10 Juli 2016

Satanisme, dan Perbedaannya dengan Fasisme

Mark Passio adalah pembicara dalam bidang spiritualisme asal Amerika Serikat yang buah pikirannya dapat disimak pada WhatOnEarthIsHappening.com. Inti pemikiran Passio ialah bahwa kelompok okultis hitam telah menyusup dan menjalari seluruh aspek kehidupan bermasyarakat di muka bumi ini. Oleh karena itu, mereka berhasil mempertahankan pola pikir umat manusia dalam suatu ketidaksadaran umum (general unconsciousness), suatu keadaan yang memungkinkan mereka memperhamba umat manusia.

Namun, untuk dapat memperhamba sesuatu apa pun juga dibutuhkan kekuasaan. Okultis hitam meraih dan melanggengkan kekuasaan mereka dengan cara menciptakan suatu perbedaan kekuasaan (power differential) dengan jalan menyelubungi pengetahuan tertentu terhadap orang kebanyakan. Jadi, pada dasarnya, siasat yang dipakai ialah penyelenggaraan suatu kesenjangan pengetahuan. (Pengetahuan adalah kekuasaan.) Mereka juga senantiasa ingin memperbesar kekuasaan mereka, bila perlu dengan menjahanamkan hak dan kebebasan orang lain. Passio mengungkapkan semua itu dalam suatu wawancara yang dapat disimak di bawah ini:


Sudut pandang Passio menjadi berterima apabila kita menyimak latar belakang dia. Passio berasal dari sebuah keluarga Katolik, tetapi sedari remaja dia merasa tidak mantap dengan jawaban-jawaban versi agama Katolik yang diberikan atas pertanyaan-pertanyaan dia, yang menjadikan dia sangat kecewa. Pada akhirnya, sebagai pelampiasan, dia dengan drastis memutuskan untuk sekalian mencari naungan pada ajaran yang menjadi antitesis agama Nasrani: satanisme. Dia mendalami ajaran tersebut hingga, pada suatu ketika, dia sampai diangkat sebagai pendeta pada Gereja Satan Anton LaVey.

Akan tetapi, begitu memasuki lingkaran dalam kepengurusan organisasi tersebut dia menjadi tahu bahwa tujuan sesungguhnya satanisme ialah memperhamba umat manusia; hati kecilnya menolak dan dia memutuskan untuk hengkang dan sekaligus mengakhiri kiprahnya dalam ilmu hitam.

Karena informasi yang dia miliki, pada awalnya dia mengira bahwa keputusannya itu bakal disambut dengan pertentangan oleh pengurus organisasi, tetapi secara tidak ternyana dia dilepas dengan begitu saja. Gereja Satan tidak merasa khawatir akan kemungkinan Passio membeberkan informasi yang dia miliki kepada khalayak ramai. Pasal, organisasi tersebut hanyalah bagian kecil dari sesuatu yang, menurut pengakuan mereka sendiri, telah mencengkeram seantero dunia.

Semasa kiprahnya dalam Gereja Satan, Passio mendapati bahwa ideologi satanisme ternyata tidak bersangkut paut dengan pemujaan setan seturut pengertian agama Nasrani. Satanisme yang dia dapati bisa dirangkum dalam empat asas berikut ini:
  1. Keakuan adalah cita-cita yang paling tinggi, yaitu halalkan segala cara dan korbankan apa pun juga dan/atau siapa pun juga dalam rangka memperbesar kekuasaan dan pengaruh kamu di dunia ini;
  2. Relativisme moral, yaitu tidak ada standar objektif perilaku benar salah, seseorang dapat memutuskan sendiri apa yang benar dan apa yang salah dan melandasi tindakannya sesuai dengan keputusan tersebut;
  3. Darwinisme sosial, yaitu mereka yang terkejam dalam masyarakat berhak untuk tampil sebagai penguasa lantaran genetika mereka memantaskannya; dan
  4. Eugenika, yaitu mereka yang secara sosial pantas tampil sebagai penguasa berhak memutuskan siapa saja yang boleh dan siapa saja yang tidak boleh melanjutkan keturunan.
Menurut Passio, kelompok okultis hitam menduduki deretan tataran atas suatu piramida kekuasaan yang menggambarkan siapa sesungguhnya yang menguasai dunia. Sedangkan pengetahuan yang dimaksud oleh dia ialah Pengetahuan tentang Diri Pribadi (mikrokosmos) dan Pengetahuan tentang Hukum Alam (makrokosmos) seturut filosofi Hermetisme sebagaimana ditafsirkan dalam The Kybalion: Hermetic Philosophy. Inti Hermetisme ialah bahwa semua adalah kesadaran (informasi) dan kekal, dan bahwa penyadaran manusia akan hal tersebut menjadi kunci untuk mencapai pencerahan. Dengan menyelubungi pengetahuan tersebut mereka merintangi hal tersebut, padahal pencerahan ialah kunci untuk membuka gembok rantai-rantai perhambaan manusia.

