29 Mei 2015

Surat Terbuka kpd Media Massa di Indonesia tentang #KekekalanLatenFasisme

28 Mei 2015

Yth para pemred media massa di Indonesia,

'Partai politik yang memungkiri paham mereka sendiri; cendekiawan yang membudayakan nihilisme yang malas; perguruan tinggi yang tidak pantas menyandang predikat tersebut; ketamakan dunia usaha; dan media-massa yang lebih memilih menjadi pembicara perut alih-alih cerminan kritis bangsa.'

Masalah-masalah yang saya sebutkan di atas saya kutip dari esai Rob Riemen, filsuf Belanda, yang bertajuk De eeuwige terugkeer van het fascisme, yang akan terbit dari penerbit kami, Pionir Books, dalam bahasa Indonesia dengan judul Kekekalan Laten Fasisme (http://bit.ly/1DAiKZ1 dan http://bit.ly/1bz9lJ3). Sejauh mana masalah-masalah tersebut, yang Riemen sebut untuk menggambarkan keadaan di negeri Belanda, juga berlaku untuk Indonesia?

Masalah-masalah tersebut di atas Riemen sebut sebagai akibat-akibat munculnya kembali fasisme masa kini, yang di Belanda diujungtombaki Geert Wilders dan gerakannya, yaitu parpol PVV (Partai untuk Kebebasan). Pertanyaannya, apakah kita, Indonesia, juga memiliki Geert Wilders-Geert Wilders lokal? Sejauh mana kerentanan Indonesia terhadap fasisme? Apakah itu fasisme?

Fasisme dimungkinkan oleh adanya budaya kits. Riemen sebut masyarakat Belanda sebagai budaya kits karena 'karena kebaikan tertinggi, yakni nilai-nilai rohaniah, dilalaikan dan seluruh eksistensi mengutamakan kesenangan.' Kits: suatu gaya hidup yang melulu mementingkan hal-hal yang menyenangkan sembari melalaikan kebaikan tertinggi. Budaya kits menghasilkan manusia-massa kasemat. Fasisme adalah politisasi mentalitas si manusia-massa kasemat.

Apakah masyarakat Indonesia juga terjerumus dalam budaya kits? Dan apabila iya, sejauh apa? Apakah ia bisa dipolitisasi?

Menurut hemat saya, permasalahan dan pertanyaan di atas adalah penting. Permasalahan yang saya tulis di atas harus disikapi; pertanyaan yang saya sebut di atas harus dijawab. Apakah media massa di Indonesia bersedia membuat ulasan? Menurut hemat saya, persoalan-persoalan di atas berkenaan dengan lubuk jiwa masyarakat Indonesia yang, apabila sukses ditetapkan, dapat menentukan haluan bangsa kita. Apakah Indonesia selamanya akan berkubang dalam kegelapan, dalam ketidaktahuan? Atau adakah harapan Indonesia suatu saat akan menjadi pelita dunia?

Menurut hemat saya, Indonesia punya harapan. Bangsa ini punya harapan untuk menjadi sebagaimana ditakdirkan oleh potensinya. Akan tetapi, mau tunggu sampai kapan kita? Indonesia harus mawas diri, mencari tahu apa yang menyebabkan bangsa ini selalu mengambil sikap sebagai korban, bukan sebagai bangsa yang bebas dan percaya diri menentukan takdirnya.

Menurut hemat saya, Indonesia, sejak 2014, telah memasuki Era Kebebasan. Era Reformasi telah ia tinggalkan. Bangsa Indonesia harus mengisi Era Kebebasan ini dengan langkah-langkah berani. Saya imbau media massa di Indonesia untuk mengangkat permasalahan besar dan penting ini.

Riemen memberikan solusi pada akhir esainya, solusi untuk mengatasi fasisme: 'Hanya setelah kita menemukan kembali kecintaan akan hidup dan ingin kembali mengabdikan hidup kepada hal ihwal yang sungguh-sungguh memberikan hidup – kebenaran, kebaikan, keindahan, persahabatan, istikamah, belas kasih, dan kearifan –, hanya setelah itu, dan tidak sebelumnya, kita akan menjadi tahan terhadap basil mematikan yang bernama fasisme.'

Apakah menurut media massa di Indonesia bangsa kita cinta akan hidup? Apakah kita sudah mengabdikan hidup kepada semua yang disebutkan itu?

