30 Desember 2017

Mengupas 'Anna Karenina' Karya Tolstoy

Terbit pada akhir abad ke-19, Anna Karenina adalah mahakarya penulis Rusia Leo Tolstoy. Dalam mengupas novel ini saya akan menggunakan apa yang saya sebut 'model buah apel'. Dengan menggunakan model ini cerita akan saya bagi menjadi tiga taraf: kulit, daging, dan inti.

Novel yang saya punya adalah edisi bahasa Inggris terbitan Wordsworth Classics dengan kata pengantar E.B. Greenwood (Universitas Kent, Canterbury). Novel diterjemahkan oleh Louise dan Aylmer Maude (1918).

Saya membelinya karena membutuhkan tantangan: dari apa yang saya tangkap di sana sini, Leo Tolstoy adalah penulis besar yang karyanya begitu padat dan (oleh karena itu, tentunya) sulit untuk dipahami. Setelah sekian lama menjadi murid John Grisham, Michael Crichton, dan George Pelecanos saya siap untuk naik kelas: Leo Tolstoy (dan penulis kelas berat lainnya seperti dia).

Betapa herannya saya ketika pada saat membaca halaman-halaman pertama buku saya justru tertawa geli: Steve Oblonsky kedapatan berbuat serong dengan pengasuh anak, dan sekarang dia harus tidur di atas sofa. Adegan itu, bahasa yang dipakai, begitu ringan, begitu mudah, dan sungguh jenaka. Apakah yang dikatakan oleh orang-orang mengenai Leo Tolstoy hanya lelucon, apakah saya telah menjadi korban practical joke dunia kesusastraan?

Namun, setelah bab pertama itu, dan ketika saya terus membaca, saya pada akhirnya mendapati diri saya menyudahi setiap bab dengan tercengang. Memangnya ada orang bisa menulis sehebat ini?

Ada kalanya ada bab yang terasa mubazir dalam buku setebal 800 halaman lebih itu, tetapi ketika saya untuk pertama kalinya menemui bab seperti itu saya sudah telanjur berpasrah diri pada kepiawaian Tolstoy: yakin, ini pasti ada maknanya, yakin, ini pasti ada gunanya, entah untuk mengembangkan tokoh, entah untuk mengerucutkan motif, pokoknya, yakin saja. Dan setiap kali keyakinan itu berbalas. Tolstoy mengembangkan tokoh-tokoh utamanya hingga menjadi sosok yang tulen, dengan perangai yang terasa wajar dan mantap. Saking tulennya, malah, (begitu sudah masuk jauh ke dalam dunia novel itu) saya jadi merasa seperti sedang menguping dan mengintai orang alih-alih membaca sebuah novel.

Untuk mencapai realisme seperti itu Tolstoy mestilah seorang pengamat yang sangat jeli. Orang-orang terdekatnya dia jadikan model, tabiat mereka dia rekat-salin dari kehidupan nyata ke atas kertas. Kebiasaan menulis jurnal pribadi selama bertahun-tahun mestinya telah melatih dia menyelami isi hati dia sendiri; dia telah memahami diri dia sendiri hingga pada taraf batin, dan itu lantas menjadikannya peka dan tanggap terhadap orang lain, juga hingga pada taraf batin.

Termasuk terhadap perempuan. Tolstoy, seorang laki-laki, mestilah memodelkan Anna Karenina, tokoh utama buku, pada seorang perempuan yang waktu itu pernah atau sedang dia idamkan, dan yang gerak geriknya lantas dia cermati untuk kemudian dia abadikan di atas kertas dalam rangka memajukan alur cerita.

Misal, cara Anna, dengan gugup dan salah tingkah, di hadapan suaminya berusaha mencari dan melepaskan sebuah jepitan rambut--suaminya yang hingga malam buta menunggukan dia pulang dari acara dansa tanpa menyadari bahwa di sana Anna dan seorang bujang muda, Vronsky, telah saling jatuh cinta. Atau cara Tolstoy melukiskan Anna, Vronsky, dan rombongan berkuda mereka berderap mendekat dan bagaimana pandangan mata sekumpulan buruh tani mengikuti mereka dengan takzim. Atau cara Anna menyikapi dan dengan mudahnya mengendalikan seorang laki-laki muda yang perlente dan kurang adat yang tengah bertamu di kediamannya.

Saya tidak ingin berhenti membaca tentang Anna, tetapi dalam buku dia harus berbagi alur cerita dengan dua tokoh utama lainnya, yaitu Steve Oblonsky (kakak kandung Anna) dan Levin (sahabat dekat Steve). Ketiganya memiliki lingkaran keluarga masing-masing dan novel ini diisi oleh interaksi dalam dan antara ketiga keluarga itu (Tolstoy sendiri mengaku bahwa Anna Karenina bertemakan keluarga), dan itulah bagian 'kulit' pada buah apel saya: kehidupan berkeluarga.

Dengan memanfaatkan interaksi yang terjadi dalam dan antara ketiga keluarga itu, Tolstoy membangun dua alur cerita utama yang menjalin secara terpisah satu dengan yang lain, yaitu alur cerita Anna dan alur cerita Levin, yang lantas dihubungkan oleh satu alur cerita pendamping: alur cerita Steve Oblonsky. Baik Anna maupun Levin mendambakan kasih dan alur cerita mengisahkan pencarian mereka akan hal itu. Anna telah menikah dan dikaruniakan seorang anak, tetapi Anna tidak mencintai suaminya, yang berusia lebih tua dan yang oleh Anna digambarkan berperangai lebih mirip mesin, dan Anna menemukan apa yang dia dambakan pada diri Vronsky. Levin (yang dimodelkan atas diri Tolstoy sendiri) masih membujang dan dia berusaha memperistri seorang gadis muda bernama Kitty.

Apabila sekadar mengisahkan pencarian kedua insan itu akan kasih, buku ini kemungkinan tidak akan menyandang status sebagai novel terbaik, atau salah satu novel terbaik, sepanjang masa. Namun, pencarian akan kasih itu ibarat menjadi 'daging' novel, yaitu bagian yang lazim dipahami sebagai hal utama pada cerita.

'Inti' cerita niscaya mengisahkan pencerahan spiritual Levin yang dia alami kala sedang menderita depresi berat (dia sampai harus menyembunyikan tambang dan senapan di rumah), yang Tolstoy persandingkan dengan nasib Anna yang mengalami depresi yang sama beratnya tetapi yang pada akhirnya melakukan bunuh diri. Sumber depresi Anna adalah suaminya yang tidak ingin melepaskan anak mereka dan yang tidak kunjung menceraikannya dengan resmi, yang lantas menjadikan status Anna terkatung-katung dan sekaligus menjadikannya bahan pergunjingan dalam lingkaran sosialita (hampir semua tokoh dalam Anna Karenina berdarah biru), yang menciptakan tekanan sosial dan perasaan diluarkan.

Sebaliknya, sumber depresi Levin adalah kematian kakak kandungnya dan, mestinya, juga kematian Anna. (Tolstoy sendiri semasa kecil mengalami kematian sejumlah kerabat dekat.) Peristiwa-peristiwa itu menjadikan Levin mempertanyakan makna hidup yang lantas (namun, tanpa dia menyadarinya sendiri) menyingkap selubung alam kesunyataan.

Anna dalam depresinya mengarahkan sorotan ke luar; Levin ke dalam. Anna memersekusi orang lain; Levin diri sendiri. Anna menyerahkan kendali; Levin mempertahankannya.

Anna Karenina konon memiliki akhir yang tragis. Anggapan itu keliru. Walaupun nasib tokoh Anna Karenina betul mengalami akhir yang tragis, bukunya sendiri, lewat Levin, justru berakhir dengan sangat gemilang.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 30 Des 2017

31 Maret 2017

Film 'Silence' dalam Model E-I

Inoue, samurai tua. Foto: awardsdaily.com.
Inoue, samurai tua. Foto: awardsdaily.com.

***Spoiler Alert***

Dalam Silence (2016) yang disutradarai oleh Martin Scorsese, yang mengambil tempat di Jepang abad ke-17, Inoue (Issei Ogata), magistrat Nagasaki, melancarkan penindasan agama Katolik. Film ini ternyata tidak mengisahkan transformasi diri dari Yesus yang eksoterik ke Buddha yang esoterik (sebagaimana saya duga pada saat menonton film ini: lihat Memahami 'Silence'), tetapi... itu tidak berlaku dari sudut pandang Inoue. Dari sudut pandang Inoue, kehadiran para misionaris Katolik di negaranya justru berkenaan dengan transformasi diri terbalik dari Buddha yang esoterik ke Yesus yang eksoterik. Inoue tidak menghendaki itu terjadi pada masyarakat Jepang. Hanya itu yang bisa menjelaskan hal-hal yang dilakukan oleh dia sepanjang film.

Pada babak ketiga film, Bapa Rodrigues (Andrew Garfield), yang ditangkap dan ditahan atas perintah Inoue, diharuskan menghadap Inoue dan sejumlah pejabat teras lainnya. Rodrigues lantas diberi tahu bahwa mereka, para pemimpin dan tokoh agama di Nagasaki, sesungguhnya sudah mendalami agama yang tengah disebarkan oleh para misionaris Barat itu, dan berkesimpulan bahwa ajaran tersebut tidak sesuai untuk Jepang.

Adegan itu menarik sebab Inoue, sebagai perwakilan kalangan elite Jepang, yang ditampilkan sebagai sosok bengis yang bertanggung jawab atas sederet aksi keji terhadap rakyat kecil maupun misionaris Barat, ternyata melandasi itu semua pada suatu rasionalisasi yang mengedepankan kebaikan umum: dia tidak ingin masyarakat berpaling dari tarekat spiritualitas guna merangkul akidah religiositas. Di mata Inoue, ajaran agama Katolik ialah suatu kemunduran lantaran mengajarkan penganutnya untuk menafikan dunia batin dan mengandalkan dunia fana, untuk mencari Tuhan lewat iman alih-alih lewat tafakur.

Dalam Model E-I, inklusivisme diraih apabila unsur atasan meladeni unsur bawahan, sehingga apabila unsur Ekonomi meladeni unsur Sosial, antara keduanya dikatakan terjalin inklusivisme. Hal yang sama dapat diinduksi untuk hubungan antarunsur lainnya, seperti antara unsur Politik dan unsur Sosial.

Pertanyaannya adalah, apakah dalam film ini Inoue, sebagai perwakilan unsur Politik, menjadi peladen rakyat kecil Nagasaki, perwakilan unsur Sosial? Jawabannya: tidak. Walaupun bertujuan membina hal ihwal dunia internal/ nonfisik penduduk Nagasaki, tindakannya tidak membina emansipasi berpikir penduduk Nagasaki. Meskipun berniat baik, tindakannya yang otoriter mengklaim pekerjaan berpikir dari penduduk Nagasaki, dan lewat kebengisannya dia memberikan kesan bahwa berpikir malah sesuatu yang berbahaya. Padahal, tujuan akhir Model E-I adalah menunjukkan jalan keluar dari Gua Plato dan syarat untuk dapat meninggalkan Gua Plato adalah dimilikinya keterampilan berpikir bebas.

Kesimpulan: dalam Silence, unsur Politik bersifat eksklusif--unsur Sosial meladeni unsur Politik (bawahan meladeni atasan). Seandai bersifat inklusif, Inoue bakal memercayakan warganya untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Akan tetapi, hal itu kemungkinan juga berarti bahwa unsur Filsafat telah berhasil membina suatu masyarakat dengan keterampilan berpikir bebas, yang telah merasa mantap dan mapan dengan ajaran yang dianut, dan yang mampu menyikapi perubahan dan pengaruh luar dengan tingkat kedewasaan tertentu. Seandai bersifat inklusif, alih-alih seorang tokoh fisik, Inoue, samurai tua itu, bakal digambarkan sebagai suatu daya metafisik pada diri kita.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 31 Maret 2017

25 Maret 2017

Memahami 'Silence'

***Spoiler Alert***

Iman Bapa Ferreira (Liam Neeson) diuji dalam 'Silence'.
Iman Bapa Ferreira (Liam Neeson) diuji dalam 'Silence'.
Disutradarai oleh Martin Scorsese, Silence (2016) berkisah tentang Bapa Ferreira (Liam Neeson), seorang misionaris Yesuit asal Portugis di Jepang abad ke-17, yang dikabarkan telah membuang iman, dan bagaimana Bapa Rodrigues (Andrew Garfield) memutuskan untuk menyusul Ferreira dalam rangka mencari kebenaran kabar tersebut dan, bilamana perlu, membalikkan apostasi mantan mentornya itu. Penonton menjadi saksi bagaimana Rodrigues justru mengalami hal yang sama seperti yang dialami oleh Ferreira, yaitu pembuangan iman.

Pasal, di Jepang, seperti halnya Ferreira, yang ternyata betul telah mengingkari agamanya, Rodrigues mengalami cobaan berat karena penindasan agama yang tengah dilancarkan oleh Inoue (Issei Ogata), magistrat Nagasaki. (Hubungan antara Rodrigues dan Inoue mirip hubungan antara Yesus dan Pontius Pilatus.) Dalam rangka membasmi ajaran agama Katolik, Inoue menangkapi dan menyiksa rakyat jelata yang diduga telah masuk Katolik, bukan untuk menjadikan mereka membuang iman, tetapi, lewat penganiayaan mereka, justru untuk menjadikan misionaris membuang iman. Dalam mata Inoue, itu cara paling mangkus membersihkan Jepang dari agama itu.

'Harga kemasyhuran kamu adalah penderitaan mereka!' ujar Inoue kepada Rodrigues, yang harus menyaksikan penderitaan orang kecil di tangan Inoue. Rodrigues bisa mengakhiri penderitaan mereka dengan menginjakkan kakinya di atas gambar Yesus dan dengan begitu membuang iman dia, seperti yang sebelumnya juga telah dilakukan oleh Ferreira, yang melakukannya karena percaya Yesus akan melakukan hal yang sama apabila hal itu dapat menyelamatkan orang-orang yang sedang disiksa itu.

Sampai di situ saya menduga bahwa Silence mestinya berkisah tentang penyudahan ilusi yang fana dan peraihan kebenaran yang kekal, suatu ikonoklasme keagamaan dalam bentuk perjalanan pada ranah batin yang menampilkan roman Rodrigues sebagai tengaran; suatu transformasi dari Yesus yang eksoterik ke Buddha yang esoterik. Pada pertengahan film, seorang pengalih bahasa (Tadanobu Asano) berujar kepada Rodrigues:
'Hanya orang Kristen yang menganggap mereka, para Buddha itu, manusia belaka. Buddha kami niscaya sesuatu yang bisa diwujudkan oleh manusia. Sesuatu yang lebih agung dari dirinya, asal dia bisa menyudahi semua ilusi dia. Tetapi kamu justru merangkul ilusi-ilusimu dan menyebutnya iman. Pencipta kamu maha pengasih lagi maha penyayang, bukan begitu? Jadi, mengapa dia memberikan orang yang sedang menuju surga begitu banyak penderitaan?'
Apakah lewat film ini Scorsese hendak mengatakan bahwa spiritualitas menudungi religiositas, sehingga keberanjakan dari religiositas ke spiritualitas--dari Katolik ke Buddha, dari akidah ke tarekat--ialah suatu evolusi yang alamiah saja? Apakah Scorsese hendak mengupas perbedaan antara agama Buddha dengan agama Katolik, antara spiritualitas dengan religiositas--spiritualitas yang menekankan tafakur, religiositas yang menekankan iman?

Akan tetapi, seandai Silence betul merupakan bahasan mengenai transformasi diri dari pola pikir religiositas ke pola pikir spiritualitas, Scorsese, pada pengujung film, mestinya tidak menyertakan suatu adegan yang menyiratkan bahwa Ferreira, dan juga Rodrigues, ternyata masih berpaku pada pola pikir lama mereka: religiositas. Jadi, ucapan si pengalih bahasa tadi hanya bertujuan membangun pernyataan yang pada pengujung film bisa dirontokkan lewat suatu adegan yang dirancang oleh Scorsese untuk menyampaikan pesan: iman mengalahkan segalanya.

Silence adalah pengakuan iman Scorsese terhadap agama Katolik. Hanya itu yang bisa menjelaskan isi film ini.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 25 Maret 2017

12 Maret 2017

Pengertian Inklusivisme, Eksklusivisme dalam Model E-I

Dalam fasisme, unsur bawahan meladeni unsur atasan. Foto: Time.com.
Dalam fasisme, unsur bawahan meladeni unsur atasan. Foto: Time.com.
Dalam inklusivisme, pada suatu permutasi, Filsafat meladeni unsur-unsur bawahan (Politik, Ekonomi, Sosial), tetapi dalam eksklusivisme yang terjadi ialah kebalikannya: unsur-unsur bawahan-lah yang meladeni Filsafat.

Sebagai contoh, dalam fasisme, unsur bawahan (sebagaimana ditulis oleh Robert O. Paxton dalam The Anatomy of Fascism) diharapkan menjadikan takdir nasional sebagai pemenuhan tertinggi, sementara dalam demokrasi, kepada unsur-unsur bawahan dicurahkan kebebasan dalam rangka melindungi hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang seorang. Dengan demikian, yang satu meladeni hal ihwal dunia internal/ nonfisik manusia, yang satu lagi hal ihwal dunia eksternal/ fisik manusia. (Tugas negara bangsa adalah membina yang disebutkan pertama itu.)

Oleh karena itu, dalam konteks Model E-I, bisa diinduksi bahwa inklusivisme adalah keadaan tempat unsur atasan menjadi peladen unsur bawahan, sementara eksklusivisme adalah keadaan tempat unsur bawahan menjadi peladen unsur atasan.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 12 Maret 2017


'Kekekalan Laten Fasisme' karya Rob Riemen.
Kekekalan Laten Fasisme
Tulisan di atas ditulis dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen yang diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

10 Maret 2017

The Salton Sea

Val Kilmer dalam 'The Salton Sea'.
Kita melihat tanpa memahami. Foto: joblo.com.
Pukul empat subuh saya terbangun dan karena merasa jenuh dengan berbagai hal saya memutuskan untuk menonton film saja. Saya membongkar-bongkar koleksi VCD dan menemukan satu yang sesuai dengan suasana hati saya pada jam itu: The Salton Sea (2002) dengan bintang utama Val Kilmer.

Selagi menonton salah satu kucing saya menangkring di bendul jendela, mengharapkan makanan, tentunya. Dari luar kepala si kucing berunggang-anggit memandang ke dalam rumah, kepada saya, dan ke pesawat televisi. Mungkin kobaran api yang menyala-nyala pada layar kaca membuatnya berpaling ke situ dan menyita perhatiannya sesaat.

Kucing saya tidak mungkin tahu bahwa yang sedang dia tatapi itu adalah sebuah pesawat televisi yang tersambung ke pemutar VCD, yang dijalankan oleh tenaga listrik. Dia tidak mungkin tahu bahwa apa yang sedang dia amat-amati itu–film itu–ada pengarahnya, penyandang dananya, industrinya.

Pagi itu saya menjadi sadar bahwa kita tidak mungkin sendirian di jagat raya ini. Kita tidak bisa memahami apa yang menjalankan jagat raya, apa yang tersambung padanya, dan sebagainya. Kita memandangi langit seperti halnya kucing saya memandangi pesawat televisi itu, dan kita memahaminya hanya sejauh ego kita membuat kita memahaminya.

Hanya setelah kita bisa menciptakan jagat raya akan kita bisa memahaminya. Hanya setelah kucing saya memiliki kemampuan seperti manusia akan dia pahami adegan yang dia simak tadi.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 10 Maret 2017

28 Februari 2017

Populisme, Fasisme seturut Model E-I

Definisi fasisme dan populisme masih rancu dan acap dipertukarkan.
Definisi fasisme dan populisme masih rancu dan acap dipertukarkan.
Foto: LA Times.
Saya harus memodifikasi Model E-I. Di dalam Gua Plato nilai 'E' adalah ekspresi asli sementara nilai 'I' adalah ekspresi palsu. Tingkat teratas pada segitiga di dalam gua, yaitu unsur Filsafat, sebagai puncak (apex), lantas membagikan nilai 'E' atau nilai 'I' pada permutasi tertentu. Itu berarti bahwa, pada awalnya, unsur Politik, Ekonomi, dan Sosial pada suatu permutasi adalah kosong--mereka tidak memuat nilai apa pun. Mereka menantikan puncak, yaitu unsur Filsafat, untuk membagikan nilai 'I' ataupun 'E' pada mereka. Masalahnya, hal itu keliru karena bertentangan dengan pernyataan semula, yaitu bahwa, di dalam gua, nilai 'E' merupakan ekspresi asli.

Apabila nilai 'E' adalah ekspresi asli, nilai 'E' di dalam Gua Plato haruslah merupakan nilai bawaan (default value). Artinya, pada awal mula, alih-alih tidak memuat nilai apa pun alias kosong, unsur Politik, Ekonomi, Sosial, dan juga Filsafat sebagai unsur puncak pada suatu permutasi haruslah memuat nilai asli 'E'. Jadi, permutasi bawaan di dalam gua pun menjadi [E, E, E, E]. Sehingga, di dalam gua, 'E' sebagai ekspresi asli adalah nilai bawaan sementara 'I' sebagai ekspresi palsu adalah nilai alihan. Nilai alihan dibagikan lewat pendekatan atas-bawah dari puncak segitiga dan sewaktu-waktu dapat berbalik ke nilai bawaan (sebagaimana akan dijelaskan di bawah).

Modifikasi di atas perlu dilakukan untuk menjelaskan hubungan antarunsur pada suatu permutasi. Untuk menjelaskannya saya akan memakai fenomena fasisme dan populisme sebagai contoh.

Fasisme adalah 'mengunci'-nya unsur Politik pada unsur Sosial dalam suatu permutasi kala unsur Sosial dilanda Keadaan Takut. Keadaan Takut mengembalikan nilai alihan 'I' pada unsur Sosial tersebut menjadi nilai bawaan 'E'. Peniadaan Keadaan Takut pada unsur Sosial itu akan mengembalikan nilai seperti sediakala, yang dapat berupa 'I' maupun 'E'.

Populisme adalah menguncinya unsur Politik pada unsur Sosial tanpa adanya faktor Keadaan Takut. Tidak seperti fasisme, populisme memiliki segitiga tersendiri di dalam Gua Plato dan berjalan menurut unsur Filsafat yang termuat pada puncak segitiganya. Dengan demikian, populisme berjalan menurut filsafat yang mengaturnya, tetapi fasisme tidak memiliki filsafat sehingga tidak membentuk segitiga tersendiri di dalam Gua Plato. (Faktor Keadaan Takut ibaratnya memungkinkan suatu unsur untuk membajak permutasi induknya.)

Dari dua pengertian tersebut bisa diinduksi bahwa unsur pada suatu permutasi bebas mengunci pada sembarang unsur di bawahnya. Selain itu, unsur yang lebih tinggi dapat mengenakan Keadaan Takut ataupun Cinta Kasih pada unsur yang lebih rendah. Keadaan Takut tersebut bersifat sementara sehingga nilai-nilai pada permutasi yang terdampak sewaktu-waktu dapat berbalik ke nilai semula. Dengan demikian, ada tujuh cara unsur Filsafat bisa mengunci pada unsur di bawahnya (Politik-Ekonomi-Sosial, P-E, P-S, E-S, P, E, S); tiga cara untuk unsur Politik (E-S, E, S); dan hanya satu untuk unsur Ekonomi (S), yaitu dengan atau tanpa mengenakan Keadaan Takut atau Cinta Kasih.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 28 Februari 2017


Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen.
Kekekalan Laten Fasisme
Tulisan di atas ditulis dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen yang diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

20 Februari 2017

Surat Terbuka PM Belanda Mark Rutte

Mark Rutte
Mark Rutte. Foto: weekbladparty.nl.
Kepada semua orang Belanda,

Ada sesuatu yang tidak beres dengan negara kita. Mengapa sebagai negara kita begitu makmur, tetapi ada yang kelakuannya seperti orang susah? Orang-orang yang semakin lama semakin menentukan suasana di negara kita ini. Orang-orang yang siap menghempaskan apa saja yang selaku negara Belanda telah kita bangun lewat kerja keras. Apa mau kita biarkan?
 

Sebagian besar dari kita berniat baik. Para mayoritas-diam. Niat kami tulus terhadap negara kita. Kami bekerja keras, kami bergotong royong, dan kami merasa bahwa Belanda negara yang cukup kerenlah. Namun, kami juga khawatir akan cara kita bermasyarakat. Kenapa ya, kadang-kadang semua orang kok seperti berubah menjadi orang sok?

Anda pasti paham. Orang-orang yang tingkah lakunya seperti semakin asosial saja. Ya dalam berlalu lintas, di angkutan umum, di jalan. Yang merasa dirinya selalu harus didahulukan. Yang membuang sampah di jalan. Yang meludahi kondektur. Atau yang ramai-ramai menongkrong kemudian menjaili, mengancam, atau bahkan mengasari orang yang lewat. Soklah, pokoknya.

Kita merasa semakin gerah bila ada orang-orang yang menyalahgunakan kebebasan kita untuk membuat onar di sini, padahal alasan mereka telah datang kemari ya karena kebebasan itu juga. Orang-orang yang tidak mau menyesuaikan diri, mencela kebiasaan-kebiasaan kita, dan menolak nilai-nilai kita. Yang merecoki orang homo, menyoraki perempuan dengan rok pendek, atau mengatai orang Belanda kebanyakan rasis. Saya sangat bisa mafhum mengapa orang-orang jadi berpikir: kalau sampai sebegitunya kamu menampik negara kami, kenapa enggak angkat kaki sekalian? Pasal, perasaan saya sama. Kalau mau jadi orang sok, sok angkat kaki.

Tingkah laku seperti itu pantang kita anggap biasa di negara kita. Namun, solusinya bukanlah menyamaratakan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, mencela mereka, atau serta-merta mengusir mereka secara massal dari negara kita. Kalau seperti itu caranya bagaimana kita mau membina kehidupan bermasyarakat? Solusi terutama berkenaan dengan mentalitas. Kita mesti mensosialisasikan secara ajek dan bernas apa saja yang dianggap biasa dan apa saja yang dianggap sok di negara ini. Kita harus dengan giat membela nilai-nilai kita.

