10 Desember 2016

Ada di Mana Rayahan Museum Gardner? (Bagian III: Akhir)

Di mana Rembrandt?
Di mana Rembrandt?
Pada Mei 1980, pemain virtuoso biola Roman Totenberg kecurian biola Stradivarius miliknya. Setelah tampil pada suatu konser Longy School of Music di Cambridge, Massachusetts, Totenberg, direktur sekolah tersebut, meninggalkan biolanya yang dibuat pada 1734 di dalam kantornya guna menghadiri suatu perjamuan. Begitu dia kembali, biolanya raib. Totenberg meninggal pada 2012 dalam usia 101, tanpa pernah melihat biolanya kembali.

Setelah 35 tahun, biola Stradivarius itu kembali. Philip S. Johnson, seorang pemain biola yang lama menjadi tersangka kasus pencurian itu, mewariskannya kepada mantan istri dia ketika dia meninggal pada 2011. Empat tahun kemudian perempuan itu membawanya kepada seorang juru taksir, yang mengenalinya sebagai biola milik Totenberg. Pada Agustus 2016, pihak FBI mengembalikan biola tersebut kepada Nina Totenberg dalam suatu upacara di kantor Kejaksaan AS, Manhattan.

Apabila sebuah biola adikarya bisa kembali ke pemiliknya, begitu pula halnya dengan sebuah lukisan adikarya. Seperti biola Totenberg, ujar Amore, seni curian sering kali ditemukan kembali satu generasi setelah pencurian terjadi. Pada saat itu, 'orang yang paling disegani yang terlibat dalam kejahatan telah meninggal atau tidak terlalu ditakuti lagi,' ujar Amore. 'Sehingga, sekarang orang berani muncul ke publik.'

Sering kali petunjuk dari masyarakat berujung dengan kembalinya seni yang hilang dicuri: 'Orang yang mendatangi kami dan mengaku bahwa dia telah melihat sesuatu, bahwa dia mengetahui sesuatu.' Petunjuk seperti itu lazimnya datang dari seorang sahabat atau anggota keluarga si pencuri seni. 'Sayangnya, tidak pernah yang punya petunjuk seperti itu berasal dari orang yang sedang mencari angin dan kebetulan melihat sebuah lukisan lewat sebuah jenderal rumah,' ujar Amore. 'Lukisan-lukisan seperti itu tidak dipajang di rumah orang. Mereka disembunyikan.'

Terkadang, seorang informan kriminalis yang memberikan petunjuk, atau orang yang menyimpang barang seninya bersedia berunding. 'Kadang, barang seni curian dipakai untuk menegosiasikan keringanan hukuman,' ujar Amore. 'Ada malah yang mencuri sebuah karya seni untuk nantinya digunakan sebagai alat negosiasi seandai suatu saat dia terancam masuk bui.'

Seperti biola Stradivarius itu, karya seni Museum Gardner mungkin berada pada seseorang yang tidak mencurinya atau menyembunyikannya. 'Yang saya khawatirkan, barangnya ada pada seorang yang tidak bersalah,' ujar Amore, 'tetapi orangnya takut untuk muncul ke publik gara-gara merasa takut akan suatu bahaya dari dunia luar.'

Di Amerika, menyimpan secara sadar harta curian tergolong sebagai tindak pidana, tetapi kantor Kejaksaan AS di Boston telah menawarkan kemungkinan diberikannya kekebalan bagi siapa saja yang membantu memulangkan karya seni milik Museum Gardner. Menurut Amore, pihak museum bisa melindungi jati diri seorang pemberi petunjuk dan menyerahkan imbalan $5 juta itu secara awanama, lewat perantaraan seorang kuasa.

'Yang diinginkan oleh museum cuma lukisannya,' ujar Amore. 'Saya sebisa mungkin berusaha untuk memastikan bahwa mereka yang datang memberikan informasi, bahwa nama mereka tidak pernah bakal bocor. Kami punya cara-cara tertentu untuk menjamin itu, untuk membayar imbalannya, sehingga nama si penerima tidak akan diketahui oleh khayalak ramai.'

Hal itu memperbesar kemungkinan bahwa misteri terbesar kota Boston itu bisa jadi akan berakhir secara misterius, bahwa pada suatu saat warga kota Boston bakal bisa melihat kembali lukisan-lukisan yang hilang terpampang di dinding galeri Museum Gardner, tetapi tanpa pernah mengetahui siapa para pelaku pencuriannya dan bagaimana lukisan berhasil dikembalikan. 'Apabila sebuah karya berhasil dipulangkan kembali, sering informasinya langka dan tidak jelas,' ujar Amore, 'soalnya ada bagian-bagian pada kisah yang tidak bisa diceritakan.' Bagi Amore itu sah-sah saja. 'Saya jauh lebih mementingkan pulangnya kembali karya yang hilang ketimbang kisahnya,' ujar dia.

Kemungkinan lain ialah bahwa misteri Gardner tidak pernah akan terpecahkan. Bisa saja karya seninya telah dihancurkan, atau telah menjadi kelewat rusak sehingga imbalan $5 juta menjadi tidak berlaku lagi, atau mungkin mereka telah lenyap karena pencurinya telah meninggal tanpa pernah mengungkapkan lokasi karya seni itu. Akan tetapi, Amore tidak terlalu memusingkan skenario terburuk seperti itu. Kurang lebih 80 persen adikarya-adikarya yang dicuri, ujarnya, pada akhirnya kembali ke tempat asal.

'Begitu banyak orang yang tertarik pada kasus ini,' ujar Amore. 'Apabila ingin membantu, silakan simak baik-baik gambar-gambar lukisan. Dengan cara itulah kasus ini bisa dituntaskan.' Situs Museum Gardner menyajikan suatu presentasi berisikan karya seni yang hilang dicuri, dan pada laman FBI mengenai kasus itu terpampang gambar setiap karya yang hilang.

Setiap potong informasi bisa membantu. 'Saya tidak berharap tiba-tiba ada yang menelepon dengan pesan, "Lukisannya ada di Loker 3 di tempat penitipan barang anu",' ujarnya. 'Sebetulnya ini lebih mirip menyusun sebuah teka teki gambar, kita mulai dengan bagian tepi, lalu orang memberikan potongan-potongan pelengkap.

'Sering kali, pada saat menyusun teka teki gambar, ada satu potong yang langsung membuat gambar menjadi tersusun lebih cepat. Saya tidak mau mengoyok mencari potongan yang seperti itu. Saya mencari potong-potong yang lebih kecil yang bisa saya susun menjadi bagian yang lebih besar.'

Sumber: BostonMagazine.com 


Palsu. Akan terbit.
Palsu. Akan terbit.
Tulisan di atas diturunkan dalam rangka akan terbitnya Palsu, edisi bahasa Indonesia thriller novelis Belanda Elvin Post. Ikuti perkembangannya pada akun Twitter Pionir Books (@PionirBooks) lewat tagar #PalsuNovelElvinPost.

3 Desember 2016

Ada di Mana Rayahan Museum Gardner? (Bagian II)

Kristus dalam Badai di Atas Danau Galilea: hilang.
Kristus dalam Badai di Atas Danau Galilea: lenyap.
'Bayangan akan seorang pencuri seni profesional, seorang pencuri lihai yang mencuri adikarya-adikarya pilihan, itu keliru,' ujar Amore. 'Tidak ada kaitannya sama sekali ini dengan oknum yang menginginkan sebuah karya seni untuk melengkapi koleksinya. Mereka ini cuma mencuri demi duit.'

Sangat jarang orang yang mencuri sebuah adikarya mengulang kembali perbuatannya, ujar Amore, karena mereka dengan cepat mendapati bahwa lukisannya sulit dilego. 'Nasib mencuri sebuah karya seni yang dikenal luas ialah, penadah tidak ada yang mau menyentuh,' ujar Amore.

Amore hanya mengetahui dua pencuri sepanjang sejarah yang pernah mencuri barang seni lebih dari sekali. Satu bernama Adam Worth, seorang penjahat pada abad ke-19 yang menjadi ilham tokoh Professor Moriarty, musuh bebuyutan Sherlock Holmes. Satunya lagi adalah pencuri seni ahli, Myles Connor, yang pada 1975 mencuri sebuah Rembrandt dari Museum Seni Rupa, Boston, yang kemudian dia pakai untuk mengurangi hukuman yang dijatuhkan kepadanya setelah mencuri sejumlah lukisan N.C. Wyeth dan Andrew Wyeth satu tahun sebelumnya.

