28 Juni 2010

Empat Mata dengan Zeger van Herwaarden (Bagian 2)

Zeger van Herwaarden (Pena Wormer)Bagian kedua sesi empat mata dengan Zeger van Herwaarden, wartawan Belanda dan penulis Marco van Basten. Era AC Milan dan Oranye (2006) dalam rangka Piala Dunia Afrika Selatan 2010. Biografi striker legendaris Belanda dan AC Milan tersebut diterbitkan oleh Pena Wormer dan tersedia di toko buku Gramedia.


Menjelang partai final Liga Champions UEFA musim ini antara Bayern Muenchen dan Inter Milan, Jose Mourinho, arsitek Inter waktu itu, berujar bahwa Liga Champions sesungguhnya "lebih penting" daripada Piala Dunia sebab dalam sepak bola tingkat klub bisa dibeli dan dibangun tim-tim dengan kualitas yang lebih tinggi daripada yang bisa disusun dari pemain-pemain yang terbatas pilihannya di kancah internasional. Masalahnya, pendapat The Special One ini ada benarnya juga. Tanggapan Anda?

Pendapat Mourinho itu memang ada benarnya. Tim klub seperti Barcelona, Inter, Chelsea, dan Manchester United sudah pasti lebih kuat daripada Italia, Jerman, Spanyol atau Brasil. Setiap klub papan atas di Eropa punya koleksi pemain yang lebih lebar dan lebih dalam dibandingkan kebanyakan timnas. Selain itu, sehari-hari pemain klub berlatih dan bermain sebagai satu kesatuan sepanjang musim, sementara timnas berkumpul delapan sampai sepuluh kali setahun selama beberapa hari saja menjelang suatu pertandingan. Ditambah lagi, tim pada level klub bebas memilih materi pemain yang terbaik dari seluruh belahan dunia, dan juga mempunyai dana untuk membangun tim yang kuat, solid, dan berimbang yang berisikan pemain bintang, sementara timnas sering terbentur kendala waktu maupun materi pemain.

Akan tetapi, keterbatasan-keterbatasan ini juga yang menjadi kelebihan dan daya tarik timnas dan pertandingan sepak bola antarnegara. Tidak seperti dalam sepak bola tingkat klub (Eropa), mereka-mereka yang berduit dan berkuasa tidak bisa membeli dan mengendalikan semua aspek dari sepak bola bangsa (nation football). Meski pada tingkat klub Swedia, Denmark atau Belgia kurang eksis di Liga Champions, tapi tetap saja timnas mereka bisa cukup sukses. Swedia pada tahun 1950-an, Belgia pada 1980-an, dan Denmark yang cukup mumpuni sekarang ini. Contoh lain adalah tim Oranye, yang digadang-gadang sebagai kandidat kuat juara dunia, padahal sekarang-sekarang ini Belanda pada tingkat klub boleh dibilang telah kehilangan taji.


Berbicara soal pelatih, apakah Anda kecewa saat Marco van Basten menolak kesempatan untuk menukangi AC Milan?

Sangat disayangkan memang bahwa Van Basten tidak bisa menerima tawaran AC Milan; konon karena dia secara fisik tidak bisa melatih suatu tim sepak bola papan atas pada tataran internasional. Kabarnya, ankle kanan dia sedang bermasalah.


Anda tinggal di Amsterdam. Ada tidak anak-anak atau remaja yang terlihat bermain bola di jalan? Apakah ada korelasi antara sepak bola jalanan dan sepak bola profesional Belanda?

Sepak bola jalanan sangat eksis di Amsterdam. Saat musim panas sepak bola juga dimainkan di taman-taman kota, terutama di lapangan atau gelanggang khusus sepak bola yang berlapiskan permukaan keras dan halus yang cocok untuk permainan empat lawan empat. Di seluruh kota tersebar 'gelanggang-gelanggang sepak bola', yang bentuknya boleh dibilang seragam satu sama yang lain. Beberapa di antaranya ada yang disponsori dan diselenggarakan oleh Yayasan Johan Cruyff, yang selama beberapa tahun belakangan ini memang aktif di bidang ini; lainnya sudah ada jauh sebelum itu, tahun 1980-an dan 1990-an. Banyak anak (laki-laki, tapi juga perempuan) berumur lima atau enam tahun ke atas rutin mendatangi gelanggang-gelanggang sepak bola tersebut, bahkan pada saat cuaca kurang mendukung.