Passio dalam hal ini mengutarakan suatu kebenaran. Jalur yang dia tempuh menuju kebenaran tersebut memang eksotis, tetapi begitu dia tiba pada kebenaran... Kebenaran adalah kebenaran.

Perhambaan manusia itu memang betul adanya. Dalam esainya Kekekalan Laten Fasisme (2015), filsuf Belanda Rob Riemen mengutip pengamatan filsuf Prancis Alexis de Tocqueville pada 1831 tentang demokrasi di Amerika Serikat:
Kulihat kerumunan orang yang tidak terhitung jumlahnya... yang kosak-kasik menyemut mencari kesenangan yang dangkal dan norak... Di atas mereka menjulang suatu kekuasaan pengayom yang... senang apabila warganya senang, sepanjang mereka tidak memikirkan hal lain... Dari dulu aku sudah meyakini bahwa bentuk perbudakan ini—tertib, halus, sentosa... ternyata bisa dipadukan dengan kebebasan yang hanyalah kedok belaka...
Riemen melanjutkan bahwa apa yang digambarkan oleh Tocqueville merupakan garis-bentuk suatu masyarakat yang seratus tahun kemudian oleh filsuf Spanyol Ortega y Gasset dicirikan sebagai masyarakat-massa, yaitu suatu masyarakat dengan mentalitas yang dicirikan oleh ketiadaan roh. Perhambaan yang dimaksud oleh Passio dan Tocqueville sesungguhnya merujuk kepada ranah batin dan dengan menyelubungi pengetahuan yang dapat membawa manusia kepada pencerahan, manusia menjadi kian terlena dengan hal ihwal kebendaan dan dengan demikian kian rentan terhadap manipulasi okultis hitam.

Saya sendiri tidak tahu sejauh mana pengaruh okultis hitam itu dalam kehidupan bermasyarakat sebagaimana diaku oleh Passio, yang mestinya memiliki alasan kuat untuk berkata demikian mengingat pengalaman dia, dan saya juga tidak ingin menjelajahi hal itu secara lebih dalam. Akan tetapi, terkait perhambaan manusia: manusia terlahir di dunia sebagai hamba hasrat. Namun, adalah kodrat manusia untuk melepaskan diri dari perhambaan tersebut, yang harus dilakukan dengan bantuan pengetahuan yang mencerahkan. Passio menggagas bahwa pengetahuan yang mencerahkan tersebut dengan sengaja direnggut dari umat manusia. Umat manusia dengan sengaja dijebloskan dalam suatu kegelapan, dalam arti: manusia tidak dapat melihat dan memang tidak mengetahui adanya cahaya yang menerangi eksit Gua Plato. Dalam hal ini Gua Plato memersonifikasi pola pikir yang digerakkan oleh hasrat, pola pikir yang mengamini kebendaan sebagai hakiki. Pola pikir yang telah meninggalkan Gua Plato terbebas dari hasrat dan menjadi tahu bahwa kebendanaan adalah fana. Kodrat manusia adalah untuk meninggalkan Gua Plato.

Pengikut satanisme dengan sadar memilih untuk bertahan dalam Gua Plato. Mereka dengan sadar mengikatkan diri pada hasrat akan kekuasaan, kekayaan, dan kesintasan, dan mereka tahu bahwa kekuasaan dapat mereka raih dan bina dengan mempertahankan perbedaan kekuasaan tadi, yang mengikat manusia kian kencang pada hasrat-hasratnya dalam Gua Plato lantaran mengamini kebendaan sebagai hakiki. Manusia yang demikian menjadi manusia-massa, dengan budaya kitsnya itu, dan mereka ialah korban karena mereka dibuat bertahan dalam Gua Plato secara tidak sadar. Dalam wawancaranya, Passio, seperti sudah disebut pada paragraf pertama tulisan ini, berujar:
Okultis hitam... pada saat ini mempertahankan keseluruhan pola pikir penduduk manusia dalam suatu keadaan ketidaksadaran umum, yang lantas mempertahankan umat manusia dalam suatu perhambaan.
Fasisme dan satanisme berbagi kemiripan. Politik fasisme, yang kembali mencuat di Barat setelah sekian lama mati suri, sesungguhnya dapat diartikan sebagai ajakan penguasa kepada para pengikutnya untuk menyurutkan kembali pola pikir ke hasrat akan kesintasan, hasrat yang paling kuat dan primitif lantaran letaknya yang paling jauh dalam Gua Plato. Politik demikian menambat manusia semakin kuat pada egonya. Akan tetapi, saya meyakini bahwa, tidak seperti dalam satanisme, hal itu dilakukan secara tidak sadar dan bertolak dari ketidaktahuan belaka. Sehingga, dengan demikian, yang membedakan fasisme dan satanisme ialah maksud (intent) penganjurnya.

Laurens Sipahelut
Tangerang, 10 Juli 2016


Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar