30 November 2016

Ada di Mana Rayahan Museum Gardner? (Bagian I)

Museum Isabella Stewart Gardner
Museum Isabella Stewart Gardner.
Dua puluh enam tahun sejak karya-karya seni itu dicuri, kepala keamanan museum mempunyai dugaan siapa pelakunya. Namun, soal di mana gerangan rayahannya itu berada, dia hanya bisa mengangkat bahu.

Kadang kala, agar Anthony Amore tidak menjadi hilang akal setelah sebelas tahun lamanya memburu lukisan-lukisan rayahan milik Museum Isabella Stewart Gardner, dia, bersama tim petugas FBI yang ditugaskan pada kasus itu, menelaah bagaimana adikarya-adikarya yang pernah dicuri dari musem lainnya, berhasil pulang kembali.

Apabila ketiga belas karya seni Museum Gardner yang dirampok pada 1990 itu kembali pulang, apakah itu bakal berkat bantuan seorang penjahat pemain lama, yang akhirnya bersedia bekerja sama? Atau berkat seorang anggota keluarga yang sedang membongkar-bongkar warisan yang tersimpan di loteng? Atau berkat petunjuk dari masyarakat, dari seseorang yang melihat atau mendengar sisik melik pemungkas?

'Sering kami itu bilang, "Kapan ya, skenario seperti itu terjadi pada kita?"' ujar Amore, direktur keamanan Museum Gardner sejak 2005. Akan tetapi, setelah melakukan pencarian selama satu dasawarsa, setelah mengumpulkan 30.000 potong informasi terkait tindak pidana itu, dia meyakini bahwa kepulangan karya-karya yang hilang dicuri itu ibaratnya sudah di depan mata.

'Berkat secuil informasi saja, besok juga kasusnya bisa terpecahkan,' ujar Amore.

Pencurian seni terbesar dalam sejarah dunia terjadi di kota Boston, Amerika Serikat, 26 tahun yang lalu, yaitu pada 18 Maret 1990, ketika dua pencuri yang menyamar sebagai petugas polisi berhasil mengelabui petugas keamanan yang bertugas dan melarikan adikarya pelukis-pelukis ternama seperti Rembrandt, Vermeer, dan Manet.

Walaupun hampir tiga dasawarsa telah berlalu, kasus itu belum dipetieskan. Amore dan pihak FBI menandai peringatan ke-23 dan ke-25 perampokan dengan berbagi teori-teori utama mereka soal kasus tersebut, yaitu bahwa para pelakunya adalah pencuri kelas teri asal Dorchester, Boston, dengan campur tangan anggota Mafia dari Connecticut dan Philadelphia. Tahun ini, pada 2016, pada peringatan ke-26 kasus pencurian itu, Amore berspekulasi tentang bagaimana kasus itu bakal berakhir.

Namun, Amore menekankan agar ucapan dia jangan dianggap sebagai petunjuk mengenai tersangka-tersangka tertentu. 'Tolong jangan menganggap kata-kata saya sebagai tanggapan atas para pelaku aksi Gardner secara perinci,' ujarnya. 'Misalnya, nama yang satu ini selalu muncul dalam media cetak: Robert Gentile.' Seorang penuntut federal mendakwakan bahwa Gentile, seorang laki-laki berusia 79 tahun yang konon merupakan gangster Connecticut, kemungkinan menadah beberapa di antara lukisan yang hilang itu. 'Tetapi jangan beranggapan saya berusaha mengaitkan-ngaitkan Robert Gentile ke profil-profil itu.'

Dalam menyusuri jejak karya-karya yang dicuri, Amore, 49 tahun, sering menggunakan pendekatan yang lazim dipakai oleh ahli sejarah seni ketimbang oleh penyidik federal: dia telah mengumpulkan 1.300 potong informasi seputar kasus-kasus perampokan seni dari seluruh penjuru dunia. Meskipun Museum Gardner mempekerjakan Amore lima belas tahun setelah pencurian terjadi, dia betul-betul menghayati pekerjaannya: di dalam dompetnya terdapat salinan salah satu karya yang hilang itu, yaitu etsa karya Rembrandt berjudul Potret Sang Artis Sebagai Pria Muda sebagai pengingat akan aksi kejahatan yang sedang dia selidiki itu. Amore mengatakan bahwa kasus-kasus perampokan seni yang pernah terjadi sebelumnya bisa memberikan petunjuk mengenai para perampok Museum Gardner maupun cara kasus itu mungkin bisa dipecahkan.

Pada 1990, satu jam setelah Hari St. Patrick berakhir, sekelompok pelajar berjalan melewati Museum Gardner dan mendapati pemandangan yang ganjil: dua laki-laki berseragam polisi yang tengah duduk di dalam sebuah mobil preman model hatchback. Salah seorang dari para pelajar itu memperhatikan bahwa mobil tersebut tidak ber-nopol tetapi karena tidak ingin tertangkap tangan mengonsumsi alkohol di bawah umur, dia dan teman-temannya memutuskan untuk berlalu saja dari situ.

Pada pukul 1:24, mobil itu memasuki jalan pintu masuk pegawai. Salah seorang dari laki-laki berseragam polisi itu menekan tombol bel, mengaku kepada satpam yang bernama Richard Abath bahwa mereka datang karena ada laporan kericuhan, dan meyakinkan Abath untuk mempersilakan mereka masuk.

Berjam-jam kemudian, Abath dan seorang petugas satpam lainnya ditemukan di bawah ruang bawah tanah dalam keadaan diborgol dan direkat selotip. Tiga belas karya seni hilang, termasuk lima karya Edgar Degas dan tiga karya Rembrandt van Rijn, termasuk lukisan Kristus dalam Badai di Atas Danau Galilea dia, satu-satunya pemandangan laut yang diketahui pernah dilukis olehnya.

'Masyarakat tahunya perampokan berlangsung dengan begitu canggihnya,' ujar Amore. 'Itu anggapan yang keliru.' Seandai saja Abath mengikuti protokol dan menghubungi kepolisian Boston, tidak bakal petugas gadungan itu bisa menembus sampai ke dalam Museum Gardner. 'Pada dasarnya, itu rencana awur yang ternyata manjur.'

Rayahan pencuri mencakup adikarya pelukis Johannes Vermeer berjudul Konser, yang menurut Amore adalah benda paling berharga di dunia--$200 juta---yang pernah dicuri. Akan tetapi, koleksi lain yang mereka bawa pergi menjadikan Amore yakin bahwa, seperti sebagian besar pencuri seni lainnya dalam sejarah, mereka adalah penjahat biasa dan bukan pakar dalam kejahatan seni. Para pencuri tidak menyentuh Eropa karya Titian, lukisan paling berharga Museum Gardner, tetapi malah membawa pergi sebuah tampuk bendera berbentuk elang dari zaman Napoleon yang terbuat dari bahan perunggu.



Sumber: BostonMagazine.com


Palsu. Akan terbit.
Palsu. Akan terbit.
Tulisan di atas diturunkan dalam rangka akan terbitnya Palsu, edisi bahasa Indonesia thriller novelis Belanda Elvin Post. Ikuti perkembangannya pada akun Twitter Pionir Books (@PionirBooks) lewat tagar #PalsuNovelElvinPost.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar