31 Juli 2016

Antara Fasisme dan Kalangan Elite



'Cornflower', bunga simbol nostalgia Nazi.
'Cornflower', bunga simbol nostalgia Nazi.
Rob Riemen adalah orang yang sangat serius. Paling tidak itu kesan yang saya dapat dari korespondensi saya dengan dia dalam rangka penerbitan edisi bahasa Indonesia esai dia, Kekekalan Laten Fasisme. 

Penelusuran pada internet akan memunculkan sejumlah informasi tentang Rob Riemen, yang antara lain menyatakan bahwa dia menghabiskan masa kuliahnya selama sepuluh tahun melulu dengan membaca, membaca, dan membaca. Barangkali dia adalah satu-satunya di Belanda yang menghabiskan masa kuliahnya dengan cara itu, dan mungkin itu pula yang bisa menjelaskan mengapa pada 2010 dia menjadi satu-satunya di Belanda yang secara terang-terangan menyebut politikus Geert Wilders fasistik.

Seperti pengarangnya, Kekekalan Laten Fasisme adalah buku yang padat dan serius sehingga walaupun membacanya berulang-ulang ada sesuatu yang baru yang didapat. Misalnya, baru setelah buku terbit saya menjadi sadar bahwa secara tematik isi buku ternyata mengikuti alur puisi September 1, 1939 karya W.H. Auden, yang dikutip oleh pengarang pada awal buku. Atau bahwa warna sampul buku ternyata menyerupai warna biru ‘cornflower’, bunga yang menjadi simbol nostalgia Nazi.

Fasisme adalah suatu drama tentang manusia, sementara manusia adalah makhluk yang digerakkan oleh hasrat. Sehingga fasisme sesungguhnya adalah drama yang digerakkan oleh hasrat.

Persoalannya, di mana-mana sistem pendidikan tidak ada yang membekali para peserta didiknya untuk mencapai pencerahan; yang dilakukan oleh sistem pendidikan sekarang ini hanyalah menyiapkan para peserta didiknya untuk suatu masa depan sebagai aset bisnis. Manusia yang dihasilkan oleh sistem pendidikan yang demikian kesulitan memahami fasisme karena manusia yang demikian berusaha untuk menjelaskan fasisme bukan berdasarkan pengetahuan tentang dirinya sebagai manusia, tetapi berdasarkan pengetahuan tentang… pengetahuan, yaitu hal ihwal yang sudah dibekalkan kepada dia oleh sistem pendidikan untuk masa depannya selaku aset bisnis.

Sistem pendidikan saat ini sesungguhnya mengkhianat manusia.

Fasisme adalah suatu keadaan tempat Hasrat akan Pengendalian Kebutuhan Hidup dan Hasrat akan Penghimpunan Kebutuhan Hidup mengacu mundur kepada Hasrat akan Pemerolehan Kebutuhan Hidup, alih-alih mengacu ke depan kepada Hasrat akan Pencerahan.

Dengan kata lain: Kekuasaan dan Kekayaan mengabdikan diri kepada Kesintasan, alih-alih kepada Pengetahuan.

Fasisme, dengan demikian, dapat digambarkan sebagai suatu keadaan tempat partai politik mengajak dunia usaha dan orang kebanyakan untuk mengadopsi suatu pola-pikir yang mengedepankan urusan perut. Untuk mengadopsi hukum rimba—alih-alih mengedepankan nalar.

Oleh karena itu, desa dalam cerita kita tadi yang pada awalnya sentosa pun berubah kisruh. Pandangan hidup yang semula diambil dari sungai yang jernih kini ditimba dari sumur yang keruh. Akibatnya, manusia kian diperbudak oleh hasrat-hasratnya. Hasrat-hasrat yang merantai manusia di dalam Gua Plato. 

Rob Riemen menyalahkan para elite, yaitu para cendekiawan, partai politik, dan dunia usaha. Mereka telah mengkhianat orang kebanyakan dengan cara menyempitkan kesadaran orang kebanyakan. Kesadaran yang sempit adalah prasyarat fasisme. Jalan keluar yang ditawarkan oleh Rob Riemen adalah: kembangkan kesadaran, yaitu dengan cara kembali mencintai hidup. Hanya dengan begitu kita dapat menyiasati fasisme.

Disampaikan pada peluncuran buku Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen, Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 31 Juli 2016


Bagian pertama tulisan di atas––Alegori Desa––telah diunggah ke blog ini pada 27 Juli 2016.



Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen.
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen.
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

27 Juli 2016

Alegori Desa



Alegori Desa
Sumber: youdagames.com.
Alkisah ada sebuah desa. Desa tersebut terletak di sebuah wilayah yang secara kebetulan bernama Galia. Galia dijajah oleh suatu negara yang secara kebetulan bernama Kekaisaran Romawi. Seluruh Galia berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi tersebut; seluruh wilayah, kecuali satu desa itu. Desa itu aman dari penindasan Kekaisaran Romawi berkat ramuan ajaib yang mampu memberikan orang yang meminumnya kekuatan yang sangat besar. Seisi desa rutin meminumnya begitu ada gelagat desa bakal terusik oleh bahaya.

Belakangan ini penduduk desa itu bukan mengalami bahaya, tetapi suatu keadaan yang selama ini belum pernah mereka alami: mereka kedatangan orang-orang Mesir. Orang-orang Mesir itu, yang berkulit sawo matang dan membawa kebiasaan-kebiasaan yang asing di mata orang Galia, secara tidak ternyana kerasan tinggal di desa itu dan, apa mau dikata, mereka pun memutuskan untuk menetap. Seiring dengan berlalunya waktu mereka membaur dan bahkan mulai berperan serta dalam aspek-aspek kehidupan di desa itu.

Namun, dengan tidak ternyana, Kerajaan Mesir, yaitu kampung halaman orang-orang Mesir yang letaknya jauh nun di benua lain itu, mengalami keadaan darurat. Dengan tidak ternyana pula semakin banyak orang Mesir, yaitu sebagai akibat dari keadaan darurat tadi, mendatangi dan mendiami desa itu. Akan tetapi, itu tidak menjadi masalah bagi warga desa. Pasal, dukun desa dengan mahardikanya selalu siap menggemboskan kekisruhan dalam bentuk apa pun juga lewat wejangan-wejangan yang dengan instan dapat menyejukkan hati yang panas. Dalam kesehariannya, apabila tidak sedang memberikan wejangan-wejangan yang arif bijaksana, dukun desa itu, yang meninggali sebuah gua dan secara kebetulan bernama Panoramix, sibuk meracik aneka jenis ramuan, termasuk ramuan ajaib itu, di dalam sebuah periuk besar.

Akan tetapi, pada suatu hari, dengan tidak ternyana Panoramix mengalami kecelakaan kerja di dalam guanya itu kala tengah meracik sebuah ramuan baru. Periuknya yang berisi ramuan baru itu meleduk dan uap yang timbul mengisi seantero gua.

Tidak lama kemudian, kepala desa yang kebetulan bernama Abraracourcix dan biduan desa yang kebetulan bernama Assurancetourix bermain ke gua Panoramix sekadar untuk bersilaturahmi, tetapi setibanya di sana mereka disuguhi pemandangan yang sungguh tidak ternyana, yaitu sang dukun yang duduk bersandar pada dinding dengan linglung dan kehilangan daya ingat. Darah tinggi Abraracourcix langsung menjadi sementara Assurancetourix malah terilham untuk mengarang lagu.

Kepala desa lantas mengumpulkan para petinggi desa dan mereka sepakat untuk menyelubung saja keadaan Panoramix itu. Akan tetapi, dengan tidak ternyana sang biduan desa dalam tempo sehari saja sudah berhasil merilis satu album yang isinya lagu-lagu sendu yang mengisahkan keadaan sang dukun mereka dan bagaimana, sebagai akibat dari keadaan sang dukun tersebut, umur desa mereka yang asri itu tinggal menghitung kalender. Dalam sekejap seisi desa pun menjadi tahu akan keadaan sang dukun.

Sementara itu, kepala desa yang tahu bahwa sediaan ramuan ajaib desa cuma tersisa satu botol kecil merasa bagaikan bekicot kehilangan rumah. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalau musuh, bahkan orang terperkasa desa sekalipun, yang secara kebetulan bernama Obelix, karena orang seperti Obelix hanya ada satu-satunya.

Dengan pikiran yang diisi oleh lagu-lagu sendu sang biduan, kepala desa memerintahkan dibangunnya tembok sekeliling desa yang tinggi dan kokoh. Penduduk asli desa diperintahkan untuk membentuk pasukan keamanan yang akan meronda dan melaporkan setiap gerak gerik yang mencurigakan. Warga desa keturunan Mesir ditanyai dan diawasi karena Kerajaan Mesir merupakan negara sahabat Kekaisaran Romawi.

