31 Maret 2017

Film 'Silence' dalam Model E-I

Inoue, samurai tua. Foto: awardsdaily.com.
Inoue, samurai tua. Foto: awardsdaily.com.

***Spoiler Alert***

Dalam Silence (2016) yang disutradarai oleh Martin Scorsese, yang mengambil tempat di Jepang abad ke-17, Inoue (Issei Ogata), magistrat Nagasaki, melancarkan penindasan agama Katolik. Film ini ternyata tidak mengisahkan transformasi diri dari Yesus yang eksoterik ke Buddha yang esoterik (sebagaimana saya duga pada saat menonton film ini: lihat Memahami 'Silence'), tetapi... itu tidak berlaku dari sudut pandang Inoue. Dari sudut pandang Inoue, kehadiran para misionaris Katolik di negaranya justru berkenaan dengan transformasi diri terbalik dari Buddha yang esoterik ke Yesus yang eksoterik. Inoue tidak menghendaki itu terjadi pada masyarakat Jepang. Hanya itu yang bisa menjelaskan hal-hal yang dilakukan oleh dia sepanjang film.

Pada babak ketiga film, Bapa Rodrigues (Andrew Garfield), yang ditangkap dan ditahan atas perintah Inoue, diharuskan menghadap Inoue dan sejumlah pejabat teras lainnya. Rodrigues lantas diberi tahu bahwa mereka, para pemimpin dan tokoh agama di Nagasaki, sesungguhnya sudah mendalami agama yang tengah disebarkan oleh para misionaris Barat itu, dan berkesimpulan bahwa ajaran tersebut tidak sesuai untuk Jepang.

Adegan itu menarik sebab Inoue, sebagai perwakilan kalangan elite Jepang, yang ditampilkan sebagai sosok bengis yang bertanggung jawab atas sederet aksi keji terhadap rakyat kecil maupun misionaris Barat, ternyata melandasi itu semua pada suatu rasionalisasi yang mengedepankan kebaikan umum: dia tidak ingin masyarakat berpaling dari tarekat spiritualitas guna merangkul akidah religiositas. Di mata Inoue, ajaran agama Katolik ialah suatu kemunduran lantaran mengajarkan penganutnya untuk menafikan dunia batin dan mengandalkan dunia fana, untuk mencari Tuhan lewat iman alih-alih lewat tafakur.

Dalam Model E-I, inklusivisme diraih apabila unsur atasan meladeni unsur bawahan, sehingga apabila unsur Ekonomi meladeni unsur Sosial, antara keduanya dikatakan terjalin inklusivisme. Hal yang sama dapat diinduksi untuk hubungan antarunsur lainnya, seperti antara unsur Politik dan unsur Sosial.

Pertanyaannya adalah, apakah dalam film ini Inoue, sebagai perwakilan unsur Politik, menjadi peladen rakyat kecil Nagasaki, perwakilan unsur Sosial? Jawabannya: tidak. Walaupun bertujuan membina hal ihwal dunia internal/ nonfisik penduduk Nagasaki, tindakannya tidak membina emansipasi berpikir penduduk Nagasaki. Meskipun berniat baik, tindakannya yang otoriter mengklaim pekerjaan berpikir dari penduduk Nagasaki, dan lewat kebengisannya dia memberikan kesan bahwa berpikir malah sesuatu yang berbahaya. Padahal, tujuan akhir Model E-I adalah menunjukkan jalan keluar dari Gua Plato dan syarat untuk dapat meninggalkan Gua Plato adalah dimilikinya keterampilan berpikir bebas.