Menurut hemat saya, jawabannya adalah tidak. Riemen mengutip filsuf Jerman Theodor Adorno: 'Satu-satunya kekuatan penentang tulen terhadap fenomena Auschwitz adalah otonomi diri, kemampuan untuk becermin, menentukan nasib sendiri, tidak ikutan, tidak menyesuaikan dirimu dan alih-alih individu tanpa watak, jadilah suatu kepribadian, suatu roh mandiri.'

Menurut hemat saya, dalam konteks itu, bangsa Indonesia masih jauh panggang dari api. Padahal, menurut hemat saya, itulah kunci bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang besar: menjadi bangsa yang masyarakatnya berpikir bebas dan mempertanyakan segalanya.

Bersediakah media massa di Indonesia menilai sistem pendidikan nasional kita? Sejauh apa pendidikan nasional kita mampu mencetak insan yang berpikir bebas, yang mempertanyakan segalanya? Apabila ternyata masih jauh panggang dari api, apa yang harus dilakukan? Menurut hemat saya, perbaikan-perbaikan yang harus diadakan bakal radikal.

Persoalan-persoalan di atas penting. Negara Indonesia merupakan suatu konsep ciptaan manusia. Negara Indonesia merupakan konsep yang abstrak; manusia yang tinggal di dalamnya, bangsanya, adalah nyata. Untuk maju Indonesia bukan harus mengutak-atik sistemnya, tetapi orangnya, insannya. Hanya dengan cara itu Indonesia akan mengalami kemajuan. Pasal, perbedaan antara kita dan negara maju hanya terletak pada sejauh mana bangsanya dibuat mampu dan dibiarkan berpikir bebas, mempertanyakan segalanya. Hanya itu.

Saya berharap media massa di Indonesia bersedia menyikapi persoalan dan menjawab pertanyaan di atas. Kami dari penerbit Pionir Books siap mendukung.

Terima kasih atas perhatiannya.

Hormat saya,
Laurens Sipahelut
Pionir Books

26 Mei 2015

Makna Sesungguhnya Film 'Groundhog Day'

Film komedi Groundhog Day (1993) yang disutradarai oleh Harold Ramis berkisah tt seorang penyiar TV bernama Phil (Bill Murray) yang dengan krunya yang terdiri dari juru kamera Larry (Chris Elliott) dan produser Rita (Andie MacDowell) pergi meliput acara Groundhog Day yang berlangsung setiap tanggal 2 Februari di Punxsutawney, PA. Setelah terpaksa bermalam di kota itu akibat badai salju, esok pagi dia mendapati dirinya terbangun pada tanggal itu kembali. Hal itu dengan tidak berkesudahan berulang: setiap kali tidur dia akan bangun pada tanggal 2 Februari – Groundhog Day. Dia seolah terjebak dalam suatu ikal nirakhir (endless loop).

Pada awalnya, Phil mengira dia tengah mengalami gangguan jiwa atau gangguan pada otak, tetapi setelah memeriksakan diri pada dokter dan psikolog ternyata kesehatan dia baik-baik saja. Adegan itu sekadar melancarkan alur cerita dan berguna untuk mengantarkan kita ke inti cerita.

Begitu menerima kenyataan, Phil kemudian mendapati bahwa setiap pagi dunia beserta isinya selalu menjadi kembali seperti semula: beker yang dia banting sampai berkeping-keping paginya berdiri kembali dengan utuh; setiap hari setiap orang yang dia temui menjalani tanggal 2 Februari untuk pertama kalinya. Dari sini kita memasuki inti cerita.

Mumpung tidak ada ganjaran yang harus ditanggung, Phil memutuskan untuk berajimumpung. Saat menyarap berdua Rita di kedai setempat, Phil memesan makanan sampai semeja penuh. Mulut dia jejal penuh kue dan rokok dia sulut sebagai penutup. Phil tidak menawarkan apa-apa kpada Larry yang datang menghampiri mereka dan atas pertanyaan Rita apakah dia tidak khawatir akan penyakit, Phil menyahut bahwa dia tidak punya rasa khawatir sebelum sendirinya bertanya kpada Rita:

Phil: Do you think I'm acting like this because I'm egocentric?
Rita: I know you're egocentric. It's your defining characteristic.

Phil, yang karena pekerjaannya sering tampil di layar kaca memang digambarkan sebagai sosok yang sok tenar, sok menjadi bintang; akan tetapi, makna sesungguhnya percakapan di atas adalah menetapkan Phil sebagai manusia Egoistis. Ini penting.