Untuk memastikan arus uang tetap berkisar di dalam desa, kepala desa memutuskan agar semua usaha milik pendatang diambil alih oleh warga penduduk asli. Penduduk asli pemilik usaha, seperti pandai besi yang kebetulan bernama Cetautomatix dan tukang ikan yang kebetulan bernama Ordralfabetix, menyambut baik keputusan tersebut.

Di desa itu hanya satu yang tidak terpancing oleh kekisruhan yang sedang terjadi itu. Dia adalah sahabat karib Obelix, yang kebetulan bernama Asterix. Asterix dikenal sebagai sosok yang cerdik dan banyak akal.

Dia membaca bahwa keadaan sedang memuncak, apalagi setelah kepala desa sudah mempermaklumkan akan membangun sebuah kamp konsentrasi. Dia juga tahu bahwa satu-satunya hal yang dapat membalikkan keadaan adalah wejangan-wejangan yang arif bijaksana pemberian sang dukun desa. 

Asterix pun membulatkan tekad dan berjalan pulang ke rumah. Di sana dia meraih sebuah ember dan dengan ember kosong itu dia berjalan ke sungai. Setibanya di sungai, dia mengisi ember tersebut dengan air sungai dan dengan menenteng ember penuh air itu dia mendatangi gua Panoramix. Panoramix masih juga duduk bersandar pada dinding dengan linglung dan kehilangan daya ingat. Setelah merapal kata maaf singkat, Asterix dengan satu ayunan mantap menggebyur sang dukung dengan air sungai yang dingin. Dengan gelagapan Panoramix tersentak bangun dari kelinglungannya, tetapi begitu matanya tertuju pada Asterix, sang dukung langsung mengenalinya. Panoramix telah pulih kembali sebagai keadaan semula.

Tidak lama kemudian penduduk desa itu pun kembali menjadi penduduk yang adil dan gemah ripah. Nasib Assurancetourix, sang biduan desa? Mulai sekarang, atas perintah kepala desa, mulut dia wajib disumpal setiap kali dia hendak membuka mulut untuk bernyanyi.


Disampaikan pada peluncuran buku Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen, Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok.



Laurens Sipahelut
Tangerang, 27 Juli 2016


Bagian kedua tulisan di atas––Antara Fasisme dan Kalangan Elite––akan diunggah dalam waktu dekat.


Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen.
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

17 Juli 2016

Serangan Nice dan Model Aarhus


Pada 14 Juli 2016, di Nice, Prancis, tidak sampai 250 hari setelah Serangan Paris, Mohamed Lahouaiej Bouhlel, mengemudikan sebuah truk gandeng yang dia tabrak-tabrakkan ke kerumunan orang yang tengah merayakan Hari Nasional Prancis. Perbuatannya menelan 84 korban jiwa.

Sebagai tanggapan terhadap kejadian tersebut, yang sekarang dikenal sebagai Serangan Nice, Presiden Prancis François Hollande berjanji akan melakukan pembalasan. Perdana Menteri Inggris Theresa May dan Kanselir Jerman Angela Merkel seperti menimpali pernyataan Hollande tersebut ketika menyatakan bahwa mereka akan berjuang bahu-membahu dengan Prancis dalam menghadapi terorisme. May juga menegaskan bahwa apabila kejadian di Nice ternyata tindakan teror, Inggris harus melipatgandakan 'usaha untuk mengalahkan pembunuh-pembunuh keji yang hendak menghancurkan pandangan hidup kami'. Simpati serupa mengalir masuk dari Barat maupun Timur (termasuk Amerika Serikat, India, Belgia, Kanada, Australia, Indonesia, Tiongkok, Turki, dan Selandia Baru).

Sementara itu, 1400 km utara dari Nice, di Aarhus, Denmark, sejumlah petugas polisi mengambil pendekatan yang bertolak belakang dengan retorika para pemimpin dunia terkait terorisme dan aksi pemberantasannya sehingga, mungkin karena melawan pakem yang sudah berterima luas itu, menjadi berkesan tidak lazim, yaitu mereka justru merangkul para pemuda yang menjadi korban radikalisme. Pendekatan itu, yang kini disebut model Aarhus, dikisahkan dalam tulisan yang dapat dibaca di sini.