Betul bahwa ada korelasi antara teknik permainan yang diperlihatkan di gelanggang-gelanggang sepak bola Amsterdam (dan juga di kota lainnya seperti Rotterdam, Utrecht, Den Haag) dan gaya sepak bola Belanda pada tingkat klub profesional dan timnas. Akan tetapi, hubungan ini sesungguhnya mulai mengendur selama dua dasawarsa belakangan ini karena pemain-pemain belia Belanda dipaksa mulai belajar bermain secara profesional dan terstruktur pada usia yang kian muda. Di Belanda, taktik dan peraturan membayang-bayangi kesenangan anak dalam bermain dengan bola – kegembiraan dalam memainkan sepak bola (murni sebagai suatu aktivitas) tanpa terlalu berorientasi hasil – pada usia yang semakin muda. Pemain muda yang berbakat dicekoki lebih banyak soal taktik daripada teknik pada usia yang kelewat dini (setidaknya, menurut saya). Permainan tim profesional sering kali justru membendung kreativitas dan ketrampilan individual, biasanya bahkan sebelum seorang pemain berbakat mencapai umur sepuluh tahun. Menurut saya, apa yang kami lakukan ini justru melemahkan aset 'unik' yang kami miliki (individualitas, kreativitas, dan dahaga akan petualangan dan invensi) dengan terlalu menitikberatkan aspek organisasi dan peraturan dalam diri anak yang bermain di sepak bola klub.


Negara Italia punya tempat khusus dalam hati Anda. Apa masakan Italia yang paling Anda gemari?

Masakan Italia kegemaran saya:
  • Antipasta: crostini miste (pommodori dan funghi);
  • Primo: spaghetti all vongole;
  • Secondo: bisteccha a la Fiorentina;
  • Dolce: tira misu (plus es limoncello);
  • Doppio espresso.



Apa buku yang sangat ingin Anda tulis tapi sampai sekarang belum kesampaian?

Saya baru merampungkan Het Oranje WK-boek (Buku Piala Dunia Oranye), yang mengupas sejarah timnas Belanda di Piala Dunia, dengan tebal 600 halaman, yang [di Belanda] telah terbit pada Mei tahun ini. Oleh karena itu, saat ini belum terpikir untuk menulis buku baru. Namun, saya punya beberapa ide tentang gaya dan kepelatihan sepak bola Belanda. Khususnya tentang fakta menarik bahwa gagasan dan metode dan pelatih Belanda laris dipakai di seluruh belahan dunia sepak bola.

Akan tetapi, di luar topik olahraga, baru-baru ini saya mulai menulis novel kedua saya. Tiga tahun lalu, pada musim panas 2007, terbit novel saya yang berjudul Victors zomer (Musim Panas Victor) yang mengisahkan seorang remaja berusia enam belas tahun yang tumbuh dewasa secara cepat dan secara cukup dramatis pada suatu musim panas Italia yang panjang, terik, dan penuh peristiwa. Singkat kata, musim panas yang tak terlupakan; suatu proses pendewasaan kilat. Karya fiksi berikut dari saya adalah tentang seorang pemuda berusia 20-an tahun yang sedang mengalami krisis parah. (pena wormer)


Zeger van Herwaarden
Di Belanda, menulis antara lain untuk media: Het Parool, Johan, dan Voetbal International. Pada 2003, ia untuk kali pertama dimuat dalam majalah sastra sepak bola Belanda Hard Gras dengan karya yang membersitkan keterpikatannya pada striker legendaris Belanda Marco van Basten dan negeri Italia.
Selain Marco van Basten. Era AC Milan dan Oranye (2006), karya lainnya adalah, antara lain, Voetbalkampioenen van Europa (2008) atau Football Champions of Europe dan Het Oranje WK-boek (2010) atau The Orange World Cup Book, yang secara tuntas menceritakan sejarah sepak bola timnas Belanda dalam konteks Piala Dunia.

25 Juni 2010

Empat Mata dengan Zeger van Herwaarden (Bagian 1)

Wawancara Zeger van Herwaarden dalam Tabloid BOLADalam rangka Piala Dunia Afrika Selatan 2010, Zeger van Herwaarden (1972), penulis biografi Marco van Basten. De jaren in Italiƫ en Oranje (2006) yang terbit dari Pena Wormer dengan judul Marco van Basten. Era AC Milan dan Oranye (2006), meluangkan waktu untuk menjawab sejumlah pertanyaan seputar pesta sepak bola terbesar di dunia tersebut dan tim nasional Belanda yang akan diturunkan dalam dua bagian.

Berikut bagian pertama sesi empat mata dengan Zeger van Herwaarden.



Dengan materi pemain seperti Wesley Sneijder, Arjen Robben, dan Robin van Persie skuad Belanda layak melaju jauh di Afsel. Tapi, apa yang kira-kira bisa berjalan salah?

Hanya satu masalah utama Belanda, yakni memiliki pertahanan yang oke, tapi bukan kelas dunia. Bek dan kiper timnas tak bisa dikatakan sempurna. Kiper Maarten Stekelenburg memiliki reaksi dan ketenangan yang baik saat menghadapi situasi one-on-one, tapi ia sangat buruk menangani bola-bola atas. Padahal Stekelenburg bertubuh tinggi. Dengan kata lain, semua serangan tipe ini sangat berbahaya dan Belanda sangat ringkih ketika berada dalam tekanan di penalty-area, terlebih ketika menghadapi Brasil, Argentina, atau Spanyol.

Menurut saya, Giovanni van Bronckhorst, bek kiri kami, bakal yang pertama yang kewalahan sebab dia bukan defender sejati dan di usia 35 dia sudah terlalu tua untuk menghentikan langkah penyerang kelas dunia. Di tengah, kemampuan Johnny Heitinga (Everton) dan Joris Mathijssen (HSV) telah terasah setelah beberapa tahun terakhir ini merumput di luar negeri, tapi, menurut hemat saya, belum cukup untuk secara efektif mengekang striker papan atas macam Fernando Torres, Higuain, Milito, atau Robinho.

Pemain muda Ajax Gregory van der Wiel akan mengisi posisi bek kanan. Di usia yang baru 22 tahun, dia defender yang sangat mumpuni. Dari segi teknis dan ofensif, dia adalah salah satu yang terbaik di Eropa; dia rajin naik ke lini tengah untuk membantu penyerangan (lewat umpan-umpan silangnya yang sangat tajam). Namun, di sisi lain, dia kadang lengah dalam menjalankan tugas sebagai defender. Kadang kala saat Ajax atau Oranye berada dalam tekanan serius, pikiran dia seperti sedang berada di tempat lain.

Akan tetapi, secara keseluruhan, bagi Oranye berlaku hal ini: dia tim kelas dunia pada saat memegang bola tapi begitu bola lepas cerita bisa berubah, di mana salah penyebabnya adalah telah lengsernya kiper utama Edwin van der Sar.


Apa perbedaan taktik Bert van Marwijk, pelatih tim Belanda sekarang, dan pendahulunya, Marco van Basten?

Tidak terlalu banyak perbedaan. Van Marwijk tetap menggunakan empat bek, dua gelandang bertahan, tiga gelandang serang, dan satu penyerang. Dengan kata lain, enam pemain bertahan dan menyuplai bola keempat pemain menyerang. Bagi saya, empat pemain itu adalah Arjen Robben, Robin van Persie, Wesley Sneijder, dan Rafael van der Vaart. Satu-satunya tugas bertahan mereka adalah untuk tidak beranjak dari posisi masing-masing sehingga marker mereka tidak bisa naik membantu serangan.

Perbedaan terbesar skuad ini dengan dua tahun lalu adalah usia. Pemain seperti Van der Vaart, Van Persie, Nigel de Jong, dan John Heitinga merupakan kelahiran 1983 atau 1984 yang dianggap usia sempurna bagi pesepak bola, yakni cukup muda, matang, dan berpengalaman. Jadi, tidak seperti di Euro 2008 dan Piala Dunia 2006, para pemain sedang berada dalam masa terbaiknya.

Satu perbedaan penting lagi adalah penyerang tengah. Alih-alih striker murni seperti Ruud van Nistelrooij, penyerang tengah sekarang diisi seorang pemain kombinasi yang andal: Van Persie. Dengan (kemungkinan besar) didampingi Sneijder, Robben, dan Van der Vaart atau Dirk Kuijt, penyerangan Belanda versi 2010 lebih ditekankan pada kombinasi-kombinasi pendek dan cepat yang, dalam banyak kesempatan, dilancarkan lewat poros tengah alih-alih melulu dari sisi luar lapangan tempat dua gelandang bermain menempeli garis lapangan.

Kemiripan dengan Oranye besutan Van Basten (yang menemukan bentuk finalnya tepat menjelang Euro 2008) masih lebih banyak daripada perbedaannya, tapi timnas yang ditukangi Van Marwijk ini malah campuran yang lebih balans antara Total Football Cruyff yang dinamis pada 1974, kepiawaian Brasil pada awal 1980-an (dengan teknikus mumpuni seperti Zico, Junior, Cerezo, dan Socrates), serta organisasi, kemantapan, dan efektivitas yang menjadi ciri timnas Spanyol sekarang ini.


Apa saja nilai lebih timnas Belanda yang tidak dimiliki peserta Piala Dunia?

Mungkin pertahanan Belanda hanya sedikit di atas rata-rata, tapi lapangan tengah dan penyerangannya adalah yang terbaik di dunia. Bagi saya, hanya Argentina yang memiliki kualitas serangan yang sama dengan Belanda. Messi, Higuain, Aguero, Milito, dan Tevez kurang lebih menciptakan kemewahan (permasalahan!) yang sama bagi seorang pelatih seperti halnya Van Persie, Van der Vaart, Sneijder, Robben, Kuijt, Elia, Huntelaar, Babel, dan Afellay. Melihat kelemahan Belanda maupun tingginya kualitas ofensif Oranye, menurut hemat saya opsi terbaik adalah untuk sepenuhnya bertumpu pada keempat pemain bintang di depan: Van der Vaart, Sneijder, Robben, dan Van Persie. Dengan cara ini kelebihan utama Oranye tereksploitasi dan, harapannya, kekurangannya di lini belakang menjadi tertutupi.

Empat pemain di depan menjadi kunci serangan dan menciptakan penyerangan total. Memang sangat berisiko tapi layak diambil. Bermain bertahan tak akan memperlancar langkah The Oranje di PD sebab Oranye sesungguhnya tidak dilengkapi kemampuan untuk bermain aman.


Mengapa ada negara yang sukses menjuarai Piala Dunia lebih sering daripada negara lain?

Jerman memenangi tiga Piala Dunia, Italia (4), Brasil (5), dan Argentina (2). Tim-tim tersebut selalu memiliki pasokan pesepak bola yang sangat banyak. Khusus untuk Brasil dan Argentina, sepak bola bagaikan bakat alami bangsa itu.

Namun, organisasi yang baik juga berperan. Sebagai contoh, DFB Jerman sangat terorganisasi, berotoritas, dan memiliki dana cukup untuk menjalankan sepak bola negaranya dengan sempurna, dari pembinaan pemain muda hingga tim nasional. Dampaknya pemain bertalenta begitu mudah ditemukan. Hal yang sama juga terjadi di Belanda. Untuk menjuarai PD dibutuhkan lebih dari itu. Negara-negara peraih trofi PD telah menunjukkan mental, karakter, dan fokus yang dibutuhkan untuk merebut gengsi tersebut. Seperti Argentina di 1978, Jerman (1990), Brasil (2002), dan Italia (2006), mereka datang hanya untuk menang dan fokus meraih gelar juara. Tak ada yang lain.

Sementara Belanda (baik pada 1974 dan 1978 maupun 2006) pada momen tertentu kehilangan arah dan fokus dan sepanjang turnamen menjadi terpecah belah alih-alih menjadi kompak (bersatu) sebagaimana layaknya suatu tim. Individualitas dan kreativitas kami – dua ciri khas utama tim-tim nasional Belanda sejauh ini (lihat Brilliant Orange pada 1974!) – malah berbalik mengenai diri sendiri. Oranye sangat ingin menggondol Piala Dunia – itu tidak dapat disangkal – tapi itu bukan harga mati. Dalam duel do or die (sebut saja versus Portugal pada 2006), pemain timnas Belanda seperti tidak memiliki kemauan mutlak untuk menang. Padahal, di sisi lain, timnas negara-negara tangguh seperti Jerman, Italia, Brasil, dan Argentina memiliki kemauan mutlak untuk menjuarai Piala Dunia; itu harga mati.


Sejauh mana Belanda bakal melaju di Afsel? Negara mana yang Anda ramal akan menjadi juara?

Belanda akan melewati kualifikasi grup. Akan sangat mengecewakan, malah boleh dibilang memalukan, seandai mereka gagal. Lalu bertemu runner-up Grup F, Slovakia atau Paraguay (salah satu akan berakhir di urutan dua Grup F dan kemungkinan besar akan menjadi lawan Belanda – dengan syarat Oranye sukses memuncaki Grup E, tentunya), yang juga mungkin untuk diatasi. Belum ada lawan yang berarti. Pada perempat final, Van der Vaart dkk. bagai melakoni laga do or die dan bisa saja menjadi laga terakhir di Afrika Selatan. Bukannya Belanda tidak mungkin melipat Brasil, Spanyol atau Portugal (beberapa lawan yang mungkin dapat dihadapi Belanda), tapi masing-masing tim tersebut dengan mudahnya juga bisa mengalahkan kami. Kemungkinan lain, Belanda menggebrak dan melaju ke semifinal seperti Italia di Piala Dunia 1978 atau Argentina di Piala Dunia 1998. Terakhir, juara dunia bisa saja diraih Belanda. (pena wormer)


Kutipan wawancara di atas dimuat dalam Tabloid BOLA edisi 2.056, Sabtu-Minggu, 12-13 Juni 2010.

Marco van Basten. Era AC Milan dan Oranye (Marco van Basten. De jaren in Italiƫ en Oranje) tersedia di toko buku Gramedia.

15 Mei 2010

Masa Kanak-kanak seorang Oberski

Judul: Masa Kanak-kanak
Judul Asli: Kinderjaren
Penulis: Jona Oberski
Pengalih Bahasa: Laurens Sipahelut
Penerbit: Pena Wormer
Tahun Terbit: Mei, 2009
Tebal: 93 halaman

harian AnalisaResensi 'Masa Kanak-kanak' dalam harian AnalisaMASA Kanak-kanak (Kinderjaren) merupakan novel karangan fisikawan dan penulis asal Amsterdam Jona Oberski yang ditulis berdasarkan ingatan dan pengalamannya di masa kecil ketika berada di kamp konsentrasi Westerbork (Belanda) dan Bergen-Belsen (Jerman) sewaktu Perang Dunia II.

Jona sendiri lahir pada 20 Maret 1938 di Amsterdam, Belanda. Ia merupakan anak tunggal dari pasangan Siegfried Oberski dan Margaretha Foerder, keduanya merupakan emigran Yahudi Jerman. Tahun 1943, keluarga ini dideportasi ke Bergen-Belsen, Jerman. Kedua orangtua Jona tidak selamat dari kamp kematian itu, tetapi Jona berhasil selamat dan kembali ke Amsterdam dan dibesarkan oleh keluarga angkatnya.

Lewat mata Jona dan ingatannya, kisah-kisah pada saat ia bersama keluarganya tertulis dengan indah di bukunya ini. Walaupun dituturkan dengan bahasa yang sederhana, namun Jona sudah mampu menghipnotis siapa saja yang membaca buku ini. Ia membawa kita untuk melihat bagaimana sebenarnya yang terjadi di sebuah kamp-kamp kematian.

Kasih sayang seorang ayah dan ibu tampak dalam tulisannya ini, di mana dengan penuh optimis ibunya selalu mengajarkan kepada dirinya akan arti hidup dan kebersamaan. Baginya, ibu dan ayah adalah dua orang yang sangat dekat kepadanya, sehingga ketika ia harus menerima takdir menjadi anak angkat seseorang yang harus lebih dahulu beradaptasi dengan keluarga barunya itu.

Tulisan Oberski ini seharusnya menyadarkan kepada anak-anak remaja kita betapa pahitnya arti sebuah penindasan dan peperangan. Kisah sedih juga muncul dalam buku ini takkala sang anak harus melihat ayahnya yang sakit harus menghembuskan nafasnya yang terakhir. (hlm. 62) Lalu ia juga harus mengalami kegetiran lagi takkala sang ibu yang mengalami guncangan berat psikologis juga harus gugur.

Namun, novela ini tidak hanya berbicara tentang sebuah kesedihan dan kepedihan serta kekejaman yang terjadi di salah satu belahan dunia pada saat Perang Dunia II.

Di dalam buku ini juga tersimpan sebuah motivasi hidup yang harus dimiliki siapa saja walaupun berbagai musibah menimpa. Hidup adalah hidup, ia tidak akan berhenti selagi masih hidup.

Buku ini tidak hanya merupakan sebuah karya sastra terbaik tetapi juga merupakan sebuah buku biografi dan sejarah dari sebuah perjalanan kehidupan seorang anak manusia.

Maka tidak heran, jika buku ini mendapat apresiasi dari banyak orang, bahkan buku ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dan diterbitkan di Kanada, Denmark, Jerman, Inggris, Finlandia, Prancis, Jepang, Kroasia, Norwegia, Polandia, Spanyol, Amerika Serikat, dan Swedia.

Sebuah buku yang menghentakkan hati nurani siapa saja yang membacanya, bahwa perang tidak hanya berbicara tentang kalah dan menang, tetapi terkadang perang bisa memutuskan sebuah peradaban, memisahkan antara satu keluarga dan memberi kekecewaan dan trauma kepada siapa saja yang mengalaminya.

Buku yang dibagi dalam lima bab ini mencoba melihat sisi-sisi manusiawinya manusia dan sisi lain dari kehidupan sang anak manusia yang harus rela berpisah dengan kedua orangtuanya karena sebuah ambisi dari orang-orang yang serakah.

Untuk itu, buku ini tentu saja sangat baik untuk dibaca bagi mereka yang ingin melihat dunia lewat kacamata sebuah sastra. Peresensi: Ali Murthado
Dimuat dalam harian Analisa edisi Rabu, 31 Maret 2010

Masa Kanak-kanak (Kinderjaren) tersedia di toko buku Gramedia.

3 Maret 2010

Van Basten: Angsa Berhati Singa

Judul: Marco van Basten. Era AC Milan dan Oranye
Judul Asli: Marco van Basten. De Jaren in Italie en Oranje
Penulis: Zeger van Herwaarden
Pengalih Bahasa: Laurens Sipahelut
Penerbit: Pena Wormer
Tebal: 254 halaman


Resensi 'Marco van Basten. Era AC Milan dan Oranye' dalam harian Analisaharian Analisa"VAN Basten tidak pernah dianggap manusia darah dan daging, yang meleburkan diri dengan hiruk pikuk kehidupan Napoli. (Sementara) anak Argentina itu hidup di hati masyarakat, kecintaan pada Van Basten ada di kepala." Demikianlah sebuah paragraf Zeeger van Herwaarden dalam bukunya, Marco van Basten: De Jaren in Italic en Oranye, yang diterjemahkan oleh Laurent Sipahelut menjadi Marco van Basten: Era AC Milan dan Oranye (2006).

Van Basten memang serupa angsa. Karena itu, orang Italia menjulukinya Il Cigno (si angsa). Ia anggun, elegan, amat memesona, tapi tak ada orang yang bisa mendekatinya. Apalagi membelainya. Ia hanya bisa dikagumi dari kejauhan, tapi tak bisa disentuh. Seusai memesona puluhan ribu penonton di stadion, ia akan bergegas mandi dan sesegera mungkin pulang ke rumah. Permintaan tandatangan dari fans diberikan sebagai bagian dari pekerjaan, bukan sebentuk basa-basi keramahan. Permintaan wawancara dari juru warta akan ia jawab dan hanya jika berkait dengan sepakbola. Begitu pertanyaan menjurus ke urusan pribadi, dengan enteng ia akan ngeloyor pergi.

Seperti ditulis Van Herwaarden, sejak kecil, satu-satunya hal yang diketahui dan menarik hati Marco hanya sepakbola. Ini karena sejak sebelum 10 tahun, saat masih bermain di klub amatir EDO, di kota kelahirannya, Utrecht, Marco telah jadi talenta yang mengundang perhatian. Sementara ayahnya, Joop van Basten, adalah seorang pelatih amatir yang ngomongnya tak lain hanya sepakbola.