Dalam adegan berikut kita lantas melihat Phil tengah bermesraan dengan seorang perempuan yang sebelumnya telah kita lihat dia rayu. Menuruti hawa nafsu – memenuhi kebutuhan kebinatangan, memenuhi kebutuhan untuk sintas – menjadi tujuan hidup Phil. Akan tetapi, begitu semua kebutuhan untuk sintas telah terpenuhi dia mulai mendambakan sesuatu yang lebih tinggi: harta.

Kita menyaksikan Phil menunggui mobil baja yang tengah terparkir di muka bank dan berkat pengintaian yang entah berapa lama dia kerjakan dia dengan mudahnya menggondol tas berisi uang dari dalam mobil tersebut. Berikut kita melihat dia mengendarai sebuah mobil mewah yang dia beli dari uang yang sekarang dia miliki itu.

Akan tetapi, lama-kelamaan harta juga mulai terasa hambar. Dia butuh sesuatu yang lebih tinggi. Phil butuh kekuasaan, yang dalam hal ini dilambangkan oleh atasan dia, Rita, yang lantas dia rayu bukan karena ingin berlaku romantis tetapi karena ingin menundukkan. Lewat berbagai akal bulus dia lantas berhasil meraih apa yang dia inginkan walaupun pada akhirnya Rita mengendus niat tidak tulus Phil.

Phil adalah manusia Egoistis, manusia penerima, manusia yang cuma bisa meraih. Namun, setelah kekuasaan tidak ada lagi yang bisa dia raih. Pendambaan itu ternyata mentok pada kekuasaan. Jadi, setelah kekuasaan terasa hambar, hidup menjadi kehilangan makna. Tidak ada lagi yang dapat dihasratkan.

Apa cuma ini yang bisa diharapkan dari hidup? Adakah kehidupan setelah kematian?

Phil kehilangan gairah hidup. Dia jatuh dalam depresi dan berkali-kali bunuh diri – bagi penderita depresi kematian adalah jalan keluar. Namun, dalam lembah paling gelap sekalipun hidup seberkas cahaya. pada saat seseorang siap melakukan bunuh diri, dia hidup bukan dalam masa lalu dan bukan dalam masa depan, yaitu ranah sang ego, diri kita yang fana; dia hidup dalam kekinian – ranah Sang Diri (the Self), diri kita yang baka. Ego yang senantiasa membisiki kita bahwa dunia ini nyata, diberhentikan sementara. Sang Diri lantas diberikan kesempatan untuk mencuat dan menanam benih dalam hati kita untuk menjadikan kita mengerti bahwa dunia ini fana dan kita sesungguhnya baka.

Itulah yang dialami oleh Phil. Ketika benih itu tertanam dalam hatinya, dia mengalami pencerahan, suatu pemahaman akan hidup yang mendadak sontak muncul, seperti yang tersirat dalam percakapan kedua antara dia dan Rita di kedai menyusul lewatnya masa depresi Phil:

Phil: I'm a god.
Rita: You're God?
Phil: I'm a god. I'm not the God… I don't think.

Percakapan di atas penting karena, seperti pada percakapan pertama mereka di kedai tersebut, kita kembali menjadi tahu sesuatu tt Phil. Apabila percakapan pertama di kedai memberi tahu kita status Phil sebagai manusia Egoistis, percakapan kedua memberi tahu kita bahwa dalam hati Phil telah ditanamkan benih yang menjadikannya menyadari sesuatu, sesuatu yang membuatnya mengenggankan hal-hal dasar dan menjadikannya hanya sudi akan hal-hal mulia. Phil kini ibarat logam takmulia yang telah siap berubah menjadi emas, atau dengan kata lain: Phil telah siap berubah dari manusia Egoistis menjadi manusia Altruistis.

Pasal, begitu manusia Egoistis puas mengekspresikan diri lewat vulgarisme (harta benda, uang, kekuasaan), begitu vulgarisme mulai terasa hambar, dalam dirinya timbul hasrat untuk mengungkapkan diri lewat estetika: ilmu pengetahuan, seni, filsafat. Itulah yang terjadi pada Phil.

Phil mulai memasuki dunia estetika dan setiap langkah yang dia ambil, setiap tindakan yang dia lakukan, bertujuan untuk memuaskan hasratnya akan hal-hal estetis. Dia mengakrabi buku, dia belajar piano, dia mendalami seni pahat-es. Yaitu, hingga tiba saatnya dia bersinggungan langsung dengan kematian, dengan kefanaan, yaitu ketika seorang tunawisma yang dia ajak berkawan mengembuskan napas terakhir di rumah sakit. Lantaran peristiwa tersebut Phil menjadi sadar bahwa apa-apa yang dia dambakan pada tahap itu pun ternyata adalah fana, dan benih itu, benih yang sebelumnya telah tertanam dalam hatinya, pun berkecambah.

Mulai saat itu Phil mendambakan satu hal semata: mempertalikan diri dengan Sang Diri. Artinya, apabila sebelumnya Phil berikhtiar mempermulia ego, yaitu sifat dia yang fana, lewat kegiatan estetis, sekarang dia berikhtiar mempermulia Sang Diri, yaitu sifat dia yang baka, dan apa pun yang mulai saat itu dia perbuat, tujuannya hanya satu: mempersandingkan ego dia yang fana dengan Sang Diri yang baka.

Di alun-alun kota, saat meliput acara Groundhog Day, masih pada tanggal 2 Februari itu, dia membuat Rita dan Larry, dan juga kerumunan orang di sana, terpana ketika, dengan gaya yang jauh berbeda dari Phil yang selama itu mereka kenal, dia di depan kamera berujar:

Phil: When Chekhov saw the long winter, he saw a winter bleak and dark and bereft of hope. Yet we know that winter is just another step in the cycle of life. But standing here among the people of Punxsutawney and basking in the warmth of their hearths and hearts, I couldn't imagine a better fate than a long and lustrous winter.

Phil ingin mengatakan bahwa musim dingin, atau penderitaan, ialah bagian dari hidup. Dia telah menerima penderitaan sebagai bagian dari hidup dan dia tahu bahwa penderitaan merupakan kesempatan bagi kita untuk bertumbuh asalkan kita bisa mentransformasikan penderitaan menjadi pemahaman dan dari situ kearifan. Selain itu, dia tidak lagi berkeberatan terjeblos di kota kecil itu karena dia tahu bahwa kedamaian tidak dapat dicari dan oleh karenanya tidak tergantung pada suatu hal di luar kita: kedamaian sejati, kebebasan sejati, hanya ada dalam diri kita.

Lewat sejumlah adegan kita lantas menyaksikan seorang Phil yang telah berubah. Dia kini sosok yang selalu siap menolong dan berlaku ramah. Rangkaian adegan tersebut ingin menunjukkan bahwa Phil telah menjadi manusia Altruistis, manusia pemberi, manusia yang senantiasa menganugerahi. Phil telah berubah dari manusia Egoistis menjadi manusia Altruistis: tema film ini.

Phil adalah saya dan Anda. Phil adalah setiap orang, laki-laki maupun perempuan. Tahapan perkembangan Phil – sebagai manusia Egoistis yang, pertama, menghasratkan kebutuhan vulgar sebelum beranjak ke kebutuhan estetis untuk kemudian tumbuh menjadi manusia Altruistis – dilalui oleh setiap orang di muka bumi ini.

Tahapan perkembangan itu dilalui seseorang lewat perjalanan yang membentang masa hidup yang sangat banyak jumlahnya. (Walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa proses tersebut dilalui dalam satu masa hidup saja.) Intinya, selama orang tersebut belum tumbuh menjadi manusia Altruistis dia akan kembali ke hidup ini: dia seolah terjebak dalam suatu ikal nirakhir – reinkarnasi. dalam film hal itu ditunjukkan setiap kali Phil secara tersirat maupun tersurat bangun (lahir) pada pagi hari dan tidur (mati) pada malam hari.

Begitu Phil menyelesaikan tahapan perkembangannya dia pun mempersudah ikal nirakhirnya dan dia mendapati dirinya terbangun pada tanggal 3 Februari. Groundhog Day telah usai. Di atas tempat tidur, di samping dia, dia mendapati Rita, yang dalam hal ini melambangkan Kasih (Love). pada akhir tahapan perkembangannya Phil diganjarkan Kasih.

Tulisan ini pernah diterbitkan pada Kompasiana.com.

23 Mei 2015

Surat Terbuka kepada Sir Ken Robinson

Pada 7 Mei 2015, Pionir Books melayangkan, lewat Twitter, surat terbuka kepada Sir Ken Robinson, PhD, seorang pemikir ternama di bidang kreativitas, inovasi dan SDM pada sektor bisnis dan pendidikan. Dalam surat tersebut kami mengangkat kata 'adiwidia', yang oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai 'pengetahuan yang paling tinggi'. Dalam surat tersebut kami mempertanyakan mengapa kata itu tidak kata yang lumrah dijumpai dalam khazanah dunia pendidikan Indonesia.
Pasal, kami di Pionir Books hakulyakin bahwa agar Indonesia dapat maju, sistem pendidikan negara ini bukan lagi harus turun mesin, tetapi ganti mesin. Agar negara ini dapat maju, sistem pendidikan Indonesia haruslah dirancang sedemikian rupa sehingga ia menghasilkan insan yang mampu bernalar dengan pikiran terbuka dan mampu mempertanyakan segalanya. Sistem pendidikan Indonesia haruslah menggalakkan kurikulum yang mengangkat dan meninggikan manusia, alih-alih mengangkat dan meninggikan sistem buatan manusia (sebagaimana berlaku dan berjalan saat ini). Insan-insan tersebutlah yang lantas di kemudian hari akan diberikan tugas untuk menciptakan sistem-sistem yang pada gilirannya juga mengangkat dan meninggikan manusia dan lingkungan hidup beserta isi-isinya.
Ini dia surat kami tersebut.

#adiwidia @SirKenRobinson @jokowi_do2 @aniesbaswedan

Sir Ken Robinson,

I am writing after having downloaded and viewed your TED talk on education (http://bit.ly/1090x6F). I agree with you and would like to take it a step further.

I think that for humanity to improve and the world to become a better place, educational reform is key. Under the framework of this reform schools have to produce one thing and one thing only: people capable of thinking and questioning everything.

How is that to be accomplished? I don't know. Perhaps the education system should be modeled as such that students (from junior high on) are free to pick out classes they would like to attend according to interest and aptitude.

But the outcome should always be: people capable of thinking and questioning everything.

Today's education system is rooted in the idea that we should indulge our propensities to either amass wealth, hold power, or gain knowledge as an end in themselves rather than as a means to an end.

This is where I encourage you to read my open letter to W. Axl Rose (http://bit.ly/1RaAnan) and to watch the Bill Murray movie Groundhog Day (1993).

Yes. Really.

The reason education needs to produce people capable of thinking and questioning everything is because it must facilitate the process of people transforming themselves from the egoistic man into the altruistic man: everything else is but a means to this end. Systems of learning should become places of adiwidia, an Indonesian word borrowed from Sanskrit meaning 'the highest knowledge' or 'superior knowledge' (and a word I feel to be too obscure in the Indonesian vocabulary considering its meaning).

I live in Indonesia and I'm trying to run a very modest publishing project. Also, I'm disillusioned with the education system here.

Thank you for your time and take care.

Sincerely,

Laurens Sipahelut

22 Mei 2015

Surat Terbuka kepada W. Axl Rose

Pada awal Mei 2015 Pionir Books, lewat Twitter, menulis surat terbuka yang ditujukan kepada musisi legendaris W. Axl Rose asal Amerika Serikat sebagai tanggapan dan juga ucapan terima kasih atas surat terbuka dia kepada Presiden Joko Widodo yang isinya menentang eksekusi sejumlah terpidana mati narkotik. Dalam surat ini Pionir Books sekaligus menyiarkan filosofi yang melandasi sepak terjang Pionir Books, yang kami namai #FilosofiGroundhogDay. Akan tetapi, filosofi ini sesuatu yang bernapas dan bernyawa sehingga sewaktu-waktu dapat tumbuh berkembang menjadi sesuatu yang perlu kami namai dengan sebutan lain. Hal itu juga konsekuensi dari dan sejalan dengan dasar tuntunan hidup Pionir Books: buka pikiran, pertanyakan segalanya.
Berikut surat terbuka kami tersebut.


Open Letter to @axlrose

May 4, 2015

Mr W. Axl Rose,

I am writing in response to your open letter to Indonesian President Joko Widodo regarding the then impending executions of Andrew Chan, Myuran Sukumaran, and Mary Jane Fiesta Veloso. The letter I am referring to is this one here: https://www.facebook.com/notes/guns-n-roses/axl-roses-letter-to-indonesian-president/10153791661983222

I am no one and because of that I don't have a personal Twitter account as I have nothing to say personally, but I do have a very, very modest publishing project under which I publish translations of Dutch fiction and non-fiction to Indonesian readers and for which I do have a Twitter account, which I am using now to send you this letter.