'Dia pencuri seni tercanggih yang pernah hidup,' ujar Amore. Akan tetapi, tambahnya, 'Myles Connor tidak melakukan perampokan Museum Gardner. Seandai Myles pada saat kejadian tidak sedang berada di dalam penjara, pelakunya mestinya dia. Tetapi kita tahu bahwa bukan dia pelakunya.' Connor suka menggadang bahwa dialah yang menjadi ilham perampokan Gardner sembari mengaku bahwa rekan-rekan dia mengeksekusi rencana yang seyogianya dibidani oleh dia. Akan tetapi, sejumlah tawaran Connor pada akhir 1990-an untuk membantu mencari lukisan-lukisan yang raib itu tidak ada yang terlaksana. Amore, yang pernah bertemu dengan Connor, menafikan pengakuan-pengakuan Connor itu. 'Yakin aku; seandai sekarang dia tahu lokasinya di mana, lukisan sudah ada di tangan kita.'

Pada 1990, siasat yang dipakai para pencuri, yaitu dengan menyamar sebagai petugas polisi, lazim digunakan dalam aksi-aksi perampokan di bilangan Massachusetts. Jadi, Amore ingin memperoleh petunjuk dari masyarakat yang mungkin mengetahui kriminalis yang mungkin saja terlibat dalam perampokan Gardner, atau yang pernah memakai siasat-siasat serupa dan yang barangkali memiliki seragam polisi. 'Kami ingin melacak otak pencurian,' ujarnya.

Akan tetapi, yang lebih-lebih didambakan oleh Amore ialah petunjuk yang bisa membawanya ke lukisan-lukisan itu--bukan ke para pencurinya. Pada, 2013, dalam rangka peringatan tahun ke-23 kasus pencurian Gardner, petugas-petugas FBI, dengan didampingi Amore, mengumumkan bahwa mereka meyakini bahwasanya mereka telah berhasil menetapkan identitas para pelakunya, dan bahwa lukisan-lukisan itu ternyata beredar dalam kalangan kejahatan terorganisasi di Connecticut dan Philadelphia. Tahun lalu, sebelum peringatan tahun ke-25, Amore dan petugas FBI yang mengetuai penyelidikan membocorkan lebih banyak petunjuk seputar teori mereka terkait kasus itu. Kasus pencurian Gardner berkisar seputar almarhum Carmello Merlino, pemilik bengkel mobil di bilangan Dorchester, Boston, yang memiliki hubungan dengan Mafia, selain juga seputar George Reissfelder dan Leonard DiMuzio. Baik Reissfelder maupun DiMuzio meninggal pada 1991, dan keduanya menyerupai sketsa polisi para pelaku pencurian. Reissfelder membawa sebuah Dodge Daytona merah, mobil yang dipergoki para pelajar tengah terparkir di luar gedung Gardner itu. 'Dulu kami pernah bilang bahwa kami sudah pegang identitas para pelakunya,' ujar Amore, 'tetapi hal itu tidak serta-merta membawa kami ke lukisan.'

Selama bertahun-tahun Museum Gardner menawarkan imbalan $5 juta untuk petunjuk yang bisa berujung dengan dikembalikannya ketiga belas karya seni itu dalam kondisi apik. Tahun lalu, pihak museum mengumumkan imbalan $100.000 yang terpisah dari yang $5 juta untuk elang perunggu dari zaman Napoleon itu, karena ada kemungkinan bahwa benda itu sejak pencurian telah berpencar dari karya-karya lukisannya. 'Mungkin ia diambil sebagai tanda kenang-kenangan,' ujar Amore. 'Bisa saja benda itu sekarang ada di rumah atau toko antik seseorang.' Harian Hartford Courant pernah menurunkan laporan bahwa bertahun-tahun yang lalu elang tersebut pernah terlihat di lahan mobil bekas milik Robert Gentile.

Petunjuk mengenai keberadaan seni Gardner jumlahnya sedikit dan bersifat samar. 'Itu berarti bahwa mereka belum sempat beredar terlalu luas,' ujar Amore. Sekitar 2003, menurut seorang saksi FBI, pihak tertentu di Philadelphia berupaya menjual Kristus dalam Badai di Atas Danau Galilea karya Rembrandt. Seorang penuntut federal di Hartford, Connecticut, menyatakan di depan meja hijau bahwa pada 2015 Gentile berusaha menjual beberapa di antara lukisan Gardner kepada seorang petugas FBI yang tengah menyamar; pengacara Gentile menyatakan bahwa kliennya cuma membual dan bahwa lukisan itu tidak ada pada dia.

'Orang beranggapan bahwa karena seperempat abad telah lewat, benda-benda itu sudah lama hilang,' ujar Amore. Belum tentu. 'Siapa pun yang waktu itu pegang lukisannya, kemungkinan dia masih memiliki semua atau sebagian dari koleksi itu.'

Sumber: BostonMagazine.com


Palsu. Akan terbit.
Palsu. Akan terbit.
Tulisan di atas diturunkan dalam rangka akan terbitnya Palsu, edisi bahasa Indonesia thriller novelis Belanda Elvin Post. Ikuti perkembangannya pada akun Twitter Pionir Books (@PionirBooks) lewat tagar #PalsuNovelElvinPost.

30 November 2016

Ada di Mana Rayahan Museum Gardner? (Bagian I)

Museum Isabella Stewart Gardner
Museum Isabella Stewart Gardner.
Dua puluh enam tahun sejak karya-karya seni itu dicuri, kepala keamanan museum mempunyai dugaan siapa pelakunya. Namun, soal di mana gerangan rayahannya itu berada, dia hanya bisa mengangkat bahu.

Kadang kala, agar Anthony Amore tidak menjadi hilang akal setelah sebelas tahun lamanya memburu lukisan-lukisan rayahan milik Museum Isabella Stewart Gardner, dia, bersama tim petugas FBI yang ditugaskan pada kasus itu, menelaah bagaimana adikarya-adikarya yang pernah dicuri dari musem lainnya, berhasil pulang kembali.

Apabila ketiga belas karya seni Museum Gardner yang dirampok pada 1990 itu kembali pulang, apakah itu bakal berkat bantuan seorang penjahat pemain lama, yang akhirnya bersedia bekerja sama? Atau berkat seorang anggota keluarga yang sedang membongkar-bongkar warisan yang tersimpan di loteng? Atau berkat petunjuk dari masyarakat, dari seseorang yang melihat atau mendengar sisik melik pemungkas?

'Sering kami itu bilang, "Kapan ya, skenario seperti itu terjadi pada kita?"' ujar Amore, direktur keamanan Museum Gardner sejak 2005. Akan tetapi, setelah melakukan pencarian selama satu dasawarsa, setelah mengumpulkan 30.000 potong informasi terkait tindak pidana itu, dia meyakini bahwa kepulangan karya-karya yang hilang dicuri itu ibaratnya sudah di depan mata.

'Berkat secuil informasi saja, besok juga kasusnya bisa terpecahkan,' ujar Amore.

Pencurian seni terbesar dalam sejarah dunia terjadi di kota Boston, Amerika Serikat, 26 tahun yang lalu, yaitu pada 18 Maret 1990, ketika dua pencuri yang menyamar sebagai petugas polisi berhasil mengelabui petugas keamanan yang bertugas dan melarikan adikarya pelukis-pelukis ternama seperti Rembrandt, Vermeer, dan Manet.

Walaupun hampir tiga dasawarsa telah berlalu, kasus itu belum dipetieskan. Amore dan pihak FBI menandai peringatan ke-23 dan ke-25 perampokan dengan berbagi teori-teori utama mereka soal kasus tersebut, yaitu bahwa para pelakunya adalah pencuri kelas teri asal Dorchester, Boston, dengan campur tangan anggota Mafia dari Connecticut dan Philadelphia. Tahun ini, pada 2016, pada peringatan ke-26 kasus pencurian itu, Amore berspekulasi tentang bagaimana kasus itu bakal berakhir.

Namun, Amore menekankan agar ucapan dia jangan dianggap sebagai petunjuk mengenai tersangka-tersangka tertentu. 'Tolong jangan menganggap kata-kata saya sebagai tanggapan atas para pelaku aksi Gardner secara perinci,' ujarnya. 'Misalnya, nama yang satu ini selalu muncul dalam media cetak: Robert Gentile.' Seorang penuntut federal mendakwakan bahwa Gentile, seorang laki-laki berusia 79 tahun yang konon merupakan gangster Connecticut, kemungkinan menadah beberapa di antara lukisan yang hilang itu. 'Tetapi jangan beranggapan saya berusaha mengaitkan-ngaitkan Robert Gentile ke profil-profil itu.'

