classroom would voluntarily allow himself to experience adversity if he could help it. At times he may very well manage to shirk homework, but he cannot expect to do so forever. There comes a time he has to face his adversities, whether he wants to or not. Most of the times this will be when life throws you a curve ball, something that, unlike the streams of asylum seekers, you cannot see coming from miles away.

But by facing your adversities, how painful that may be, you will be setting yourself up for success, and by success I mean you get to graduate from the classroom, and even come back a teacher. (What doesn't kill you makes you stronger.) But how do you expect to deal with greater adversities if you can't even address the smaller ones properly? How do you expect to graduate if you botch up even the easy assignments? How do you expect to grow stronger?

Like most classrooms, our little classroom forms part of a school. And as it so happens, this school serves as a metaphor for Plato's cave (from his famous allegory of the cave). Plato, as you might know, was a Greek philosopher and, as it so happens, he's the headmaster of this school called Plato's School of Altruism. (I made that last bit up.)

At this school, things like the bottom line, pride, and patriotism are but inferior substitutes for the real thing: Love. At this school, the nation state is but a tool in the service of humanity, and never the other way round. At this school, the things you attach so much import to mean diddly-squat because they do nothing to cause its students to make the grade for the simple reason that they cramp your mind. Subjective values cramp the mind; universal values liberate it. You want to liberate the mind, and therefore your mind-cramping subjective values don't hold a candle to the mind-liberating universal values. Your revolution should then be this: to supplant these subjective values (the bottom line, pride, patriotism) with universal values (truth, justice, love). Your revolution should then be to see students graduate from the class and come back a teacher. Anything less would be futile.

What I'm asking from your revolution is then nothing less than to fulfill Plato's argument for rule by philosopher-kings. To bake this cookie to perfection, the first ingredient we are going to need is a freethinking society. So right now you might consider to break your revolution down into several segments. The first one would be to transform the Dutch into a true freethinking society. Anything less would be futile.

After we have our freethinking society in place, you can start revolutionizing The Hague (the second part of our revolution) into a true sanctuary of Truth and Justice where teachers, and teachers only, get to teach. Anything less would be futile.

Once the Netherlands is a freethinking society operating under the philosophy of Love, then you can have your Swiss-like referendums – the third and final part of the revolution.

I think that's the only way the cookie, your revolution, should crumble. Anything less would be futile.

With best regards,

Laurens Sipahelut
#KekekalanLatenFasisme, @PionirBooks

Tulisan di atas diturunkan dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme, esai filsuf Belanda Rob Riemen yang mengingatkan terhadap bahaya laten fasisme di Eropa dan menunjuk politikus Geert Wilders sebagai prototipe fasisme masa kini. Untuk info terkini tentang Kekekalan Laten Fasisme pantau kicauan ber-tagar #KekekalanLatenFasisme pada Twitter. Kekekalan Laten Fasisme dapat dipesan pada Pionir Books dan outlet daring pilihan.

7 November 2015

Geert Wilders: Mars Kesintingan Elite Giring Belanda, Eropa ke Jurang Kehancuran

Biarkan Bangsa Berbicara Melalui Referendum*)

Demokrasi Langsung


Opini
Seperti orang Swiss, orang Belanda mesti diberikan lebih sering kesempatan untuk menentukan nasib mereka secara langsung melalui referendum.
Geert Wilders, Ketua Fraksi Partai untuk Kebebasan pada Parlemen Belanda
5 November 2015, 20:00

Pekan depan Uni Eropa akan mengadakan KTT Migrasi di Malta. Yang dibutuhkan Belanda bukanlah KTT Migrasi, tetapi Setop Migrasi. Perbedaan antara dua istilah tersebut hanyalah satu kata. Akan tetapi, perbedaan antara apa yang dilakukan oleh elite politik Eropa dan apa yang baik bagi Belanda ibarat langit dan bumi.

Dengan pengecualian beberapa yang memang bernyali, politikus zaman sekarang tidak punya keberanian untuk mendahulukan kepentingan orangnya sendiri. Apa yang menjadi keinginan mayoritas warga malah disangsikan. Kalangan politikus dan media massa sepertinya menganggap bahwa apa yang diinginkan oleh orang hanyalah pengejawantahan emosi yang gelap dan bodoh, alih-alih pilihan yang rasional.

Orang Belanda ingin mempertahankan jati dirinya. Mereka menghendaki negara yang aman, dengan layanan kesehatan yang baik dan pensiun yang tahan inflasi. (Ini) tidak dipertimbangkan.