Di kamar Marco, tulis Van Herwaarden, setiap malam, sebelum Marco tidur, ayah dan anak Van Basten itu menyempatkan untuk membahas teknik dan taktik sepakbola barang setengah jam (hlm. 11). Van Basten senior juga seorang yang sangat keras, terutama kepada anaknya sendiri. Sebagus apapun Marco bermain, Joop tak pernah menunjukkan rasa puasnya. "Dengan kemampuan yang kamu miliki, kamu semestinya jauh lebih baik," demikian hardik Joop pada Marco.

Kerasnya Joop menempa anaknya amat membekas pada Marco. Marco tumbuh jadi remaja yang selalu ingin membuktikan diri. Kepada orang lain, tetapi terutama kepada diri sendiri. "Saya adalah yang terbaik kedua setelah saya," demikian semboyan Van Basten yang, konon, masih dapat ditemukan tertera di meja kerjanya sampai saat ini. Dan semangat itu, yang melengkapi bakat dahsyatnya, mengantar Marco dengan tanpa kesulitan menapaki tangga kebintangannya.

Di Ajax-lah kemudian Van Basten mendapat sentuhan langsung dari legenda sepakbola terbesar Belanda, Johan Cruyff. Jika Van Basten senior menempa Van Basten junior keras terhadap dirinya sendiri, maka Cruyff—yang oleh beberapa kalangan dianggap seorang maniak—mengarahkan Van Basten untuk keras terhadap seluruh dunia. Sang legenda mena namkan dalam-dalam ke pikiran si calon legenda kalau sepakbola pada dasarnya hanya tunduk pada satu hukum: memakan atau dimakan. Cruyff pula yang menanamkan pada benak Van Basten bahwa untuk bertahan menjadi juara diperlukan sikap jemawa. Dengan sangat tepat Van Herwaarden mengatakan kalau Cruyff tak hanya membuat Van Basten lebih waspada, tajam, dan lihai, tapi juga lebih keras lagi bengis. Dan memang itulah gambaran lengkap seorang Marco Van Basten, sebagai pribadi maupun sebagai pemain.

Meski bercerita tentang Marco Van Basten dari awal karirnya hingga masa kepelatihannya dengan detail yang mengagumkan, buku ini jelas bukan buku biografi, apalagi otobigrafi. Bukan saja karena terlalu tipis untuk sosok sebesar Van Basten, tapi juga memiliki bentuk yang terlalu aneh untuk sebuah buku riwayat hidup. Zeger Van Herwaarden, sang penulis, menyisipi (atau malah, tepatnya, mengawali) tiap pergantian bab dengan fragmen-fragmen hidupnya sendiri. Tapi, alih-alih mengganggu, fragmen-fragmen pendek hidup penulis ini justru malah menjadikan buku ini menjadi sangat personal bagi penulis. Lebih-lebih lagi, Van Herwaarden menulis dengan cara yang lincah dan cergas, khas gaya para penulis kolom sepakbola.

Lepas dari bentuknya, ini buku langka yang penting. Penerjemahannya yang langsung dari bahasa Belanda sudah jadi salah satu keistimewaannya. Sebab, dalam khazanah perbukuan Indonesia, biasanya hanya buku-buku ilmiah dan sejarah saja yang diterjemahkan langsung dari bahasa Belanda. Yang perlu dipuji juga adalah usaha penerjemahnya untuk memberdayakan dan mengekplorasi kosa-kata Indonesia dalam penerjemahan ini. Banyak kosa-kata yang jarang—yang sering disangka telah arkais— dipakai penerjemah dalam buku ini. Kata "sintas", "jemawa", atau "langsam" dapat dengan mudah ditemukan dalam buku ini.

Suka atau tidak dengan sepakbola, kenal atau tidak dengan Marco van Basten, buku ini mesti dibaca para olahragawan dan para pencinta dunia olahraga. Selain menyajikan dengan amat manusiawi sosok olahragawan besar seperti Van Basten, buku ini secara langsung maupun tak langsung menunjukkan kepada kita semua—baik sebagai manusia maupun sebagai olahragawan—apa yang mesti dilakukan dan apa yang tak perlu dilakukan. Van Basten menjadi contoh bahwa kebesaran tak bisa diraih dengan usaha biasa-biasa saja: kerja keras, ambisi besar, standar tinggi, kadang malah harus sempurna, adalah tuntutannya. Tapi, jalan hidup Marco juga mengajarkan, tak ada yang lebih berbahaya bagi diri kita kecuali kita sendiri.***

Peresensi: Mahfud Ikhwan

Dimuat dalam harian Analisa edisi Rabu, 17 Februari 2010

Marco van Basten. Era AC Milan dan Oranye tersedia di toko buku Gramedia.

5 Januari 2010

Holokaus di Mata Anak-anak

Resensi 'Masa Kanak-kanak' (Kinderjaren) dalam harian Media IndonesiaJudul: Masa Kanak-kanak
Judul asli: Kinderjaren
Penulis: Jona Oberski
Pengalih bahasa: Laurens Sipahelut
Penyunting bahasa: Eko Sugiarto
Tebal: 96 hlm
Harga: Rp30.000
Penerbit: Pena Wormer

PEMBANTAIAN orang-orang keturunan Yahudi oleh Nazi Jerman telah melahirkan banyak kisah. Baik itu yang ditulis dalam bentuk novel, biografi maupun film. Sebut saja Buku Harian Anne Frank karya Anne Frank dan film Schlinder List karya sutradara kesohor Steven Spielberg.

Buku berjudul Masa Kanak-kanak (Kinderjaren) yang ditulis Jona Oberski, seorang matematikawan dan fisikawan Belanda, merupakan kisah nyata sang penulis saat hidup di bawah cengkeraman Nazi Jerman, mulai dari diskriminasi yang dialaminya sampai kamp konsentrasi Nazi yang mengerikan. Oberski berada di kamp konsentrasi sejak berusia 3 tahun sampai 8 tahun.

Sebagai keturunan Yahudi, Oberski telah mengalami diskriminasi sejak bocah. Seiring dengan dikuasainya Belanda oleh pasukan Nazi, beleid anti-Yahudi di ‘Negeri Kincir Angin’ semakin menakutkan. Orang tuanya yang tinggal di Amsterdam kesulitan mencari bahan pangan lantaran warga dilarang menjual pangan kepada keturunan Yahudi. Mereka juga wajib menyematkan cap Bintang Yahudi di baju luar.

Masa-masa mengerikan dalam hidup Oberski dimulai saat ia dan orang tuanya dikirim ke kamp konsentrasi Nazi di Westerbork. Kamp konsentrasi buatan Belanda itu merupakan penampungan sementara sebelum dikirim ke kamp Auschwitz untuk dibantai secara massal dengan dimasukkan paksa ke dalam kamar gas.

Oberski mengingat betul kepanikan dan kegaduhan yang terjadi di kamp menjelang pemilihan siapa yang akan dikirim ke Auschwitz setiap Selasa. Ia pun akhirnya mendapat giliran. Dalam perjalanan yang berjarak ratusan kilometer ke Auschwitz, mereka ditampung dulu di kamp konsentrasi Bergen-Belsen di Jerman. Di kamp itulah banyak pengalaman mengerikan.

Kamp itu digambarkan sangat buruk. Seorang bocah harus berjuang untuk bertahan hidup. Misalnya, saat ia dan ribuan anak Yahudi lain harus membersihkan kuali dengan tangan. Di kamp itu, Oberski juga menyaksikan ayahnya menemui ajal dan ibunya mengalami guncangan berat psikologis. Novela ini berakhir saat Oberski memulai hidup kembali bersama orang tua angkatnya di Amsterdam.

Buku ini dengan gamblang menggambarkan pengalaman mengerikan hidup di kamp. Bahkan setelah lolos dari kamp, butuh waktu untuk kembali hidup normal. Meski kisah nyata, buku ini tidak terjebak ke dalam alur sebuah biografi. Oberski mampu meramu dengan menggunakan pendekatan fiksi. (Heryadi/M-1)

Dimuat dalam harian Media Indonesia edisi Sabtu, 21 November 2009

Masa Kanak-kanak (Kinderjaren) tersedia di toko buku Gramedia.