Evil and negativity seem to appear ever more prevalent, you say. I don't know, perhaps the world has always been like this. I mean, it has got to be.

The world we experience is a reflection of us mankind and a vast majority of people making up mankind -- to an extent that it is mankind -- is egoistic. So let's talk a little bit about the egoistic human being, the egoistic man.

The egoistic man concerns itself with desires, and these desires it fulfills by taking things -- i.e. as opposed to bestowing things.

At first the egoistic man is confronted with animalistic needs. Food, shelter, sex. It must have these. Once satisfied the egoistic man looks to amass wealth, i.e. to secure its animalistic needs and to therefore not having to worry about them anymore, but it then only finds itself wanting to exercise control over other people's wealth by way of... power.

The egoistic man doesn't stop there, however, as it has one final desire to fulfill: knowledge. Art, science, philosophy, religion... Existential questions suddenly abound and they demand answers, answers the power he has now in its hands cannot address: Why am I here? What's the purpose of life? Is there life after death?

In short, the egoistic man grows out from one desire into another:
1. Animalistic needs
2. Wealth
3. Power
4. Knowledge

Each desire assimilates the one going before it. This growth is the natural order of things and therefore perfectly normal. It’s not wrong nor is it evil. However, a vast majority of people making up mankind -- to an extent that it is mankind -- is unaware of this process, which happens to be the root cause of mankind's troubles. This... ignorance.

Let's imagine four receptacles, each one being larger than the one going before it and let's arrange them from small to large. The smallest one, Receptacle #1, contains 'Animalistic Needs'. The next one, Receptacle #2 contains 'Wealth', Receptacle #3 'Power', and Receptacle #4 'Knowledge'. Now let's imagine the content of each receptacle to be a force shaped not unlike a vortex rotating at great speeds. In we go inside Receptacle #1 where we at once are picked up by the force raging in it. Round and round we go until, completely at the mercy of the force's operations, we move away from its center and are slingshot to the next receptacle: Receptacle #2. We experience there the same treatment. Boom!: #3. Until we eventually stumble upon Receptacle #4.

We stumble from one receptacle to another, ignorantly. We're slingshot from one force into another and move about not unlike pebbles in a game of ducks and drakes, experiencing in the process tremendous pain and suffering, without knowing why we experience these and for what purpose they serve, believing each time that the prevailing force is all that is and will be.

Well, it's not. None of these forces are an end; they are but a means to an end. But we believe that they are ends. We believe that being an egoistic man is all there is to it, that its fate is to wallow in these forces, experiencing tremendous pain and suffering as it is being tossed about like a rag doll in the vortexes. Well, it's not.

The fate of the egoistic man is to evolve into the altruistic man, i.e. to transform from a being that takes into a being that bestows. Standing in between these two qualities is a veil, which must be pulled apart. The tremendous pain and suffering the egoistic man undergoes serve exactly to do that: to tear the veil. A vast majority is ignorant of this. I can only wonder what the world would be like if people were aware of this and, instead of being at the mercy of the forces, recognize them, embrace them and make a purposeful beeline for the veil.

I don't mean to come down on people's ignorance on this. The altruistic man is after all a hidden quality, an Easter egg almost, to use an Information Age parlance. And it is hidden behind this veil. Meanwhile, knowledge imparted through the education system and other institutions of learning has been rigged, so to speak, to ensure things stay this way. But I know that we deserve better.

The movie Groundhog Day (1993) starring Bill Murray does a better job at explaining all the above.

Axl, I'm writing because, as a Guns fan, I wish to thank you for your open letter. Someone once wrote that Guns' diehard fans were misfits who'd made their outcast status their stance. Even at my age today that axiom still rings true for me, but with the difference that now I want everyone to be outcasts. Your letter? Penned in true outcast form.

There's another nineties movie I want to bring your attention to: Terminator 2: Judgement Day. Specifically, I'd like to point your attention to a scene involving John Connor and the Terminator, who have just met and are trying to get acquainted with each other:

John Connor: You just can't go around killing people.
The Terminator: Why?
JC: Whadda you mean why? 'Cause you can't.
TT: Why?
JC: Because you just can't, okay. Trust me on this.

That snippet of dialog is telling the same message I'm trying to say, only more succinctly. Taking the lives of Andrew Chan and Myuran Sukumaran, or of anyone else's for that matter, is wrong. Period. Trust me on this.

Take care, Axl.

Sincerely,

Laurens Sipahelut