Dalam menyusuri jejak karya-karya yang dicuri, Amore, 49 tahun, sering menggunakan pendekatan yang lazim dipakai oleh ahli sejarah seni ketimbang oleh penyidik federal: dia telah mengumpulkan 1.300 potong informasi seputar kasus-kasus perampokan seni dari seluruh penjuru dunia. Meskipun Museum Gardner mempekerjakan Amore lima belas tahun setelah pencurian terjadi, dia betul-betul menghayati pekerjaannya: di dalam dompetnya terdapat salinan salah satu karya yang hilang itu, yaitu etsa karya Rembrandt berjudul Potret Sang Artis Sebagai Pria Muda sebagai pengingat akan aksi kejahatan yang sedang dia selidiki itu. Amore mengatakan bahwa kasus-kasus perampokan seni yang pernah terjadi sebelumnya bisa memberikan petunjuk mengenai para perampok Museum Gardner maupun cara kasus itu mungkin bisa dipecahkan.

Pada 1990, satu jam setelah Hari St. Patrick berakhir, sekelompok pelajar berjalan melewati Museum Gardner dan mendapati pemandangan yang ganjil: dua laki-laki berseragam polisi yang tengah duduk di dalam sebuah mobil preman model hatchback. Salah seorang dari para pelajar itu memperhatikan bahwa mobil tersebut tidak ber-nopol tetapi karena tidak ingin tertangkap tangan mengonsumsi alkohol di bawah umur, dia dan teman-temannya memutuskan untuk berlalu saja dari situ.

Pada pukul 1:24, mobil itu memasuki jalan pintu masuk pegawai. Salah seorang dari laki-laki berseragam polisi itu menekan tombol bel, mengaku kepada satpam yang bernama Richard Abath bahwa mereka datang karena ada laporan kericuhan, dan meyakinkan Abath untuk mempersilakan mereka masuk.

Berjam-jam kemudian, Abath dan seorang petugas satpam lainnya ditemukan di bawah ruang bawah tanah dalam keadaan diborgol dan direkat selotip. Tiga belas karya seni hilang, termasuk lima karya Edgar Degas dan tiga karya Rembrandt van Rijn, termasuk lukisan Kristus dalam Badai di Atas Danau Galilea dia, satu-satunya pemandangan laut yang diketahui pernah dilukis olehnya.

'Masyarakat tahunya perampokan berlangsung dengan begitu canggihnya,' ujar Amore. 'Itu anggapan yang keliru.' Seandai saja Abath mengikuti protokol dan menghubungi kepolisian Boston, tidak bakal petugas gadungan itu bisa menembus sampai ke dalam Museum Gardner. 'Pada dasarnya, itu rencana awur yang ternyata manjur.'

Rayahan pencuri mencakup adikarya pelukis Johannes Vermeer berjudul Konser, yang menurut Amore adalah benda paling berharga di dunia--$200 juta---yang pernah dicuri. Akan tetapi, koleksi lain yang mereka bawa pergi menjadikan Amore yakin bahwa, seperti sebagian besar pencuri seni lainnya dalam sejarah, mereka adalah penjahat biasa dan bukan pakar dalam kejahatan seni. Para pencuri tidak menyentuh Eropa karya Titian, lukisan paling berharga Museum Gardner, tetapi malah membawa pergi sebuah tampuk bendera berbentuk elang dari zaman Napoleon yang terbuat dari bahan perunggu.



Sumber: BostonMagazine.com


Palsu. Akan terbit.
Palsu. Akan terbit.
Tulisan di atas diturunkan dalam rangka akan terbitnya Palsu, edisi bahasa Indonesia thriller novelis Belanda Elvin Post. Ikuti perkembangannya pada akun Twitter Pionir Books (@PionirBooks) lewat tagar #PalsuNovelElvinPost.

24 November 2016

Abad Pencerahan II: Singkat Saja

Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Berikut suatu tanggapan terhadap tulisan bertajuk Pendidikan Socrates-Confusian, dan Pola Komunikasi Kita pada abdurakhman.com. Tautan tulisan: http://bit.ly/2fIyWlu.

Abad Pencerahan di Barat membebaskan masyarakat untuk menjadi pemikir otonom (seturut mazhab Socrates) dan menekankan dibuktikannya buah pikiran secara empiris (seturut mazhab Aristoteles). Hasilnya, masyarakat Barat zaman sekarang tidak lagi berkenan menuruti secara buta amar-amar tokoh pemimpin. Hanya saja, Abad Pencerahan tidak telah membawa pencerahan yang sesungguhnya.

Entah karena penekanan pada bukti empiris yang kebablasan, dunia fisik yang bisa diukur telah menjadi anak mas sementara dunia metafisik menjadi terpinggirkan. Pencerahan metafisik (seturut mazhab Plato)--pencerahan yang sesungguhnya--yang prosesnya menuntut jiwa yang otonom tetapi yang hasil akhirnya tidak dapat diukur, terluput dari gerakan Pencerahan Barat itu; penekanan, pada akhirnya, seperti yang kita bisa lihat, menjadi domplang ke ilmu pengetahuan--segala sesuatu harus dapat diukur.

Abad Pencerahan di Barat mengikuti mazhab Socrates-Aristoteles; untuk menciptakan keseimbangan antara dunia fisik dan dunia metafisik dunia Barat perlu mengalami Abad Pencerahan II yang bermazhabkan Socrates-Plato-Aristoteles.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 24 November 2016


'Kekekalan Laten Fasisme' karya Rob Riemen
Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

31 Oktober 2016

Agenda Kampanye Donald Trump

Donald Trump
Donald Trump, capres Partai Republik pada pemilu 2016 Amerika Serikat.
Sebagai kepala negara presiden AS mengendalikan dan mengelola anggaran yang dihimpun secara federal dengan mengatur belanja bebas (discretionary spending) dan kebijakan fiskal (pajak). Oleh karena itu, kampanye pemilu capres Amerika Serikat berkisar seputar pengalokasian dan pengelolaan anggaran federal tersebut. Lazimnya, capres Partai Republik mengusulkan beleid anggaran yang pro-wiraswasta sementara beleid capres Partai Demokrat lazimnya pro-korporasi.

Donald Trump, capres pemilu 2016 AS dari Partai Republik, bersiteguh pada tradisi itu. Hal itu tercermin pada keempat belas butir agenda kampanye dia.

1) Childcare
Penitipan Anak


Rujukan: I, II, III

Trump mengusulkan pemotongan pajak pendapatan bagi mereka yang memiliki anak sebagai kompensasi biaya penitipan anak yang dikeluarkan oleh mereka pada saat bekerja. Kebijakan itu diajukan dalam rangka menyiasati kenyataan bahwa di AS partisipasi angkatan kerja perempuan yang memiliki anak berusia di bawah 18 tahun mencapai 24 juta jiwa yang mana hampir 10 juta dari jumlah itu memiliki anak berusia di bawah 6 tahun. Trump juga mengusulkan cuti hamil 6 pekan bagi ibu-ibu pekerja yang baru melahirkan.

Ketekoran pemasukan pemerintah dari pajak dalam rangka penyelenggaraan usul tersebut hendak ditutup lewat reformasi pajak, dagang, energi, dan regulasi yang pro-pertumbuhan, dan juga lewat sejumlah penyesuaian operasional pada lembaga-lembaga pemerintah federal. Usul tersebut mengutamakan pekerja alih-alih pemegang saham.

2) Constitution and Second Amendment
UUD dan Amendemen Kedua


Rujukan: I, II

Trump membela kepemilikan senpi oleh warga sipil dalam rangka Amendemen Kedua UUD AS, yang diadopsi pada 1791, yaitu kala armada kapal layar VOC masih terlihat mengarungi perairan Nusantara. Puluhan juta warga AS, termasuk Trump, mengantongi izin membawa senpi dan sepertinya, bagi dia, izin tersebut selumrah surat izin mengemudi.

Alasan Trump ialah bahwa warga negara berhak membela diri dan keluarga. Akan tetapi, menjaga keselamatan warga negara ialah tugas negara bangsa yang, apabila diemban secara baik dan benar, menjadikan bangsa merasa aman dan kepemilikan senpi menjadi tidak perlu lagi.

3) Cybersecurity
Keamanan Siber


Rujukan: I, II

Trump mencemaskan serangan siber oleh negara asing seperti Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara, dan dia menyoroti skandal pos-el capres Partai Demokrat, Hillary Clinton. Dia hendak menjadikan kemampuan penyerangan dan pertahanan siber AS yang terkuat di dunia, menjadikannya salah satu senjata terampuh negara itu dalam menghadapi teroris.

Nada Trump mengandung peringatan kepada lawan dan sekaligus memicu reaksi subjektif pada diri warga AS, yaitu AS akan tetap tampil sebagai jawara. Akan tetapi, apabila pengakuan demikian harus diraih lewat paksaan, AS memang bakal harus terus membutuhkan senjata-senjata yang kian canggih. Bila AS hendak dijadikan besar kembali, keseganan itu mesti diberikan sendiri oleh lawan dengan sukarela.

4) Economy
Ekonomi


Rujukan:  I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, XI, XII, XIII

Lesunya ekonomi sebagaimana digambarkan oleh Trump dapat menjelaskan tingkat popularitas dia dalam pemilu AS 2016: Trump menempatkan diri selaku suara rakyat. Untuk menciptakan lapangan kerja dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi, maka alih-alih globalisme Trump mendukung Amerikanisme: dia ingin menurunkan pajak, melonggarkan regulasi, mendulang cadangan energi Amerika, dan, terkait sektor perdagangan, merundingkan kembali NAFTA, mengevaluasi posisi Tiongkok dalam WTO, dan menolak TPP.

Trump dalam hal ini mewakili posisi yang lazim diusung oleh Partai Republik, yaitu posisi yang pro-wiraswasta. Globalisme merupakan upaya untuk menjadikan korporatisme sebagai pengendali utama dunia. Sebagai ujung tombak NAFTA, TIPP dan TPP, Amerika Serikat memainkan peranan besar dalam hal itu. Trump bukannya menentang globalisme, tetapi dia memprotes timpangnya kedudukan Amerika Serikat dalam perdagangan global. Apabila itu bisa diperbaiki, dia bakal mendukung globalisme.

Korporat mementingkan pemegang saham dan pemegang saham mementingkan keuntungan. Itu sah-sah saja tetapi yang perlu dipertanyakan ialah: apakah dengan menempatkan korporatisme sebagai pengendali utama dunia, pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan akan menjadi terjamin? Dapatkah ia menjamin di masa mendatang tidak akan ada konflik yang pecah seputar hal itu?

5) Education
Pendidikan


Rujukan: I, II, III

Trump menjadikan pilihan sekolah (school choice) sebagai tumpuan kampanye terkait sektor pendidikan. Pada khususnya, dia meyakini sekolah carter memiliki keunggulan tertentu atas jenis sekolah lainnya. Walaupun menerima dana pemerintah sekolah carter tidak bergantung pada dewan sekolah atau dinas pemerintah dan ia tidak menarik uang sekolah. Kontribusi dari sektor swasta diperbolehkan. Sekolah jenis itu memusatkan kurikulum pada bidang tertentu (seperti teknologi) dan mengutamakan murid yang berkemampuan tinggi atau yang berisiko tinggi.

Visi pendidikan Trump terjalin berkelindan dengan visi ekonomi dia, yaitu Amerikanisme alias kapitalisme gaya Amerika. Tidak ada salahnya dengan kapitalisme, yang hanyalah suatu ikhtiar untuk mencapai tujuan tertentu. Permasalahannya, apakah dalam konteks Amerikanisme tujuan itu, baik dengan disengaja maupun tidak, akan menciptakan generasi pencipta atau generasi konsumer? Trump tidak menyinggung hal itu secara tersurat.

6) Energy
Energi


Rujukan: I, II, III, IV

Trump menekankan swasembada energi agar negaranya terbebas dari ketergantungan OPEC. Pada dasarnya, hal itu berarti bahwa Amerika harus menjadi swing producer minyak seperti Arab Saudi. Akan tetapi, shale oil Amerika belum bisa bersaing dengan minyak OPEC dari segi biaya produksi. Trump juga ingin menghidupkan kembali sektor batu bara Amerika tetapi apakah langkah itu realistis atau tidak patut dipertanyakan karena sektor tersebut tengah mendapat persaingan ketat dari gas alam yang sedang booming. Intinya, semuanya kembali ke harga dan permintaan, sesuatu yang tidak disinggung oleh Trump.

Kemungkinan bahwasanya perubahan iklim betul ditimbulkan oleh ulah manusia sepertinya tidak mau dia gubris. Batu bara adalah raja emisi gas CO2; shale oil dihasilkan lewat fracking, suatu teknik yang sangat tidak ramah lingkungan hidup.

David J.C. MacKay dalam Sustainable Energy–-without the hot air (2008) menyebutkan bahwa apabila Amerika ingin menggantikan kebutuhan energinya dengan sumber non-BBM negara itu harus berpaling ke energi nuklir dan energi surya. Dalam jangka panjang langkah itu bisa dijalankan untuk mengurangi ketergantungan pada fluktuasi politik dan pasar dunia. Namun, pilihan itu tidak disinggung oleh Trump.

7) Foreign Policy and Defeating ISIS
Kebijakan Luar Negeri dan Mengalahkan ISIS


Rujukan: I, II, III

Titik tumpu kampanye Trump tertuang dalam posisi kebijakan luar negeri dia. Alih-alih menjalankan beleid neokonservatisme dia ingin Amerika menggalang kekuatan untuk menumpaskan terorisme Islam radikal, yang dia gambarkan seturut fasisme, naziisme dan komunisme. Perbedaannya seperti apa belum jelas tetapi dalam rangka merealisasi wacananya itu Trump siap menerjunkan tentara ke lapangan sambil mengharapkan uluran tangan NATO, Israel, Mesir, Yordania, dan bahkan Rusia. Di dalam negeri Trump ingin untuk sementara waktu membekukan imigrasi warga dari kawasan rentan terorisme.

Trump mengutarakan apa yang ada dalam pikiran jutaan warga Amerika yang merisaukan keselamatan mereka. Wacana tersebut mungkin memadai untuk memenangkan pemilu tetapi tidak untuk meyakinkan dunia bahwasanya Amerika bukan berjualan neokonservatisme dalam kemasan yang berbeda.

8) Health Care
Rawat Kesehatan


Rujukan: I, II

Trump mempermasalahkan Obamacare. Bagian terbesar anggaran federal dialokasikan ke pos pertahanan; pada urutan kedua ada pos rawat kesehatan. Mengapa tidak mengalokasikan sebagian besar anggaran pertahanan ke rawat kesehatan sehingga menjadikan layanan kesehatan terjangkau bagi semua lapis masyarakat Amerika? Atau, apakah Amerikanisme hanya berkenaan dengan pertahanan dan perdagangan?

9) Immigration
Imigrasi


Rujukan: I

Semua hal yang disebutkan oleh Trump terkait keimigrasian masih dalam batas-batas kewajaran, terkecuali pembangunan tembok Meksiko itu. Tembok Berlin yang dibangun pada 1961 dan bertahan hingga 1989 itu sudah memberikan preseden buruk. Alangkah baiknya itu jangan diulang kembali.

10) National Defense
Pertahanan Nasional


Rujukan: I, II, III, IV, V

Trump ingin Kongres meniadakan pemotongan anggaran otomatis pada pos pertahanan (defense sequester) agar dia bisa membangun kembali tentara nasional AS (demi menumpaskan ISIS dan mengantisipasi kemajuan pertahanan negara-negara seperti Iran dan Korea Utara). Untuk menutup ketekoran dia akan mengaudit Pentagon dan menyudahi program-program federal yang mubazir.

Senjata terbaik adalah akal. Mengapa Trump tidak meniadakan pemotongan anggaran pada pos pendidikan saja?

11) Regulations
Peraturan


Rujukan: I, II, III

Sejalan dengan haluan Partai Republik, Trump merencanakan deregulasi demi menggairahkan dunia usaha. Langkah-langkah yang dia usulkan rupanya cukup manjur: taxfoundation.org mematok pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sepuluh tahun ke muka sebesar paling tidak 6,9% meskipun banyak juga yang menyangsikan keakuratan perhitungan tim ekonomi Trump.

Deregulasi Trump pada sektor pajak, perdagangan regulasi, dan energi menekankan pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan faktor lingkungan hidup.

12) Tax Plan
Pajak


Rujukan: I

Wacana fiskal Trump berkenaan dengan pajak pendapatan perorangan dan pajak usaha. Pajak pendapatan Trump memangkas pajak semua golongan pendapatan sementara pajak usaha dia bertujuan menjadikan Amerika tempat berinvestasi yang lebih menarik.

13) Trade
Perdagangan


Rujukan: I, II

Alih-alih globalisme, yang pro-korporasi, Trump hendak menggalakkan perdagangan bebas, yang pro-Amerika--Amerikanisme. Untuk itu dia ingin merundingkan kembali NAFTA, menindak pelanggaran-pelanggaran Tiongkok dalam kerangka WTO, dan menarik mundur Amerika dari TPP. Hanya saja, Amerikanisme versi Trump tidak pro-lingkungan hidup (lihat poin no 6).

14) Veterans Affairs Reform
Reformasi Urusan Veteran


Rujukan: I, II

Di negara tempat dua puluh veteran perang membunuh diri per hari, reformasi terbaik ialah untuk menghentikan sekalian kegiatan peperangan. Untuk itu dibutuhkan panglima tertinggi yang berhaluan perdamaian, bukan seorang Donald Trump.

Kesimpulan

Kelebihan Trump ada pada kemampuannya dalam melakukan bisnis. Mencari peluang, menjalankan proyek, dan mendulang untung sudah makanan sehari-hari Trump. Akan tetapi, dari seorang presiden negara dituntut lebih banyak. Dia harus menjadi manajer rakyat, mengelola kepuasan dan ketidakpuasan rakyat terkait pemenuhan kebutuhan mereka mulai dari papan, sandang, dan pangan sampai kerohanian. Dia harus mampu merangkul semua golongan dan lapis masyarakat, baik yang kaya, miskin, minoritas dan mayoritas. Dia harus mampu menjadikan negara memuliakan bangsa. Trump dalam hal ini bukan capres yang kapabel.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 31 Oktober 2016



Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

10 Oktober 2016

Manusia dan Daya Cipta Ilahiahnya

Kejadian 1:27
Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
'Penciptaan Adam' karya Michelangelo
Bisa ditafsirkan secara eksoterik maupun secara esoterik.
Ayat yang dikutip dari kitab Kejadian dalam Perjanjian Lama Alkitab itu berkisah tentang penciptaan manusia. Secara eksoterik ia dapat ditafsirkan sebagai penciptaan manusia secara badani tetapi secara esoterik ia bisa dibaca sebagai penciptaan manusia secara rohani.

Pada tulisan 10 Questions for Multiculturalists: Answered, Barisan Hasrat (Progression of Desires) dileburkan ke dalam model dengan penempatannya sebagai bangun segitiga yang oleh tiga sekat mendatar lantas dibagi menjadi empat bagian. Setiap bagian pada segitiga tersebut mewakili suatu hasrat pada Barisan Hasrat, yaitu (dari rendah ke tinggi) kesintasan, kekayaan, kekuasaan dan keilmuan, yang harus dituntaskan oleh setiap insan egoistis sebelum dia bisa mengubah diri menjadi insan altruistis. Bangun segitiga dipilih karena sifat hierarkis Barisan Hasrat: hasrat yang lebih tinggi melingkupi yang lebih rendah. Bentuk segitiga mewakili hal itu secara tepat adanya.

Dalam Barisan Hasrat, semakin rendah hasrat semakin bendawi pula perwujudannya. Hasrat tertinggi--keilmuan--bersifat nirwujud. Lantas dengan bertolak dari hasrat-akan-keilmuan, hasrat-akan-kekuasaan menyelenggarakan penghimpunan hal-hal yang terwujud pada tingkat di bawahnya, yakni hasrat-akan-kekayaan, yang pada gilirannya menyelenggarakan penghimpunan hal-hal yang terwujud pada hasrat-akan-kesintasan.

Apabila Barisan Hasrat diterapkan untuk menafsirkan ayat Kejadian 1:27 secara esoterik, penciptaan manusia berlangsung dalam rangka hasrat-akan-keilmuan dan oleh karena itu berlangsung pada bagian tertinggi alias puncak segitiga. Ayat itu menuturkan penciptaan manusia sebagai suatu gagasan yang, dalam suatu riam informasi (information cascade), lantas turun mengalir sepanjang lapis-lapis segitiga sehingga menjadi gagasan yang berwujud kian bendawi, hingga tercipta manusia dalam bentuk fisik.

Perlu digarisbawahi bahwa pewujudan gagasan pada Barisan Hasrat hanya bersifat egoistis sedangkan pada konteks Alkitab pewujudan bersifat altruistis. Hal itu tercermin dalam (penggalan) ayat Kejadian 1:31:
Kejadian 1:31
Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.
Manusia ciptaan istimewa karena berdaya cipta, yaitu dia mampu membidani gagasan yang kemudian diwujudkannya pada lapis-lapis segitiga Barisan Hasrat. Hal itu sesungguhnya suatu kesamaan yang ada antara manusia dan Tuhan, yang mana hal tersebut dinyatakan secara tersurat dalam ayat Kejadian 1:27: ... Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya.... Daya cipta ialah kemampuan ilahiah. Namun, dalam ranah fana ini manusia mencipta karena dorongan egoistis; dalam ranah kekal Tuhan mencipta karena dorongan altruistis (yang sungguh amat baik).

Dalam mewujudkan ciptaan, manusia menciptakan segala sesuatu menurut gambar manusia. Artinya, segala sesuatu yang diciptakannya mencerminkan kebutuhannya--yang bersifat egoistis. Namun, manusia pada saat ini belum mampu membidani gagasan berupa ciptaan berkemampuan daya cipta, seperti, misalnya, kecerdasan buatan yang berkesadaran (seperti halnya Tuhan menciptakan manusia). Menimbang bahwa ciptaan manusia bertolak dari egoisme, hal itu ada baiknya juga.

Sebagai catatan, negara bangsa ialah gagasan yang juga tercetus dari dorongan untuk memenuhi hasrat egoistis manusia. Negara bangsa ada untuk memenuhi hasrat semua komponen bangsanya tanpa terjadi gesekan dan agar jangan sampai terjadi gesekan, negara bangsa harus melakukan pengelolaan sedemikian rupa sehingga kebutuhan semua komponen bangsanya untuk menuntaskan hasrat dalam rangka Barisan Hasrat menjadi terlaksana dan terjamin. Itu penting karena, sebagai contoh, apabila hasrat-akan-kesintasan satu atau lebih komponen bangsa tidak terpenuhi, bahaya laten fasisme yang mengintip dalam relung hati manusia bisa saja terbangun, sebagaimana bisa dilihat tengah berlangsung pada saat ini di benua Eropa.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 10 Oktober 2016



'Kekekalan Laten Fasisme' karya Rob Riemen
Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

30 September 2016

10 Kasus Pencurian Seni Terbesar Abad ke-20 (Bagian II)

6. Belanda: Desember 1988

'Bunga Matahari Kering' karya Van Gogh.
Tebusan lebih mudah diperoleh bilamana karya lukisan diasuransikan.
Tiga lukisan Van Gogh––Bunga Matahari Kering, Ruang Dalam Penenun, dan versi awal Pemakan Kentang––dicuri dari Museum Kroller-Muller di Otterlo, Belanda. Pola gelombang pencurian seni pada umumnya mencermini pola gelombang pasar seni, dan itu pula yang dialami pada kasus ini. Dua pekan sebelum kejadian terbit sebuah daftar berisikan harga-harga tertinggi yang pernah diraup pada perlelangan karya seni Sotheby's dan Christie's. Dalam daftar sepuluh karya termahal tercantum lima lukisan Van Gogh, termasuk Bunga Iris yang laku $ 53,9 juta (termahal pada waktu itu).

Para pelaku menuntut tebusan $ 2,5 juta. Pada 13 Juli 1989, pihak kepolisian berhasil memulangkan kembali barang curian. Tanpa membayar tebusan.

7. Amerika Serikat: Maret 1990

Pada pukul 01:24, yaitu pagi hari setelah St Patrick's Day, dua laki-laki berseragam polisi mengetuk pada sebuah pintu samping Museum Isabella Stewart Gardner di Boston dan mengaku adanya laporan ‘kegaduhan' di lokasi itu. Petugas satpam mempersilakan mereka masuk tetapi dia malah langsung diborgol dan kemudian disekap di ruang bawah tanah. Karya yang digondol para pencuri meliputi Konser karya Vermeer, Kristus dalam Badai di Atas Danau Galilea karya Rembrandt (satu-satunya lukisan pemandangan laut maestro Belanda itu), Chez Tortoni karya Manet, lima lukisan Degas, dan sejumlah pernak-pernik seperti cawan perunggu Tiongkok dan tiang panji-panji dari zaman Napoleon. Namun, para pencuri tidak menyentuh lukisan zaman Renaisans, seperti Eropa karya Titian (karya paling berharga museum itu).

'Kristus dalam Badai di Atas Danau Galilea' karya Rembrandt.
Masih juga hilang...
Total nilai gedoran diperkirakan mencapai $ 300 juta. Pada 1997, kala penyelidikan tengah mengalami jalan buntu, pihak museum menaikkan hadiah uang dari $ 1 juta ke $ 5 juta. Langkah itu lantas mengundang munculnya banyak pemberi info, termasuk di antaranya seorang diler barang antik asal Boston, William P. Youngworth III. Youngworth agak kurang jelas juntrungannya tetapi dia berhasil meraih perhatian begitu dia menghubungi Tom Mashberg, seorang wartawan Boston Herald, dan mengaku bahwa dia dan Myles Connor, yang juga berlatar belakang kurang jelas, sanggup mengupayakan pemulangan barang gedoran itu. Harga dia: kekebalan bagi diri dia, pembebasan Connor dari penjara, dan hadiah uang itu. Pada saat perampokan Gardner berlangsung Connor tengah meringkuk di penjara––lantaran kasus pencurian seni yang berbeda––tetapi dia mengaku bisa melacak barang curian itu apabila dia dibebaskan. Kecurigaan tentu saja muncul. Kemudian Mashberg mendapat panggilan telepon yang berujung dengan suatu perjalanan malam ke sebuah gudang tempat dia––di bawah temaram lampu senter––ditunjukkan lukisan yang diyakini adalah Kristus dalam Badai di Atas Danau Galilea-nya Rembrandt. Dia kemudian dibekali sejumlah serpihan cat, yang konon dicongkel dari lukisan itu. Namun, serpihan ternyata tidak berasal dari lukisan Rembrandt itu. Jaksa Amerika Serikat menuntut bahwa salah satu lukisan dipulangkan saja sebagai bukti bahwa barang curian betul ada pada pihak pengirim serpihan cat tetapi hal itu tidak ditanggapi dan perundingan pun menjadi mentah. Connor kini sudah bebas tetapi koleksi barang seni itu masih juga hilang.

8. Kuwait: Agustus 1990

Museum Nasional Kuwait dan Dar al-Athat al-Islamiyya (Balai Baharian Islami) dijarah selama pendudukan tujuh bulan oleh Irak. Bangunan-bangunan itu dibumihanguskan. Kedua museum tersebut menyimpan salah satu koleksi seni islami terbaik dunia yang oleh keluarga al Sabah dari Kuwait dihimpun selama 1970-an dan 1980-an. Kurang lebih 20.000 barang koleksi––termasuk senjata, zirah, keramik, tembikar, segel, dan barang seni hiasan dari Persia kuno, Mesir Mamluk, dan kaisar-kaisar Mughal di India dan Kuwait dari Zaman Perunggu––dimuat ke dalam peti-peti dan oleh tujuh belas truk gandeng dibawa pergi ke Museum Nasional Irak di Baghad.

Harapan bahwa koleksi tersebut suatu hari bisa dipulangkan sempat cukup tipis (mungkin dengan cara dibeli secara ketengan pada pasar gelap) tetapi sebuah tim kurator tiba di Baghdad enam bulan setelah gencatan senjata dan antara 16 September dan 20 Oktober 1991 kurang lebih 16.000 barang koleksi berhasil dipulangkan.

Pencurian seni massal berdukungan negara itu mengingatkan pada aksi para penakluk zaman dahulu, seperti mereka pada zaman monarki Eropa dan Napoleon. Dan niat Saddam––seperti halnya Hitler––melangkau sekadar tujuan melakukan perampasan. Dia berniat menghapus jati diri sejarah dan budaya Kuwait.

9. Belanda: April 1991

'Ladang Gandum dan Burung Gagak' karya Van Gogh.
Dalam dunia hitam karya seni biasanya menjadi cagaran.
Empat orang Belanda ditahan lantaran merampok Stedelijk Museum di Amsterdam dan menggondol tidak kurang dari dua puluh lukisan Van Gogh. Semuanya ditemukan kembali dalam tempo satu jam. Pihak kepolisian meyakini bahwa apabila perampokan berhasil tidak akan ada permintaan uang tebusan. Kanvas-kanvas itu bakal dijadikan instrumen keuangan pada ekonomi hitam global.

Tiga di antara lukisan itu, termasuk salah satu lukisan visioner pemungkas Van Gogh––Ladang Gandum dan Burung Gagak––kembali dalam kondisi rusak berat. Karena lukisan yang dicuri biasanya pulang dalam keadaan baik, sering dilupakan bahwa sesungguhnya ia adalah benda yang ringkih. Kasus ini menjadi pengingat yang menohok akan hal itu.

10. Swedia: Desember 2000

'Warga Muda Paris' karya Renoir.
Cara para pelakunya melarikan diri mirip adegan film laga.
Pada pengujung Desember, beberapa menit menjelang jam tutup seorang laki-laki melangkah masuk ke dalam Musem Nasional di Stockholm sembari menenteng sebuah senapan mesin ringan. Begitu sampai di lobi dia menodongkannya ke satpam yang tidak bersenjata itu sementara dua kawannya, yang sudah berada di dalam, mencuri sebuah potret diri Rembrandt dan dua lukisan karya Renoir, yaitu Warga Muda Paris dan Perbincangan, di lantai dua. Pada saat keluar mereka menaburi lantai dengan paku sebelum kabur dengan menaiki perahu motor.

Mereka lantas mendekati seorang pengacara yang menyampaikan tuntutan tebusan sebesar $ 10 juta per lukisan. Pihak kepolisian meminta foto-foto lukisan. Foto-fotonya ternyata meyakinkan dan polisi sontak menuntut si pengacara membuka jati diri para pelaku. Si pengacara menolak atas dasar kerahasiaan dan bersikeras bahwasanya dia ‘tidak telah berbuat salah' lantaran tidak meminta uang komisi dari para pelaku. Akan tetapi, tetap saja dia diperlakukan sebagai tersangka. Delapan orang ditahan dan surat perintah untuk penahanan orang kesembilan telah diterbitkan. Namun, sampai kini lukisan-lukisannya masih juga raib.

Bagian pertama tulisan di atas dapat dibaca di sini.


Novel 'Palsu' karya Elvin Post.
Palsu
Tulisan di atas diturunkan dalam rangka akan terbitnya Palsu, edisi bahasa Indonesia thriller novelis Belanda Elvin Post. Ikuti perkembangannya pada akun Twitter Pionir Books (@PionirBooks) lewat tagar #PalsuNovelElvinPost.

26 September 2016

A Stupid Open Letter to Geert Wilders Pt 2

September 26, 2016


Dear Mr. Geert Wilders,

A STUPID OPEN LETTER TO GEERT WILDERS PT 2

It was with great interest that I read your preliminary election program for the forthcoming elections in the Netherlands, a one-pager you announced through social media in late August, and also the research report that you commissioned that made a case for direct democracy in the Netherlands along the lines of the Swiss model, a more involved piece that you announced through social media in mid September.

The program, however, is tilting at windmills. It seeks to control things it cannot control. It's aware of it too, hence the use of forceful language. It seeks to transform heterogeneity into homogeneity. Is that though what the purpose is of a nation state? Is that how you think a nation state can justify its presence?

The report, meanwhile, calls on the Swiss model. Models can be very useful indeed: they simplify things to enable us to see the forest for the trees. In the report, the Swiss model is treated as a benchmark. Not that I have anything against Switzerland but what makes that country so special? How sure are the authors of the report that Switzerland cuts the mustard vis-à-vis answering the questions of what the purpose of the Netherlands is and how the Netherlands is supposed to justify itself as a nation state in this day and age?

Both documents come over as you trying to find a way to ensure that each year Santa will give you the exact presents that you want for Christmas. To do so you scoured every God-fearing country in the world in the hope of finding one that seems to have cracked the secret.

Kids are allowed to do that but you're a grown-up. Grown-ups know Santa doesn't exist. As a grown-up it's the moral behind the myth and not the presents that counts.

Enclosed please find something that you may find interesting. Thank you for your time.


Sincerely,

Laurens Sipahelut
Translator


Enclosure: 10 Questions for Multiculturalists: Answered

cc: Mr. Mark Rutte, Prime Minister of the Netherlands




Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

10 Questions for Multiculturalists: Answered

This is a response to a YouTube video made by a Finnish vlogger that goes by the name of The Swan of Tuonela. In the video she poses ten questions to multiculturalists in the context of the ongoing migrant crisis in Europe. The video can be viewed at https://youtu.be/RBEAcoIbt6Y.

I'm not a multiculturalist though my coming over as one is simply an effect of the way I view the world and because of that I think I still qualify to answer. To explain my world view and to address the questions I will have to build a model that combines Plato's allegory of the cave, Bill Murray's 1993 movie Groundhog Day, and PoliticalCompass.org's political chart. It will set an objective benchmark against which subjective notions can be measured against.

Let's start with the first component: Plato's allegory of the cave. The allegory forms the model's metaphysical framework: it depicts the transformation of the desire-driven egoistic mindset, i.e. the prisoner chained to the wall of the cave, into a desire-free altruistic mindset, i.e. the prisoner that has been freed from the cave.

Its key idea: humankind's egoistic desires are played out in the physical world but, Plato says, that world is an illusion. The real world, he says, takes place between your ears. As a consequence, change cannot be brought about through the manipulation of things in the physical world; it can only be achieved through the mind. The prisoner that has been freed from the cave knows this to be true.

The second component, the Bill Murray movie, breaks down the metaphysical transformation into four desires the chained prisoner must see out before a breakout from the cave's confines is made possible. The desires are, from base to apex: survival, wealth, power, and knowledge.

Its key idea: Every person has to go through a progression of desires before a desire-free altruistic state of mind can be achieved.

The third and final component, the PoliticalCompass.org's political chart, links the metaphysical to the physical. It shows how the desires play out in the physical world with the desire for survival—the chart's social dimension—being represented by the Authoritarianism-Libertarianism y-axis and the desire for wealth—the chart's economic dimension—being represented by the Left-Right x-axis. The desire for power—politics—manipulates the axes not unlike a puppeteer operating a marionette using a control bar.

Its key idea: the people at PoliticalCompass.org brilliantly and astutely reduced the political system to a two-dimensional chart to give account for the social and economic dimensions of politics. It coincides with the progression of desires depicted in Groundhog Day though without acknowledging the desire for knowledge.

Plato making mention of the imperative for philosophers to become kings implies that an additional z-axis representing the desire for power needs to be added to the chart. This allows for the desire for knowledge—philosophy—instead of the desire for power—politics—to operate the control bar, i.e. rule by philosopher-kings instead of by politicians. Now let's assemble the model.

First I need to modify the cave's floor plan. Instead of having a single expanse I am going to put in a triangular (read: a two-dimensional pyramidical) structure to partition the space into four tiers with the widest section—the base—resting against the cave's wall and the narrowest section—the apex—pointing away from it. Each tier, from base to apex, represents a desire, i.e. survival (at the base), wealth, power, and then knowledge (at the apex). The triangle's tapering shape symbolizes the desires' hierarchical nature as the higher desires form an arch over the lower ones.

With the Bill Murray movie incorporated next I am going to incorporate the political chart but with the extra z-axis, and finish the model. The original two-dimensional chart allows for the expression of only the first three desires as it leaves the operation of the control bar to politics (the desire for power) by omitting philosophy (the desire for knowledge). In the cave, this would've had given us a three- instead of a four-tiered triangle but by having the latter in place humankind's desire for knowledge can now be accounted for.

In the original chart, both the axes represent scales extending between two extremes; Left-Right for the x-scale and Authoritarianism-Libertarianism for the y-axis. They point to dualism. What Left and Libertarianism have in common is they are both inclusive just as Right and Authoritarianism are exclusive. Thus the dualism pertains to inclusiveness and exclusiveness. I am going to apply the same idea to the z-axis (politics) and to the control bar, the desire for knowledge aka philosophy.

To incorporate the chart into the model I will only have to make the triangle dualistic in nature and to do so, while also taking into account the triangle's hierarchical nature, I will only have to concern myself with the apex because whatever goes down there will trickle down in an information cascade to the tiers below. So the top tier (philosophy) can be either inclusive ('I') or exclusive ('E') even as it assigns either an 'I' or an 'E' value to each of the other three tiers below it. To allow for all the possible permutations to play out, the apex needs to be given four 'I' and four 'E' values which it can then assign to itself and to the other three remaining tiers. Sixteen permutations are made possible this way:

(Philosophy, Politics, Economic Dimension, Social Dimension) OR (Control Bar, Z-Axis, X-Axis, Y-Axis)

 1. I,I,I,I  5. I,E,I,I  9. E,I,I,I  13. E,E,I,I
 2. I,I,I,E  6. I,E,I,E  10. E,I,I,E  14. E,E,I,E
 3. I,I,E,I  7. I,E,E,I  11. E,I,E,I  15. E,E,E,I
 4. I,I,E,E  8. I,E,E,E  12. E,I,E,E  16. E,E,E,E

Every person has a triangle in Plato's cave as does every group, people, or nation. A triangle's size is determined by the extent of influence the philosophy nested in its apex exercises in the physical world. Smaller triangles are superimposed over larger ones. The world's borders are not delineated by country but by philosophy and they may shift from time to time in a game of triangles.

As a philosophy cascades down a triangle, it manifests in ever more crude forms of expression. At its most crude it manifests as a physical structure. Back in the day people used to build cathedrals, today it's shopping malls: the larger the triangle the more ubiquitous its cathedrals of desires become.

Note that the cave's interior is a desire-driven and therefore an egoism-proper and therefore an exclusiveness-proper environment while its exterior is a desire-free and therefore an altruism-proper and therefore an inclusiveness-proper environment. As a result, inside the cave the 'E' value is a true value while the 'I' is a false value. By the same token, outside the cave the 'I' is the true value while the 'E' is a false one.

Thus expression of the 'I' value inside the cave is but a simulated one, an instance of such principles as the Golden Rule in action. The default expression is that of the 'E' value. But human beings have an intuitive yearning to evolve and to express the true 'I' value, i.e. to step outside of the darkness of the cave and into the bright light of the open expanse. Thus our obsession with religion and spirituality and our interpreting of them in an exoteric light, i.e. as an expression of the false 'I' value. Outside the cave the interpretation becomes esoteric in nature, meaning that of the true 'I' value.

According to Plato, the most important purpose in life should be to look past the veil of illusion and to perceive the true reality, something that can apply to individuals (i.e. on a micro scale) and to communities or nations or indeed the whole world (i.e. on a macro scale) alike. However, it is an effort that is as difficult as it is important as it requires a person to have quenched all the egoistic desires save the one for knowledge. The desire for knowledge will then fuel that person's search for answers to the Big Questions, which most certainly will constantly involve putting cherished beliefs through the wringer. And even then true reality will not dawn unless the notion of past and future is quieted and the now is perceived. It is, however, possible to help the process along by advancing inclusive philosophies, politics, economic policies, and social policies (I,I,I,I). Such endeavor should be in fact the most important thing a nation state could do to justify its existence.

On to the questions:

1. What is the acceptable price tag for your multicultural dream? How many crime and terrorism victims would it take for you to say the price is too high?
It's not a dream but rather a Platonic illusion. What you call multiculturalism cannot be made to work through the manipulation of the physical world because doing so would only highlight existing superficial differences. Your referring to it as multiculturalism attests to this: it implies the bringing together of different cultures. Inside the cave, differences are perceived as a threat to the quenching of egoistic desires. Clashes will ensue. To make multiculturalism work you will have to transform differentness into sameness.

Metaphysically speaking, culture can be thought of as an aggregate of expressions under the progression of desires, i.e. the ways in which people act out their carnal and spiritual needs and everything in between. Inside the cave, every person has desires and must act these out either inclusively or exclusively. That's a trait shared by everyone. A culture is a combined expression of a group of people acting out their desires. But these desires must be acted out in a fashion that allows you to move forward under the progression of desires.

The acceptable price tag would be if multiculturalism allows all groups to move forward under the progression of desires. The price would be too high if even only one group stagnates, not to mention regresses, under the progression of desires.

Having said that, it is your job as an individual to assure that you keep moving forward (you make your own luck, as the saying goes). The only way I know you can achieve that is by cultivating an understanding of yourself as a human being. You understand yourself, you understand everyone, and differentness is transformed. The job of the nation state is to see to it that its nation moves forward under the progression of desires. It can do so with the tools that it has at its disposal, e.g. the education system.

2. Why is it only us who need multiculturalism? Shouldn't strict monocultures such as Iraq, Saudi Arabia, Somalia, or Afghanistan need it much more?
The question is an expression of grievance as you perceive that your need to quench your egoistic desires has been compromised. But by hitting out at the world you're tilting at windmills. Nobody needs multiculturalism. Not in the cave anyway. You may don't want those migrants in your country but how sure are you that they want to be there in the first place? The way I see it, exclusive policies have resulted in those migrants regressing to the desire for survival. And to make matters worse, host communities have come to perceive these people as a threat to their own desire for survival. If the nation state does not take due action fast, i.e. by tending to the desire for survival of both sides, things can get ugly. Think fascism.

What the nation state can do at this instance, however, is to make changes in the physical world only, which don't count as real changes. Real change, as I have mentioned, can only be brought about in the mind and that is up to each person individually. You make your own luck.

3. Did you end up with your ideology by evaluating arguments and evidence, or do you find yourself believing in multiculturalism in spite of them?
I ended up with my world view by evaluating personal life experiences which I then applied to more general contexts.

4. Do you believe that any culture or religion no matter how anti-liberal or anti-democratic is suiting material for peaceful coexistence in a multicultural society?
Peaceful coexistence in a multicultural society can only take place if each of the components making up the melting pot—no matter how exclusive some may be—are allowed to progress along the progression of desires. The main responsibility to progress, however, lies with you. Think of what Plato said about the most important purpose in life.

5. If all cultures are equally good why is it only our culture that needs changing?
Cultures that allow for progress along the progression of desires inside the cave are all equally good. Cultures that allow you to escape the confines of the cave are, however, better. If your culture must change, change for the better although, and at this point you may start to see a pattern developing, it's much more conceivable for you yourself to change and in so doing to become the change.

6. Why does racism stop being a huge problem when Iraqis commit racist hate crimes at 24 times the rate local white people do and Somalis at 36 times the rate?
It doesn't and you know it.