Pasal, di Belanda berjabat tangan dan memperlakukan semua orang dengan sama itu biasa. Tidak mengusik petugas sosial, itu biasa. Menghormati guru dan tidak menghasut orang lewat vlog. Bekerja mencari nafkah dan menggali potensi diri: biasa. Saling membantu dalam keadaan susah dan melipur orang yang tengah dirundung masalah. Berikhtiar dan tidak lari dari permasalahan, biasa. Saling mendengarkan dengan santun. Alih-alih berperang mulut pada saat kita tidak sependapat tentang sesuatu. Biasa.

Dalam waktu dekat arah negara kita bakal ditentukan. Pertanyaan yang perlu dijawab cuma satu: negara seperti apa yang kita inginkan?

Mari kita berjuang agar kita tetap kerasan di negara kita yang permai ini. Mari kita terus mensosialisasikan apa yang dianggap biasa dan apa yang dianggap sok. Saya yakin kita bisa. Saya yakin bahwa segala sesuatu yang telah kita bangun bersama ini bisa kita kawal bersama. Anda, saya, kita semua. Mari bekerja sama menjadikan negara ini lebih baik. Soalnya, asli: negara kita keren banget. Disuruh pindah pun saya tidak mau. Kalau Anda?

Mark Rutte



Naskah di atas adalah terjemahan surat terbuka Perdana Menteri Belanda Mark Rutte yang dirilis pada 22 Januari 2017 dalam rangka pemilu Belanda yang akan berlangsung pada 15 Maret 2017. (Unduh naskah sumber.)

Bila menyimak isi surat, hal yang menarik ialah bahwa solusi yang ditawarkan oleh Rutte tidak berkenaan dengan perubahan sistem atau pengetatan peraturan, tetapi dengan mentalitas: solusinya berkenaan dengan ranah batin, ranah nonfisik. Hal itu bertolak belakang berbeda dengan pendekatan Geert Wilders, politikus anti-Islam yang menjadi penantang terkuat Rutte dalam bursa calon PM Belanda. Solusi Wilders berkenaan dengan hal ihwal yang berada pada ranah fisik.

Solusi dalam konteks ini berkaitan dengan keresahan dalam masyarakat Belanda yang diakibatkan oleh kelompok masyarakat pendatang asal Maroko, krisis migran Eropa, dan ancaman terorisme. Ada suatu ketidaknyamanan yang sedang dirasakan oleh masyarakat Belanda yang bersinggungan langsung dengan hal kesintasan. Wilders hendak mengatasinya dengan menutup perbatasan dan mendeportasi mereka yang melanggar hukum, Rutte dengan komunikasi sosial.

Keduanya melakukan apa yang menurut hemat saya menjadi tugas utama suatu negara, yaitu mengelola hasrat egoistis bangsa. Hasrat egoistis: kesintasan, kekayaan, kekuasaan, dan keilmuan.

Tata negara telah berkembang sedemikian rupa sehingga berpola pada hasrat-hasrat tersebut, tetapi hal itu--akibat ketidaktahuan--tidaklah diakui secara gamblang sehingga terkesan menjadi kebetulan belaka. Karena hasrat egoistis manusia tidak diakui, yaitu karena ketidaktahuan, negara menjadi sekadar pengelola sumber daya, alih-alih pengelola hasrat bangsa.

Pendekatan Rutte sudah tepat, relatif terhadap pendekatan Wilders. Namun, pendekatan Rutte akan lebih afdal apabila ditambahkan dengan upaya untuk memahami mereka-mereka yang dianggap meresahkan itu. (Pemahaman diraih dari pengetahuan dan adalah jalan menuju kecendekiaan.)

Dengan berusaha memahami, kita justru mengadakan perubahan pada diri kita sendiri, alih-alih mengimbau orang lain untuk berubah. Menurut saya, seseorang hanya akan berubah apabila ada panggilan dalam diri dia sendiri untuk berubah; sebelum itu terjadi segala imbauan hanya akan jatuh di pasir.

Bergiat melakukan pemahaman juga menjadi kunci untuk menggalakkan inklusivisme (lihat I-E Model)--inklusivisme berakar pada tepa salira--dalam, setidaknya, ranah sosial. Untuk menggalakkan inklusivisme pada seluruh ranah kehidupan (permutasi [I, I, I, I] pada I-E Model) dibutuhkan pemahaman mengenai diri kita sebagai manusia. Menurut saya, adalah tugas negara untuk menggalakkan peraihan pemahaman demikian lewat penyelenggaraan sistem pendidikan. Itulah pendidikan yang sesungguhnya; hal-hal lain mestinya disebut pelatihan saja. Dan seharusnya itu pula yang mesti menjadi tugas besar PM Belanda baru yang akan terpilih nanti: membuka jalan untuk Abad Pencerahan II.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 20 Februari 2017



Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen.
Kekekalan Laten Fasisme
Tulisan di atas ditulis dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen yang diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

13 Februari 2017

Selamat Datang, Marco van Basten

Selamat datang di Indonesia, Marco van Basten.
Selamat datang di Indonesia, Marco van Basten. Foto: © Foto-net
Seperti dilansir oleh Netralnews.com, striker legendaris Belanda Marco van Basten bakal mengunjungi Indonesia pada 17 Februari mendatang dalam rangka mengkaji program kerja PSSI selaku Direktur Bina Teknis FIFA, jabatan yang dia emban sejak September 2016. Menurut rencana, mantan striker AFC Ajax dan AC Milan itu akan berada di Indonesia sampai dengan 20 Februari.

Kala masih aktif merumput, teknik Van Basten, dengan gol saltonya ke dalam gawang FC Den Bosch pada Minggu, 9 November 1986, selaku penggawa Ajax dan gol volinya ke dalam gawang USSR pada Sabtu, 25 Juni 1988, selaku penyerang timnas Belanda, sudah terbukti andal, tetapi yang menjadikan sosok yang pada 1992 dibaiat Pemain Terbaik Dunia FIFA itu diakui sebagai salah satu striker terhebat dunia sepanjang masa ialah kecerdasan sepak bolanya. Van Basten tipe pemikir. Van Basten juga tipe kepala batu. Alhasil, dia senantiasa mengikuti jalan yang ditunjuk oleh hasil akhir proses pemikirannya; apa dan bagaimana tanggapan dan anggapan orang lain, itu urusan nanti.

Sebagaimana ditulis oleh Zeger van Herwaarden dalam biografi Marco van Basten. Era AC Milan dan Oranye, sifat Van Basten tersebut mengejawantah dalam bentuk sikap dinginnya kepada media massa dan, kala memperkuat Milan, kegemarannya berdebat soal taktik dengan pelatih Arrigo Sacchi, sesuatu yang pada waktu itu di Italia dianggap kurang lumrah. Dan ternyata, dalam karier sepak bolanya setelah gantung sepatu, baik selaku pelatih (Jong Ajax, timnas Belanda, Ajax, sc Heerenveen, AZ) maupun sekarang sebagai petinggi FIFA, dia tetaplah sama: nyeleneh, kepala batu, cerdas.

Simak saja usul perubahan-perubahan aturan main sepak bola yang belum lama ini dia lemparkan kepada khalayak ramai:
  • bagi lama permainan 90 menit menjadi empat suku jam;
  • batasi pemain pada 60 pertandingan dalam setahun;
  • gantikan adu penalti dengan duel satu-lawan-satu berdurasi delapan detik yang dimulai 22,86 meter dari gawang;
  • hilangkan waktu tambahan;
  • naikkan jumlah pemain pengganti yang boleh diturunkan dari tiga menjadi enam;
  • perkenalkan kartu jingga yang mengirim pemain ke 'kotak pesakitan' selama 10 menit; dan
  • hapus peraturan offside.

Tak pelak Van Basten menuai kontroversi. Banyak yang terutama meradang soal penghapusan peraturan offside itu.

Sesungguhnya, yang disampaikan oleh mantan penyerang dengan koleksi 277 gol itu adalah: keindahan sepak bola sudah luntur. Evolusi jasmaniah pemain telah berdampak pada cara sepak bola dimainkan di lapangan, yaitu karena menyempitnya ruang gerak pemain. (Marco van Basten, abolishing the offside rule and why we need to talk about it.) Menyempitnya ruang gerak pemain lantas berdampak pada berkurangnya kreatifitas pemain. Berkurangnya kreatifitas pemain kemudian berdampak pada lunturnya keindahan sepak bola.

Teknis. Usul Van Basten murni teknis. Bahwasanya usulnya juga bermain-main dengan roh sepak bola, itu urusan nanti. Dan apa roh sepak bola itu? Tribalisme. Roh sepak bola adalah tribalisme. Sepak bola, pada dasarnya, adalah selebrasi hasrat egoistis manusia akan kesintasan. Ia merupakan tarian perang, adu siasat tempur, yang memperhadapkan dua 'suku' yang saling 'bermusuhan'. Mereka yang diturunkan ke medan pertempuran ialah laskar pilihan yang, di bawah komando langsung penggawa skuad, akan membela panji-panji kebesaran suku; tentu saja dielu-elukan akan mengalahkan lawan; dan, pada akhirnya, diharapkan akan tampil sebagai penguasa satu-satunya.

Lewat suatu proses mental Van Basten hendak menghasilkan suatu keluaran berupa emosi. Dengan merekayasa aturan main dia hendak memampatkan intensitas permainan dengan cara meluaskan ruang gerak pemain: sepak bola kembali menjadi indah.

Itu harapannya.

Persoalannya, proses Van Basten itu melewatkan satu langkah penting. Sekarang ini, alih-alih selebrasi hasrat egoistis manusia akan kesintasan, sepak bola menjadi pelimbang hasrat egoistis manusia akan kekayaan. Guna meraih keluaran emosi itu, Van Basten harus terlebih dahulu mengembalikan sepak bola ke sifat asalnya, ke fitrahnya. Dan untuk itu, setidak-tidaknya, dia mesti menentang putusan Bosman.

Pada kasus Bosman, sebagaimana diputuskan oleh Mahkamah Eropa pada 1995, pemain berhak meninggalkan klub-asal secara gratis (free transfer) begitu kontraknya hangus. Lantaran tidak menerima imbalan transfer, pemain bisa meminta bonus transfer (signing-on fee) dan gaji yang besar dari klub tujuan. Pemain yang kontraknya akan berakhir juga dapat meminta kenaikan gaji kepada klub asal, apalagi apabila klub merasa khawatir bakal kehilangan pemain itu melalui mekanisme free transfer. Jadi, putusan Bosman telah mengalihkan kekuasaan kepada pemain, yang lantas mengalihkan kekuasaan tersebut kepada pihak agen. (How the Bosman rule changed football - 20 years on.)

Saat ini, 25 klub terkaya jorjoran mentransfer pemain dalam jumlah uang yang berada di luar jangkauan klub kecil. Akibatnya, kesenjangan antara yang besar dan yang kecil kian melebar. Dan dampak putusan tersebut bukan itu saja.

Pra-Bosman, klub yang berlaga di Eropa diikat oleh peraturan 'tiga-plus-dua', yang berarti bahwa saat berlaga dalam kompetisi Eropa sebuah klub diperbolehkan menurunkan maksimal tiga pemain asing dalam suatu pertandingan, plus dua pemain asing jebolan akademi pemain klub. Pasca-Bosman, klub bebas menurunkan berapa saja pemain Uni Eropa dan bebas merekrut pemain dari negara mana saja di Uni Eropa.

Marco van Basten: tentangi putusan Bosman (setidak-tidaknya secara prinsipiil) dan gantikan dengan mekanisme yang adil bagi klub dan adil bagi pemain. Berlakukan kembali peraturan 'tiga-plus-dua'. Secara umum, selenggarakan perubahan apa pun juga dengan bertolak dari semangat tribalisme: jadikan sepak bola kembali selebrasi hasrat egoistis kita akan kesintasan. Selenggarakan secara global.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 13 Februari 2017


'Marco van Basten. Era AC Milan dan Oranye' karya Zeger van Herwaarden.
Marco van Basten. Era AC Milan dan Oranye
karya Zeger van Herwaarden.
Buku pertama yang pernah terbit dari kami untuk, oleh, dan dari pecinta sepak bola. Dengan kata pengantar Ian Situmorang, Pemred Tabloid BOLA.

5 Februari 2017

The I-E Model as an Objective Benchmark to Identify the World's Platonic Make-Up*

Laurens Sipahelut
Translator

The I-E Model outlines the author's world view that combines Plato's allegory of the cave, Bill Murray's 1993 movie Groundhog Day, and PoliticalCompass.org's political chart under a single concept. It will set an objective benchmark against which subjective notions can be measured against and that can be used to identify the Platonic make-up of an individual, a community, a nation, or even that of the entire world.

Plato's allegory of the cave, the first component to the model, forms a metaphysical framework. It depicts the transformation of the desire-driven egoistic state of mind, i.e. the prisoner chained to the wall of the cave, into a desire-free altruistic state of mind, i.e. the prisoner that has been freed from the cave.

Its key idea: humankind's egoistic desires are played out in the physical world but, Plato says, that world is an illusion. The real world, he says, takes place between your ears. As a consequence, change cannot be brought about through the manipulation of things in the physical world; it can only be achieved through the mind. The prisoner that has been freed from the cave knows this to be true.

The second component, the movie, breaks down the metaphysical transformation into four desires the chained prisoner must see out before a breakout from the cave's confines is made possible. The desires are, from base to apex: Survival, wealth, power, and knowledge.

Its key idea: Every person has to go through a progression of desires before a desire-free altruistic state of mind can be achieved.

The third and final component, the political chart, links the metaphysical to the physical. It shows how the desires play out in the physical world with the desire for survival—the chart's social dimension—being represented by the Authoritarianism-Libertarianism y-axis and the desire for wealth—the chart's economic dimension—being represented by the Left-Right x-axis. The desire for power—politics—manipulates the axes not unlike a puppeteer operating a marionette using a control bar.

Its key idea: the people at PoliticalCompass.org brilliantly and astutely reduced the political system to a two-dimensional chart to give account for the social and economic dimensions of politics. It coincides with the progression of desires depicted in Groundhog Day though without acknowledging the desire for knowledge.

Plato making mention of the imperative for philosophers to become kings implies that an additional z-axis representing the desire for power needs to be added to the chart. This allows for the desire for knowledge—philosophy—instead of the desire for power—politics—to operate the control bar, i.e. rule by philosopher-kings instead of by politicians. The model can now be assembled.

First the cave's floor plan needs to be modified. Instead of having a single expanse, a triangular (read: pyramidical) structure will be put in to partition the space into four tiers with the widest section—the base—resting against the cave's wall and the narrowest section—the apex—pointing away from it. Each tier, from base to apex, represents a desire, i.e. survival (at the base), wealth, power, and then knowledge (at the apex). The triangle's tapering shape symbolizes the desires' hierarchical nature as the higher desires form an arch over the lower ones.

With the movie incorporated, next to be incorporated, and by doing so finish the model, is the political chart, but now with the extra z-axis added. The original two-dimensional chart allows for the expression of only the first three desires as it leaves the operation of the control bar to politics (the desire for power) by omitting philosophy (the desire for knowledge). In the cave, this would've had produced a three- instead of a four-tiered triangle but by having the latter in place humankind's desire for knowledge can now be accounted for.

In the original chart, both the axes represent scales extending between two extremes; Left-Right for the x-axis and Authoritarianism-Libertarianism for the y-axis. They point to dualism. What Left and Libertarianism have in common is they are both inclusive just as Right and Authoritarianism are exclusive. The dualism hence pertains to inclusiveness and exclusiveness. This same idea will be applied to the z-axis (politics) and to the control bar, the desire for knowledge aka philosophy.

To incorporate the chart into the model the only thing that needs to be done is making the triangle dualistic in nature and to do so, while also taking into account the triangle's hierarchical nature, the only thing that needs to be considered here is the apex because whatever goes down there will trickle down in an information cascade to the tiers below. So the top tier (philosophy) can be either inclusive ('I') or exclusive ('E') even as it assigns either an 'I' or an 'E' value to each of the other three tiers below it. To allow for all the possible permutations to play out, the apex needs to be given four 'I' and four 'E' values which it can then assign to itself and to the other three remaining tiers. Sixteen permutations are made possible this way:

[Philosophy, Politics, Economics, Sociality] OR [Control Bar, Z-Axis, X-Axis, Y-Axis]

1. [I, I, I, I] 5. [I, E, I, I] 9. [E, I, I, I] 13. [E, E, I, I]
2. [I, I, I, E] 6. [I, E, I, E] 10. [E, I, I, E] 14. [E, E, I, E]
3. [I, I, E, I] 7. [I, E, E, I] 11. [E, I, E, I] 15. [E, E, E, I]
4. [I, I, E, E] 8. [I, E, E, E] 12. [E, I, E, E] 16. [E, E, E, E]

The permutations point to the Platonic make-up (read: states of mind) of an individual, a community, a nation, or even that of the whole world. That is to say, they represent those values prevailing at a given point in time as opposed to those professed on paper (e.g. constitutionally). These values are in a constant state of flux as Fear transforms 'I's into 'E's and Love transforms 'E's into 'I's. (Fascism, for example, is 'I' transformed into 'E' at the social level, i.e. on the model's y-axis.)

Every person has a Platonic triangle as does every group, people, or nation. A triangle's size is determined by the extent of influence the philosophy nested in its apex exercises in the physical world. Smaller triangles are superimposed over larger ones. The world's true borders are not delineated by country but are rather determined by the forces of Fear and Love, and they may shift from time to time in a game of triangles.

As a philosophy cascades down a triangle, it manifests in ever more crude forms of expressions. At its most crude it manifests as a physical structure. For example, people used to build cathedrals, today it's shopping malls: The larger the triangle the more ubiquitous its cathedrals of desires become.

It should be noted that the cave's interior is a desire-driven and therefore an egoism-proper and therefore an exclusiveness-proper environment while its exterior is a desire-free and therefore an altruism-proper and therefore an inclusiveness-proper environment. As a result, inside the cave the 'E' value is a true value while the 'I' is a false value. By the same token, outside the cave the 'I' is a true value while the 'E' is a false one.

Thus expression of the 'I' value inside the cave is but a simulated one, an instance of such principles as the golden rule in action. The default expression is that of the 'E' value. But human beings have an intuitive yearning to evolve and to express the true 'I' value, i.e. to step outside of the darkness of the cave and into the bright light of the open expanse. Thus man's obsession with religion and spirituality and his interpretation thereof in an exoteric light, i.e. as an expression of the false 'I' value. Outside the cave the interpretation becomes esoteric in nature, meaning that of the true 'I' value.

According to Plato, the most important purpose in life should be to look past the veil of illusion and to perceive true reality, something that can apply to individuals (i.e. on a micro scale) and to communities or nations or indeed the whole world (i.e. on a macro scale) alike. However, it is an effort that is as important as it is difficult as it requires a person to have quenched all the egoistic desires save the one for knowledge. The desire for knowledge will then fuel that person's search for answers to the Big Questions, which most certainly will constantly involve putting cherished beliefs through the wringer. And even then true reality will not dawn unless the notions of past and future are quieted and only the now is perceived. It is, however, possible to help the process along by advancing inclusive philosophies, politics, economics, and socialities [I, I, I, I]. Such an endeavor should be in fact the most important thing a nation state could do to justify its existence.


* An earlier version was published as an enclosure to an open letter addressed to Dutch politician Geert Wilders with the subject line A Stupid Open Letter to Geert Wilders Pt 2, dated September 26, 2016. The letter can be accessed online here https://pionirbooks.blogspot.sg/2016/09/a-stupid-open-letter-to-geert-wilders.html.

23 Januari 2017

Film: 'The Day the Earth Stood Still'

The Day the Earth Stood Still (2008)
Film metafisik dengan plot fiksi ilmiah.
The Day the Earth Stood Still (2008) bercerita tentang perubahan pola pikir egoistis ke pola pikir altruistis pada diri manusia. Perubahan tersebut sesungguhnya inti semua ajaran agama dan bersifat metafisik. Konon, dalam hidup, ia ialah hal tersulit untuk dicapai lantaran kiblat pola pikir egoistis manusia kepada ranah fisik: dari sudut pandang pola pikir egoistis ranah metafisik ialah sesuatu yang sifatnya mistik, sesuatu yang terselubung oleh tabir yang hitam pekat.