Dalam model Aarhus, warga kota yang memutuskan untuk pergi ke Suriah dijamin akan diterima kembali di kota itu: mereka akan mendapatkan bantuan dalam mencari sekolah, bantuan mencari tempat tinggal, dan bantuan konseling. Kalangan akademisi sekarang mulai meneliti strategi yang dijalankan oleh kepolisian Aarhus itu, yang notabene juga pernah dipakai oleh Martin Luther King Jr. dan Mahatma Gandhi. Yang diketahui sejauh ini ialah bahwa ada hubungan timbal balik yang erat antara perendahan (humiliation) dan pencarian akan suatu ideologi ekstrem.

Setelah Serangan Paris terjadi pada pertengahan November 2015, saya membuat tulisan mengenai hubungan timbal balik antara penolakan dan tindakan ekstrem, yang saya kirimkan ke sebuah media cetak tetapi tidak pernah dimuat. Tulisan saya itu dapat dibaca di bawah ini:

==========

Serangan Paris dan Nilai-Nilai Universal Obama

Laurens Sipahelut

Aktor Jim Carrey pernah menggambarkan depresi sebagai suatu keputusasaan tingkat rendah yang berlangsung terus-menerus, yang adalah penggambaran yang sangat tepat. Walaupun bertingkat rendah keputusasaan tersebut membajak seluruh alam pikiran sampai-sampai yang bisa dipikirkan hanyalah bagaimana caranya kita bisa terlepas dari perasaan itu. Tidak ada lagi yang terasa nikmat atau mengasyikkan, dan perasaan muram itu pun hanya bisa diubah menjadi senang apabila yang dibayangkan adalah kematian, yaitu sebagai satu-satunya jalan keluar dari keputusasaan tersebut.

Depresi bisa jadi dipicu oleh penolakan diri seseorang pada berbagai tataran oleh suatu sistem yang mentransformasikan manusia, tanah, dan uang menjadi aset yang dapat diperjualbelikan. Sistem tersebut telah menolaknya sebagai aset yang layak. Sebagai catatan, walaupun sangat menyiksa dan mengancam jiwa, depresi dapat mengantar seseorang kepada suatu pemahaman metafisika akan realitas yang secara ilmiah sulit dicapai.

Pada 1951, tentara KNIL yang telah didemobilisasi dipindahkan untuk sementara waktu dari Indonesia ke Belanda tempat mereka ditampung di berbagai kamp dalam kondisi yang boleh dibilang kurang layak. Pemerintah Belanda menjanjikan mereka dapat mendirikan negara mereka sendiri di Maluku tetapi setelah menunggu hingga satu generasi––kurang lebih 24 tahun––komunitas Maluku Selatan tersebut mulai hilang harapan akan janji itu dan beberapa pemudanya berubah radikal: mereka memutuskan untuk membajak kereta api, pertama pada 1975 dan kedua pada 1977, dalam rangka memperjuangkan Republik Maluku Selatan yang telah dijanjikan kepada mereka itu.

Seperti pada kasus depresi di atas, keadaan telah menjadikan suatu komunitas, yang hidup dalam suatu sistem yang berjalan menurut nilai-nilai subjektif, putus asa dan suatu anasir pada komunitas tersebut lantas terdorong untuk mengambil tindakan yang sangat menyiksa dan mengancam jiwa. Para pelakunya masih berumur muda, antara 17 sampai dengan 27 tahun. Orang pada kisaran umur itu lazimnya menyibukkan diri dengan mencari pasangan hidup dan berkarier; waktu luang lebih senang mereka habiskan dengan menyaksikan pertandingan sepak bola Eredivisie pada layar kaca alih-alih menyusun rencana membajak kereta api dan lalu mengeksekusi rencana tersebut.

Serangan 11 September 2001 di New York, pengeboman kereta api pada 11 Maret 2004 di Madrid, pembunuhan Theo van Gogh pada 2 November 2004 di Amsterdam, pengeboman transportasi umum pada 7 Juli 2005 di London, penembakan Charlie Hebdo pada 7 Januari 2015 di Paris, dan serangan Paris pada 13 November 2015 lalu mengguncang dunia barat. Semua serangan tersebut mestinya sangat menyiksa dan mengancam jiwa para pelakunya. Seperti halnya pada kasus pembajakan kereta api dan depresi di atas, mereka, para pelaku, mestinya lebih senang menghabiskan waktu luang menonton hiburan pada layar kaca. Lalu apa yang menjadikan mereka sedemikian putus asa sehingga mereka malah menyusun rencana penghancuran dan kemudian mengeksekusi rencana tersebut?

