19 November 2015

Siaran Pers: 'Kekekalan Laten Fasisme', Suatu Esai oleh Rob Riemen

Sampul muka 'Kekekalan Laten Fasisme'.


KEKEKALAN LATEN FASISME

Judul asli: De eeuwige terugkeer van het fascisme
Pengarang: Rob Riemen
Harga: Rp 55.000
Tebal: 64 hlm
ISBN: 978-979-15417-8-7







Rob Riemen: Peradaban Eropa dalam Krisis

Tangerang Selatan – 11 November 2015 – Buku terbaru yang terbit dari Pionir Books, penerbit yang bermarkas di Tangerang Selatan, adalah Kekekalan Laten Fasisme (KLF), edisi bahasa Indonesia esai karya filsuf Belanda Rob Riemen yang berjudul asli De eeuwige terugkeer van het fascisme. KLF tersedia pada gerai daring pilihan.

KLF membahas munculnya kembali fasisme di Belanda pada khususnya dan Eropa pada umumnya. Di Belanda, kemunculan kembali fasisme diujungtombaki oleh politikus kanan-jauh Geert Wilders dan gerakannya Partai untuk Kebebasan (PVV), yang dalam bukunya Riemen sebut sebagai prototipe fasisme masa kini. Menurut Riemen, fasisme muncul bilamana nilai-nilai objektif atau universal digantikan dengan nilai-nilai subjektif atau personal, yang lantas menghasilkan suatu masyarakat-massa.

Masyarakat-massa lantas akan mengalami apa yang disebut nihilisme kala nilai-nilai spiritual digeser oleh suatu budaya kits yang kemudian menjalari masyarakat-massa tersebut. Apabila dipertemukan dengan krisis dan disuntik dengan dosis nasionalisme yang tinggi, keadaan tersebut akan berujung dengan fasisme. Singkat kata, fasisme adalah politisasi masyarakat-massa.

Menurut Riemen, Eropa tengah mengalami suatu krisis peradaban karena nilai-nilai universal telah luntur. Hal itu tampak lebih kentara sekarang dari bagaimana negara-negara Eropa, termasuk Belanda, menangani krisis migran. Pada saat arus migran dan pengungsi membanjiri Eropa – karena melarikan diri dari konflik, ketidakstabilan politik dan ekonomi, pelanggaran HAM, dan kemiskinan – politikus seperti Geert Wilders menyerukan penyetopan ‘invasi Islam’.

Pada saat-saat seperti itu, Geert Wilders menggalakkan nilai-nilai subjektif (penghematan anggaran, azmat, patriotisme) alih-alih nilai-nilai objektif (kebenaran, keadilan, cinta). Geert Wilders hampir bisa dipastikan akan melakukan hal serupa setelah tindakan teror yang konon dilakukan oleh kelompok IS pada Jumat malam (13/11) waktu setempat di Prancis.

Meskipun pengarang KLF berbicara dari sudut pandang Eropa, pertanyaan yang patut diajukan oleh kita adalah apakah masyarakat Indonesia sendiri merupakan suatu budaya kits dan, apabila memang betul demikian, apakah ia dapat dipolitikkan.

Riemen menyudahi bukunya dengan memberikan solusi terhadap fasisme: kita harus menemukan kembali kecintaan akan hidup dan ingin kembali mengabdikan hidup kepada hal ihwal yang sungguh-sungguh memberikan hidup – kebenaran, kebaikan, keindahan, persahabatan, istikamah, belas kasih, dan kearifan. Singkat kata, solusi dia adalah: hidupkan nilai-nilai universal.

###

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Laurens Sipahelut
info [et] pionirbooks [dot] co [dot] id
Telp.: (021) 74863255
Faks: (021) 74868267

Tidak ada komentar:

Posting Komentar