7. How does importing intolerant bigoted people help to create a more tolerant modern society?
tolerate
· v.
1 allow the existence or occurrence of (something that one dislikes or disagrees with) without interference.
2 endure (someone or something unpleasant) with forbearance.
Concise Oxford Dictionary—Tenth Edition

Next question, please.

8. Is striving for multiculture worth making our countries much more dangerous and scary places for women?
Even more dangerous and scary than women? I'm sorry, I'm only half kidding.

9. What are the great benefits of multiculture that outweigh all the harm on safety, economics, and social cohesion?
Changes for the better in the corridors of power and in the hallways of excellence.

10. Why do you believe an ideology that has never worked anyway could work in your country now?
I'm positive it's capitalism you're talking about.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 25 September 2016




Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

17 September 2016

10 Kasus Pencurian Seni Terbesar Abad ke-20 (Bagian I)

Pencurian Mona Lisa dari Museum Louvre di Paris pada 1911 dianggap sebagai pencurian seni besar pertama abad ke-20. Sejak itu, ribuan karya seni, besar maupun kecil, hilang dicuri baik sebagai akibat dari ulah pencuri profesional maupun sebagai akibat dari perang.

Walaupun sebagian besar curian berhasil ditemukan kembali, banyak yang hingga kini masih raib. Hal itu bisa jadi menandakan betapa tidak bertanggung jawabnya ulah oknum-oknum kolektor tertentu ataupun betapa sulitnya pencuri menemukan pembeli.

Mungkin karena gabungan faktor kenekatan, uang dan keindahan, tetapi cerita pencurian seni acap diangkat ke layar lebar maupun ke halaman buku. Contoh, edisi bahasa Indonesia Vals beeld karya novelis Belanda Elvin Post yang akan terbit dari penerbit Pionir Books dengan judul Palsu, yang diilhami kisah nyata.

Berikut bagian pertama sepuluh kasus pencurian seni terbesar dunia abad ke-20 versi Forbes.com:

1. Inggris Raya: Agustus 1961

'Potret Adipati Wellington' karya Goya.
Dicuri oleh... Robin Hood.
Pada 1961, kolektor kaya raya Charles Wrightsman membeli lukisan Goya berjudul Potret Adipati Wellington seharga $ 392.000 dan dia berencana memboyongnya ke negara asal dia, Amerika Serikat. Begitu mengetahui niatnya tersebut masyarakat Inggris Raya merajuk sampai-sampai pemerintah memutuskan untuk membeli lukisan itu dengan harga beli tadi. Belum sampai tiga pekan menggantung di museum National Gallery, London, lukisan dicuri. Pelakunya menuntut tebusan sebesar harga lukisan yang, menurut pengakuannya, akan dia sumbangkan sebagai derma. Pemerintah bergeming.

Pada 1965, pencurinya mengirimkan sebuah nomor pengambilan barang kepada harian Daily Mirror di London dan pihak kepolisian menjemput lukisan itu di tempat penitipan bagasi sebuah stasiun kereta api. Enam pekan kemudian, pencurinya, yang bernama Kempton Bunton dan berprofesi sebagai pengemudi bus, menyerahkan diri. Dia berencana menggunakan tembusan untuk membayar langganan TV bagi mereka yang tidak berpunya. (Ternyata.) Bunton diganjar tiga bulan hukuman penjara.

2. Italia: Februari 1975

'Dera Kristus' karya Piero della Francesco.
Dipotong ke luar dari bingkai.
Italia, gudangnya seni yang ternyata juga menjadi rumah sejumlah mencit nakal. Ketika dua lukisan karya Piero della Francesco––Dera Kristus dan Madona Senigallia––dan sebuah lukisan karya Raphael––Si Bisu––dipotong ke luar dari bingkai dan dicuri dari Istana Keadipatian, Urbino, aksi itu dijuluki 'Kejahatan Seni Abad Ini'.

Tindak pidana tersebut murni bermotif uang. Para pelakunya kriminalis setempat yang berencana menjual curian mereka ke pasar internasional. Akan tetapi, seperti yang juga bakal didapati oleh pencuri seni lain sesudah mereka, bukanlah perkara mudah melego adikarya yang sudah langganan direproduksi oleh orang. Pada Maret 1976, ketiga lukisan itu ditemukan kembali tanpa kekurangan apa pun di Locarno, Swiss.

3. Prancis: November 1985

'Impresi, Soleil Levant' karya Monet.
Ulah... mafia Jepang?
Pencurian sembilan lukisan, termasuk Orang Mandi karya Renoir dan Impresi, Soleil Levant karya Monet, dari Museum Marmottan, Paris, berlangsung pada suatu Minggu. Pada awalnya, pihak kepolisian menaruh syak kepada kelompok radikal Action Direct. Akan tetapi, pada awal 1984 sejumlah lukisan juga pernah dicuri dari sebuah museum di luar Paris, yang berkat info seorang penadah berhasil ditemukan kembali di Jepang, yaitu di dalam tangan Shuinichi Fujikuma, seorang gangster. Yang ternyata juga menjadi otak perampokan Marmottan tadi. Buktinya, sebelum aksi Marmottan berlangsung dia sempat mengedarkan katalog sembilan lukisan yang tidak lama kemudian raib itu.

Pembatasan jangka waktu (statute of limitation) Jepang terkenal singkat dan kabar angin santer beredar bahwa mafia Jepang Yakuza telah berhasil menembus dunia seni. Namun, kenyataannya tidaklah sedahsyat itu.

Pada 1978, Fujikuma ditahan di Prancis karena kedapatan menyelundupkan 7,8 kilogram heroin. Pada saat menjalani hukuman lima tahun penjara dia berkenalan dengan Philippe Jamin dan Youssef Khimoun, dua anggota sindikat pencuri seni. Merekalah yang lantas menjalankan aksi pencurian itu atas nama Fujikuma. Pada akhirnya, lukisan-lukisan ditemukan kembali pada 1991 di Korsika. Barangnya terlalu panas, bahkan untuk Jepang.

4. Meksiko: Desember 1985

Artefak pra-Columbus.
Terlena.
Malam Natal. Satpam Museum Nasional Antropologi di Kota Meksiko delapan-delapannya tengah lena. Selain itu, sistem alarm sudah tiga tahun mati.

Satpam sif pagi, yang masuk pukul 08.00 pada keesokan harinya, yang pada akhirnya menyadari bahwa lempeng kaca telah diangkat dari atas tujuh lemari pajangan. Total 140 benda yang diambil, termasuk potongan-potongan batu giok dan emas dari seni pahat Maya, Aztec, Zapotec, dan Miztec. Kurator museum Felipe Solis memprakirakan bahwa, seandai ada pembeli, satu potongan itu saja––sebuah jambang menyerupai monyet––bisa laku di atas $ 20 juta.

Karena sebagian besar potongan tersebut berukuran kecil, semuanya muat di dalam dua buah koper. Terlepas dari ukuran, kasus itu tetap terhitung sebagai pencurian benda berharga terbesar yang pernah terjadi.

Pelajaran yang dipetik: (i) tingkat keamanan museum nasional, terutama di negara berkembang, sering tidak sebanding dengan isi museum dan (ii) pada saat Natal dan Tahun Baru ternyata tidak semua orang sedang berleha-leha di Meksiko.

5. Amerika Serikat: Februari 1988

'Ikan Pari dengan Keranjang Bawang Bombai' karya Chardin.
Koleksi awur.
Pembobolan Colnaghi’s (sebuah diler seni di London) cabang Manhattan yang berlokasi pada East 8th Street, terbilang cukup canggih. Pencurinya masuk lewat tingkap cahaya dan dengan bantuan tambang menurunkan diri sampai ke bawah. Akan tetapi, begitu di dalam, koleksi karya seni pilihan mereka berkesan agak mengawur walaupun dari ke-28 karya yang mereka bawa pergi dua adalah lukisan karya Fra Angelico––yang diasuransikan sebesar $ 4 juta–– dan satunya lagi adalah Ikan Pari dengan Keranjang Bawang Bombai karya Chardin. Hingga kini baru empat belas yang berhasil ditemukan kembali.

Barang gedoran itu (waktu itu) ditaksir bernilai antara $ 6 juta dan $ 10 juta, yang menjadikan aksi tersebut perampokan seni terbesar kota New York: bukti bahwa keuntungan dari merampok galeri swasta bisa menyamai perampokan museum.

Bagian kedua tulisan di atas dapat dibaca di sini.


Novel 'Palsu' karya Elvin Post.
Palsu
Tulisan di atas diturunkan dalam rangka akan terbitnya Palsu, edisi bahasa Indonesia thriller novelis Belanda Elvin Post. Ikuti perkembangannya pada akun Twitter Pionir Books (@PionirBooks) lewat tagar #PalsuNovelElvinPost.