Pascaserangan Paris pada 13 November 2015, Presiden AS Barack Obama, pemimpin dunia bebas, mengutarakan simpatinya dengan berkata, "Ini merupakan serangan atas seluruh kemanusiaan dan nilai-nilai universal yang kita anut bersama." Namun, serangan Paris terjadi hanya sehari setelah kota Beirut diguncang bom bunuh diri yang merenggut nyawa 43 orang tetapi terkait peristiwa tersebut para pemimpin dunia cukup bergeming sehingga banjir simpati dari mereka, termasuk ucapan Obama yang menyatakan bahwa kejadian di Paris merupakan serangan atas seluruh kemanusiaan itu, seolah-olah bisa ditafsirkan bahwasanya peristiwa tersebut merupakan serangan atas seluruh kemanusiaan di dunia barat, dan serangan atas nilai-nilai universal hanyalah serangan atas nilai-nilai yang semua orang wajib menghafalkan tetapi yang tidak pernah diinsafi, sehingga nilai-nilai universal yang dimaksud Obama hanyalah macan kertas.

Pasal, apabila dunia barat betul menginsafi alih-alih cuma menggembar-gemborkan nilai-nilai universal tidak mungkin mereka berbuat hal-hal yang menjadikan orang seorang, suatu komunitas, atau suatu bangsa sedemikian putus asa sehingga orang seorang, komunitas, atau bangsa tersebut mengambil tindakan yang sangat menyiksa dan mengancam jiwa. Apabila betul dunia barat menginsafi nilai-nilai universal, kebenaranlah dan keadilanlah yang teradat oleh semua negara anggotanya dan semua beleid yang dijalankan akan berkiblat kepada Cinta.

Namun, karena nilai-nilai universal yang dimaksud hanyalah tulisan pada kertas, maka sesungguhnya yang berlaku adalah lawannya, yaitu nilai-nilai subjektif. Contoh saja: politikus Eropa seperti Geert Wilders asal Belanda menggalakkan wacana seperti penghematan anggaran, patriotisme, dan harga diri dalam kaitannya dengan krisis migran dan peristiwa terorisme seperti serangan Paris.

Nilai-nilai subjektif selamanya akan berakar pada Ketakutan sehingga nilai-nilai itulah yang merupakan serangan sesungguhnya terhadap kemanusiaan karena, lantaran tidak mencerahkan, mereka tidak meninggikan kemanusiaan tetapi malah menjadikannya terjeblos dalam pusaran hasrat.

Sehingga, dengan kerut alis curiga, kita sudah sepatutnya mempertanyakan siapa yang sesungguhnya merupakan korban dan siapa yang menjadi penyerang? Apa sesungguhnya nilai-nilai yang betulan membekap dunia, dan apa nilai-nilai yang hanyalah macan kertas?

==========

Apakah pembajakan kereta api di atas masih akan terjadi apabila komunitas Maluku Selatan itu diperlakukan seturut model Aarhus? Menurut saya jawabannya adalah tidak.

Cara kepolisian Aarhus memperlakukan dan menangani komunitas yang rentan radikalisasi merupakan sesuatu yang tidak bisa ditemui dalam kamus para pemimpin dunia. Yang membedakan keduanya, menurut saya, ialah jarak yang ada antara mereka dan subjek mereka: yang satu berhubungan langsung dengan subjek, dan yang satu bertindak selaku distant manager. Yang satu secara langsung dan seketika merasai dampak dari tindakan mereka, yang satu tidak karena dampak tersebut harus melewati banyak lapis sebelum bisa menyentuhnya.

Kebencian memperanakkan kebencian, tetapi kasih mengalahkannya. Itu yang menurut saya menjelaskan keberhasilan model Aarhus. Itu pula yang menjadi anjuran filsuf Belanda Rob Riemen kala menjawab pertanyaan apa kiranya yang bisa menjadi penawar paham ekstrem bernama fasisme dalam esainya Kekekalan Laten Fasisme (2015): temukan kembali kecintaan akan hidup. 

Laurens Sipahelut
Tangerang, 17 Juli 2016



Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme

Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)