Kalangan elite telah mengawali suatu mars kesintingan yang menggiring Belanda dan seluruh benua Eropa langsung ke dalam jurang kehancuran. Warga kian gusar dan geram. Jelas saja orang Belanda marah. Kalangan elite politik melakukan justru kebalikan dari apa yang menjadi kehendak orang. Itu terjadi berulang kali. Dan itu terus saja terjadi.

Keamanan

Krisis pencari suaka merupakan gejala dari suatu penyakit yang lebih dalam. Yaitu, suatu elite politik yang telah kehilangan kontak batin dengan bangsa. Hal itu paling kentara dalam debat (parlemen Belanda pada 14 Oktober 2015) pencari suaka. Kebanyakan orang Belanda menyadari bahwa imigrasi massal bukanlah suatu pengayaan, tetapi sesuatu yang berujung dengan hilangnya kesejahteraan, keamanan, dan jati diri.

Warga menghendaki ditutupnya perbatasan. Akan tetapi, apa yang didapat mereka? Perbatasan yang terbuka dan lebih banyak lagi pencari suaka. Mereka menghendaki keamanan. Akan tetapi, mereka mendapat lebih banyak Islam dan lebih banyak kejahatan. Mereka menghendaki layanan kesehatan yang lebih baik dan atensi yang lebih besar terhadap kaum lansia. Akan tetapi, mereka malah harus membayari orang migran dan orang Yunani.

Orang Belanda tidak lagi mengenali diri mereka dalam pemimpin-pemimpin mereka yang berpaling ke dalam itu, dalam menara gading mereka itu, yang tidak memberikan kepemimpinan tetapi justru membiarkan dirinya terseret arus pengoreksian politik dan imla Brussel. Mereka menaruh syak kepada media massa, pembentuk opini, dan hakim-hakim yang tidak belajar sesuatu apa pun dari pembunuhan atas Pim Fortuyn dan Theo van Gogh, dan yang mencela setiap orang yang membela jati diri negara kita sendiri.

Oleh karena itu, sudah waktunya untuk berbersih-bersih. Sudah waktunya untuk suatu revolusi politik tanpa kekerasan dan demokratis. Mereka yang pada saat ini berkuasa telah membawa Belanda ke tepi jurang. Rezim di Den Haag tidak tahu hidup dan sudah tidak lagi berbicara atas nama bangsa. Mereka terkejut sendiri atas apa yang telah mereka timbulkan. Oleh karena itu, sistem politik kita harus dirombak. Soalnya, satu pelajaran yang bisa dipetik dari krisis pencari suaka ini adalah: bangsalah yang paling tahu apa yang baik untuk Belanda, dan bukan para pembesar di Den Haag.

Menentukan Nasib Sendiri

Krisis pencari suaka dan permasalahan-permasalahan lainnya di Belanda bisa kita tangani apabila kita menyerahkan kembali kekuasaan kepada bangsa. Orang Belanda harus dapat menentukan masa depan mereka secara langsung.

Seperti orang Swiss, orang Belanda mesti diberikan lebih sering kesempatan untuk menentukan nasib mereka secara langsung melalui referendum. Referendum Perjanjian Asosiasi dengan Ukraina pada 6 April merupakan awal yang bagus, tetapi referendum bukanlah sesuatu yang mesti menjadi suatu kekecualian. Ia haruslah menjadi suatu norma. Dan mengikat, supaya pemerintah mengindahkan hasilnya. Seperti halnya di Swiss, tempat warganya empat kali setahun dipanggil ke kotak suara untuk berpartisipasi dalam puluhan referendum yang mengikat, pada tataran kota madya, kanton, dan negara.

Penyelenggaraan pemilihan dalam jumlah besar itu merupakan pengungkapan kehendak bangsa. Masyarakat Swiss merupakan bangsa yang azmat dan patriotik yang tidak pernah ingin melacurkan diri kepada Brussel. Kita bisa belajar banyak dari mereka. Dalam suatu demokrasi langsung bangsa melaksanakan kedaulatannya secara langsung tanpa perantara. Justru karena itu bangsa menjadi sadar akan betapa bernilainya kedaulatan nasional itu.

Pada zaman sekarang, begitu Parlemen terpilih wakil rakyat tahu bahwasanya untuk periode empat tahun mereka dapat melakukan apa saja yang ingin mereka lakukan tanpa dikoreksi sembari mengabaikan bangsa. Waktunya telah tiba untuk membarui demokrasi kita dan untuk menyelenggarakan demokrasi langsung secara lokal maupun nasional. Mari kita mencontoh orang Swiss. Orang Belanda pun harus diberikan kesempatan untuk beberapa kali dalam setahun ikut mengambil keputusan mengenai berbagai persoalan yang mereka anggap penting lewat referendum yang mengikat.

*) Tulisan di atas diambil dari harian Belanda de Volkskrant dan diturunkan dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme, esai filsuf Belanda Rob Riemen yang mengingatkan terhadap bahaya laten fasisme di Eropa dan menunjuk politikus Geert Wilders sebagai prototipe fasisme masa kini. Untuk info terkini tentang Kekekalan Laten Fasisme pantau kicauan ber-tagar #KekekalanLatenFasisme pada Twitter. Kekekalan Laten Fasisme dapat dipesan pada Pionir Books dan outlet daring pilihan.

26 Oktober 2015

Holokaus Dapat Kembali Terjadi

Timothy Snyder
Timothy Snyder. Sumber: wikipedia.org.
Pada 24 Oktober 2015, harian terkemuka Belanda de Volkskrant memuat wawancara menarik dengan Timothy Snyder, dosen sejarah pada Universitas Yale, AS. Dalam wanwancara tersebut, Snyder menyatakan bahwa Holokaus dapat kembali terjadi karena berbagai peristiwa dunia pada saat ini menunjukkan banyak persamaan dengan Eropa zaman 1930-an, kala Hitler menguasai Jerman. Berikut saduran wawancara tersebut.

Holokaus dapat kembali terjadi?
Menurut Snyder, pengamatan tersebut tidaklah terlalu aneh. Skenarionya tidak akan sama persis dengan aksi Nazi pada 1941, dalam arti bahwa Jerman akan kembali membunuh orang Yahudi, tetapi Holokaus terjadi karena hal-hal yang bisa kita tetapkan. Cukup banyak faktor tersebut kini kembali terjadi. Di masa mendatang mereka bisa saja bersinergi.

Dalam buku Black Earth, Snyder mengupas peristiwa Holokaus dan memperlihatkan bagaimana, ketika pada 1939 Hitler dan Stalin membagi Eropa Timur ke dalam wilayah Jerman dan Uni Soviet, orang Yahudi menjadi terjebak di wilayah-wilayah itu. Menurut Snyder, bukan kebetulan bahwa justru di sana banyak orang Yahudi kehilangan nyawa.

Holokaus melembak ke wilayah tempat negara-negara telah dibuat lemah, tetapi tidak lebih jauh. Di negara yang struktur politiknya masih berdiri, maka mereka-mereka yang ingin membantu orang Yahudi menjadi tertolong. Di negara-negara itu orang Yahudi yang tewas atau diangkut berjumlah lebih sedikit dibandingkan di negara tempat struktur pemerintah telah dibuat lemah.

Menurut Snyder, itu pula salah satu alasan mengapa pada waktu itu jumlah orang Yahudi yang tewas di Belanda relatif tinggi: walaupun tidak ada anarki dan walaupun instansi-instansi pemerintah masih berjalan, kepala negara dan pemerintah Belanda waktu itu telah minggat sehingga yang berkuasa adalah Jerman.

Menurut Snyder masih ada satu penyebab lain Holokaus yang jarang diangkat, yaitu kepanikan ekologis Hitler. Hitler berkeyakinan bahwasanya pada suatu saat Jerman akan kelaparan sehingga menjadi tugas dia untuk mencaplok tanah negara lain. Tanah subur Ukraina pun dipatok sebagai gudang gandum Jerman.

Dunia Hitler tidak jauh-jauh amat dari dunia kita sekarang ini
Saat ini, runtuhnya struktur negara banyak terjadi. Rusia menyatakan bahwa sesungguhnya Ukraina tidak eksis dan berusaha merontokkan negara itu. Rusia boleh dibilang menggunakan alasan-alasan sama dengan yang dipakai oleh Hitler pada 1930-an, yaitu: wilayah itu dari dulu sudah menjadi bagian dari kami sehingga sesungguhnya sekarang ia milik kami. Contoh lain: pada 2003, AS merontokkan pemerintah Irak tetapi ia tidak menggantikannya dengan alternatif yang layak. Akibatnya bisa kita lihat sekarang, termasuk krisis pengungsi.

Rusia bertekad membangun 'pabrik-pabrik pengungsi' di Suriah dengan maksud menjegal Eropa
Campur tangan Rusia di Suriah dimaksudkan untuk menciptakan arus pengungsi yang besar. Rusia berharap sistem politik Eropa tidak sanggup mengatasinya sehingga sistem akan jeblok ke kanan. Dan itu pula yang menjadi kehendak Rusia soalnya dengan begitu kalangan populis nasional yang menjadi berkuasa, dan itu akan menjadi akhir dari Uni Eropa.

Di Ukraina saja beleid Putin telah menciptakan dua juta pengungsi, padahal mereka itu orang-orang yang berbahasa Rusia, orang-orang yang Rusia berjanji akan menyelamatkannya. Tidak mustahil, menurut Snyder, apabila Rusia lantas menciptakan jutaan pengungsi Arab dengan tujuan membuat Eropa kelimpungan.

Menurut Snyder, persamaan lain antara sekarang dengan Perang Dunia Kedua adalah faktor ekologis. Waktu itu Hitler dibekap kepanikan ekologis. Pada saat ini, perseteruan di Suriah berkelindan dengan perubahan iklim.

'Inti pemikiran Hitler waktu itu ialah bahwa Jerman harus berperang demi mengamankan sumber daya. Di Suriah, konflik terjadi menyusul masa kekeringan selama empat tahun, yang diakibatkan oleh perubahan iklim yang antara lain disebabkan oleh ulah manusia. Gara-gara kekeringan tersebut, para petani memutuskan untuk pindah,' jelas Snyder.

Korban berikut setelah Suriah?
Untuk jangka panjang, Snyder memprediksi kemungkinan pecahnya konflik antara Tiongkok dan Afrika. Snyder melihat adanya persamaan antara Tiongkok masa kini dengan Jerman era 1930-an. Jumlah tanah subur dan sumber daya air Tiongkok boleh dibilang rendah. Angka pertumbuhannya menurun. Tiongkok tengah berupaya mengendalikan sejumlah besar wilayah di Afrika Timur sembari menyewa tanah di Eropa Timur. Konsekuensinya, penduduk Afrika bisa saja diusir oleh Tiongkok -- dengan atau tanpa kekerasan. Atau sebaliknya: Afrika yang menyerang Tiongkok karena alasan lahan.

Menurut Snyder, begitu kita melihat keadaan yang mana suatu negara merasa hakulyakin ia membutuhkan tambahan tanah di luar perbatasannya, kita akan kembali ke suatu keadaan mirip era 1930-an.

Masyarakat sekarang secara etis tidaklah lebih canggih dari masyarakat Eropa era 1930-an. Hitler bermain dengan emosi. Hitler bilang: kami suatu ras dan sebagai ras, agar sintas, kami harus bertempur. Hitler menciptakan rasa takut, rasa takut bahwasanya orang Jerman bisa saja dibuat binasa. Oleh karena itu, Hitler menyerukan agar Jerman mencaplok saja apa yang menjadi milik orang lain. Sekarang ini sentimen tersebut kembali marak.

Pelajaran yang bisa dipetik
Pada 1939 dan 1940, paspor pengungsi Yahudi ditarik, mereka diusir dari negaranya, atau mereka dilarang memasuki negara tempat mereka mencari perlindungan. Negara seperti Slovakia, Cheska, Hungaria, dan Polandia ikut berkontribusi pada keadaan yang menyebabkan orang Yahudi tidak diterima di mana-mana. Kontribusi mereka pada Holokaus memang tidak seperti Jerman, tetapi mereka menjalani Perang Dua Kedua terutama dengan berperan sebagai korban. 'Begitu pada saat ini kembali tercipta arus pengungsi di Eropa, negara-negara itu berkata: "Yang tertimpa ini kami loh." Akan tetapi, bukan mereka korbannya, korbannya ya para pengungsi itu. Apabila negara-negara ini mau belajar lebih banyak dari sejarah 1930-an, reaksi pertama mereka terhadap pengungsi bakal lebih arif.

'Di Cheska para pengungsi ditulisi nomor pada lengan mereka. Setelah Auschwitz itu tidak boleh terjadi lagi di Eropa. Seandai orang tahu sejarah, tidak bakal itu terjadi. Ketidaktahuan inilah yang membuat saya cemas,' ujar Snyder.

Tulisan di atas diturunkan dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme, esai filsuf Belanda Rob Riemen yang mengingatkan terhadap bahaya laten fasisme di Eropa dan menunjuk politikus Geert Wilders sebagai prototipe fasisme masa kini. Untuk info terkini tentang Kekekalan Laten Fasisme pantau kicauan ber-tagar #KekekalanLatenFasisme pada Twitter. Kekekalan Laten Fasisme dapat dipesan pada Pionir Books dan outlet daring pilihan.