Kesimpulan: dalam Silence, unsur Politik bersifat eksklusif--unsur Sosial meladeni unsur Politik (bawahan meladeni atasan). Seandai bersifat inklusif, Inoue bakal memercayakan warganya untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Akan tetapi, hal itu kemungkinan juga berarti bahwa unsur Filsafat telah berhasil membina suatu masyarakat dengan keterampilan berpikir bebas, yang telah merasa mantap dan mapan dengan ajaran yang dianut, dan yang mampu menyikapi perubahan dan pengaruh luar dengan tingkat kedewasaan tertentu. Seandai bersifat inklusif, alih-alih seorang tokoh fisik, Inoue, samurai tua itu, bakal digambarkan sebagai suatu daya metafisik pada diri kita.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 31 Maret 2017

25 Maret 2017

Memahami 'Silence'

***Spoiler Alert***

Iman Bapa Ferreira (Liam Neeson) diuji dalam 'Silence'.
Iman Bapa Ferreira (Liam Neeson) diuji dalam 'Silence'.
Disutradarai oleh Martin Scorsese, Silence (2016) berkisah tentang Bapa Ferreira (Liam Neeson), seorang misionaris Yesuit asal Portugis di Jepang abad ke-17, yang dikabarkan telah membuang iman, dan bagaimana Bapa Rodrigues (Andrew Garfield) memutuskan untuk menyusul Ferreira dalam rangka mencari kebenaran kabar tersebut dan, bilamana perlu, membalikkan apostasi mantan mentornya itu. Penonton menjadi saksi bagaimana Rodrigues justru mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh Ferreira, yaitu pembuangan iman.

Pasal, di Jepang, seperti halnya Ferreira, yang ternyata betul telah mengingkari agamanya, Rodrigues mengalami cobaan berat karena penindasan agama yang tengah dilancarkan oleh Inoue (Issei Ogata), magistrat Nagasaki. (Hubungan antara Rodrigues dan Inoue mirip hubungan antara Yesus dan Pontius Pilatus.) Dalam rangka membasmi ajaran agama Katolik, Inoue menangkapi dan menyiksa rakyat jelata yang diduga telah masuk Katolik, bukan untuk menjadikan mereka membuang iman, tetapi, lewat penganiayaan mereka, justru untuk menjadikan misionaris membuang iman. Dalam mata Inoue, itu cara paling mangkus membersihkan Jepang dari agama itu.

'Harga kemasyhuran kamu adalah penderitaan mereka!' ujar Inoue kepada Rodrigues, yang harus menyaksikan penderitaan orang kecil di tangan Inoue. Rodrigues bisa mengakhiri penderitaan mereka dengan menginjakkan kakinya di atas gambar Yesus dan dengan begitu membuang iman dia, seperti yang sebelumnya juga telah dilakukan oleh Ferreira, yang melakukannya karena percaya Yesus akan melakukan hal yang sama apabila hal itu dapat menyelamatkan orang-orang yang sedang disiksa itu.

Sampai di situ saya menduga bahwa Silence mestinya berkisah tentang penyudahan ilusi yang fana dan peraihan kebenaran yang kekal, suatu ikonoklasme keagamaan dalam bentuk perjalanan pada ranah batin yang menampilkan roman Rodrigues sebagai tengaran; suatu transformasi dari Yesus yang eksoterik ke Buddha yang esoterik. Pada pertengahan film, seorang pengalih bahasa (Tadanobu Asano) berujar kepada Rodrigues:
'Hanya orang Kristen yang menganggap mereka, para Buddha itu, manusia belaka. Buddha kami niscaya sesuatu yang bisa diwujudkan oleh manusia. Sesuatu yang lebih agung dari dirinya, asal dia bisa menyudahi semua ilusi dia. Tetapi kamu justru merangkul ilusi-ilusimu dan menyebutnya iman. Pencipta kamu maha pengasih lagi maha penyayang, bukan begitu? Jadi, mengapa dia memberikan orang yang sedang menuju surga begitu banyak penderitaan?'
Apakah lewat film ini Scorsese hendak mengatakan bahwa spiritualitas menudungi religiositas, sehingga keberanjakan dari religiositas ke spiritualitas--dari Katolik ke Buddha, dari akidah ke tarekat--ialah suatu evolusi yang alamiah saja? Apakah Scorsese hendak mengupas perbedaan antara agama Buddha dengan agama Katolik, antara spiritualitas dengan religiositas--spiritualitas yang menekankan tafakur, religiositas yang menekankan iman?

Akan tetapi, seandai Silence betul merupakan bahasan mengenai transformasi diri dari pola pikir religiositas ke pola pikir spiritualitas, Scorsese, pada pengujung film, mestinya tidak menyertakan suatu adegan yang menyiratkan bahwa Ferreira, dan juga Rodrigues, ternyata masih berpaku pada pola pikir lama mereka: religiositas. Jadi, ucapan si pengalih bahasa tadi hanya bertujuan membangun pernyataan yang pada pengujung film bisa dirontokkan lewat suatu adegan yang dirancang oleh Scorsese untuk menyampaikan pesan: iman mengalahkan segalanya.

Silence adalah pengakuan iman Scorsese terhadap agama Katolik. Hanya itu yang bisa menjelaskan isi film ini.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 25 Maret 2017

12 Maret 2017

Pengertian Inklusivisme, Eksklusivisme dalam Model E-I

Dalam fasisme, unsur bawahan meladeni unsur atasan. Foto: Time.com.
Dalam fasisme, unsur bawahan meladeni unsur atasan. Foto: Time.com.
Dalam inklusivisme, pada suatu permutasi, Filsafat meladeni unsur-unsur bawahan (Politik, Ekonomi, Sosial), tetapi dalam eksklusivisme yang terjadi ialah kebalikannya: unsur-unsur bawahan-lah yang meladeni Filsafat.

Sebagai contoh, dalam fasisme, unsur bawahan (sebagaimana ditulis oleh Robert O. Paxton dalam The Anatomy of Fascism) diharapkan menjadikan takdir nasional sebagai pemenuhan tertinggi, sementara dalam demokrasi, kepada unsur-unsur bawahan dicurahkan kebebasan dalam rangka melindungi hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang seorang. Dengan demikian, yang satu meladeni hal ihwal dunia internal/ nonfisik manusia, yang satu lagi hal ihwal dunia eksternal/ fisik manusia. (Tugas negara bangsa adalah membina yang disebutkan pertama itu.)

Oleh karena itu, dalam konteks Model E-I, bisa diinduksi bahwa inklusivisme adalah keadaan tempat unsur atasan menjadi peladen unsur bawahan, sementara eksklusivisme adalah keadaan tempat unsur bawahan menjadi peladen unsur atasan.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 12 Maret 2017


'Kekekalan Laten Fasisme' karya Rob Riemen.
Kekekalan Laten Fasisme
Tulisan di atas ditulis dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen yang diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

10 Maret 2017

The Salton Sea

Val Kilmer dalam 'The Salton Sea'.
Kita melihat tanpa memahami. Foto: joblo.com.
Pukul empat subuh saya terbangun dan karena merasa jenuh dengan berbagai hal saya memutuskan untuk menonton film saja. Saya membongkar-bongkar koleksi VCD dan menemukan satu yang sesuai dengan suasana hati saya pada jam itu: The Salton Sea (2002) dengan bintang utama Val Kilmer.

Selagi menonton salah satu kucing saya menangkring di bendul jendela, mengharapkan makanan, tentunya. Dari luar kepala si kucing berunggang-anggit memandang ke dalam rumah, kepada saya, dan ke pesawat televisi. Mungkin kobaran api yang menyala-nyala pada layar kaca membuatnya berpaling ke situ dan menyita perhatiannya sesaat.

Kucing saya tidak mungkin tahu bahwa yang sedang dia tatapi itu adalah sebuah pesawat televisi yang tersambung ke pemutar VCD, yang dijalankan oleh tenaga listrik. Dia tidak mungkin tahu bahwa apa yang sedang dia amat-amati itu–film itu–ada pengarahnya, penyandang dananya, industrinya.

Pagi itu saya menjadi sadar bahwa kita tidak mungkin sendirian di jagat raya ini. Kita tidak bisa memahami apa yang menjalankan jagat raya, apa yang tersambung padanya, dan sebagainya. Kita memandangi langit seperti halnya kucing saya memandangi pesawat televisi itu, dan kita memahaminya hanya sejauh ego kita membuat kita memahaminya.

Hanya setelah kita bisa menciptakan jagat raya akan kita bisa memahaminya. Hanya setelah kucing saya memiliki kemampuan seperti manusia akan dia pahami adegan yang dia simak tadi.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 10 Maret 2017