Menurut Plato, tujuan terpenting dalam hidup ialah membelah tabir tersebut sehingga kenyataan yang hakiki menjadi diinsafi. Namun, seperti disebut dalam Model E-I, selain terpenting ia sekaligus hal tersulit untuk dicapai oleh manusia karena ia mensyaratkan bahwa manusia sudah menuntaskan seluruh hasrat egoistisnya (seturut Barisan Hasrat) terkecuali hasrat akan pengetahuan. Hasrat tersebut lantas yang memotori pencarian manusia akan kenyataan yang hakiki.

Hasrat akan pengetahuan adalah hasrat egoistis tertinggi manusia, yang dalam film dilambangkan oleh Profesor Barnhardt (John Cleese), ilmuwan peraih Hadiah Nobel dalam bidang altruisme biologis. Hasrat itu menjadi hasrat tertinggi karena dalam Gua Plato Model E-I letaknya berbatasan langsung dengan tabir gelap itu. Perhatikan bahwa dalam film, Helen Benson (Jennifer Connelly) menyebut Profesor Barnhardt, dan bukan Menhan AS Regina Jackson (Kathy Bates), sebagai pemimpin manusia yang sesungguhnya. Artinya, hasrat akan pengetahuan lebih tinggi daripada hasrat akan kekuasaan.

Akan tetapi, pada saat seseorang tengah menjalani hasrat akan pengetahuan, untuk dapat sampai menginsafi kenyataan hakiki, yaitu dengan dibelahnya tabir itu, dia harus merelakan masa lalu dan masa depan sehingga secara murni meninggali masa kini. Dengan kata lain, dia harus merelakan hidupnya yang fana dan pada saat itu menjadi sadar akan kekekalannya. (Pola pikirnya meninggalkan ranah fisik dan mendiami ranah metafisik dan segala hal pada ranah itu pun menjadi jelas.)

Itulah kenyataan yang hakiki itu. (Tabir telah terbelah.)

Proses metafisik seseorang merelakan kefanaannya itu dicapai dengan, ibaratnya, melintasi ngarai yang gelap pekat, dan kesadaran akan kekekalan dia itu ibarat timbulnya cahaya terang di ujung ngarai, sebagai pertanda akan keselamatan dia. Dalam film, contoh yang dipakai bukan ngarai, tetapi tepi jurang: 'Only at the precipice do we evolve,' ujar Profesor Barnhardt. 'At the precipice we change,' ujar Klaatu (Keanu Reeves). Manusia berubah/ berevolusi (menjadi berpola pikir altruistis) pada saat dia berada di tepi jurang (atau ngarai yang gelap pekat).

Tidak bisa tidak, perjalanan ke tepi jurang itu adalah sesuatu yang harus dijalani oleh setiap insan secara pribadi, tetapi, setidaknya, pengetahuan tentang adanya jurang itu mesti disiarkan semenjak dini kepada umum dan dijadikan inti pendidikan pada sekolah. Dengan demikian negara sebagai penyelenggara sistem pendidikan dapat memusatkan perhatian pada pemajuan Barisan Hasrat bagi seluruh komponen bangsa sehingga, dengan demikian, bangsa akan selalu memaju alih-alih bergerak ke belakang pada Barisan Hasrat dan, dengan demikian, hal-hal regresif seperti fasisme bisa dihindari.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 23 Januari 2017


Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme
Tulisan di atas diturunkan dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen yang diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

15 Januari 2017

9 Cara Iptek Melacak Seni Palsu

Pola retakan pada lukisan 'Mona Lisa'.
Pola retakan pada lukisan 'Mona Lisa'.
Saban tahun transaksi jual beli seni mencapai kurang lebih $ 64 miliar. Masalahnya, 2 sampai 50 persen dari seni yang diperjualbelikan itu diperkirakan palsu. Akan tetapi, Iptek ternyata bisa membantu menetapkan mana karya yang asli, dan mana yang palsu.

1. Menafsirkan Pola Retakan

Pola retakan (craquelure)—jaringan retak halus pada permukaan lukisan berumur tua—pada setiap karya seni sifatnya khas. Selama berabad-abad lamanya, pemalsu meniru efek tersebut dengan memakai pelarut, sketsa pensil, formaldehida, dan lilin lebah beku. (Misalnya, pemalsu Han van Meegeren [1889-1947] pernah menuakan sebuah karya Vermeer palsu dengan cara memanggangnya di dalam oven piza.) Banyak museum yang sekarang memiliki catatan lengkap tentang pola retakan lukisan, dan ilmuwan kini menggunakan Penyantiran Transformasi Reflektans untuk menciptakan 'peta topografis' retakan pada permukaan lukisan.

2. Mengendus Aspalan dengan Debu Nuklir

Antara 1945 dan 1963, yaitu tahun berlakunya traktat Pelarangan Uji Coba Nuklir, terjadi kurang lebih 2000 uji coba bom nuklir. Ledakan-ledakan tersebut membanjiri planet kita dengan isotop radioaktif—terutama sesium-137, karbon-14, dan strontium-90—yang lantas mengontaminasi tanah di seluruh belahan dunia, termasuk tanaman rami dan minyak biji rami yang menjadi bahan cat modern. Hasilnya? Sebagian besar lukisan yang dibuat pasca-1945 memuat isotop tersebut. Dengan bantuan spektrometer massa, ilmuwan kini bisa menguji sebuah lukisan guna menyelisik apakah kandungan atom radioaktifnya berada dalam takaran yang kelewat tinggi. Teknik tersebut, misalnya, pernah membuktikan bahwa sebuah karya Fernand Léger yang konon dilukis pada 1913, ternyata aspalan yang dibuat bertahun-tahun setelah orangnya mati pada 1955.

3. Cincin Pohon Tidak Berbohong

Seniman seperti Rembrandt dan Holbein gemar melukis pada panel kayu. Panel kayu mengandung apa yang disebut cincin pohon. Ketebalan cincin pohon ditentukan oleh cuaca. Pada saat cuaca bagus cincin pohon yang terbentuk berukuran tebal. Kala cuaca buruk cincin pohon menyempit. Lewat metode dendrokronologi ilmuwan bisa menentukan keaslian sebuah karya seni dengan membandingkan pola ketebalan cincin terhadap sebuah sampel pohon, lalu menetapkan usia dan asal kayunya.

4. Menerawang Lukisan dengan Radiasi Inframerah

Pelukis lazimnya membuat gambar rancangan terlebih dahulu pada kanvas sebelum mulai melukis. Pakar bisa menerawang coretan-coretan itu dengan bantuan inframerah reflektografi, suatu teknik yang menembakkan riak-gelombang radiasi ke sebuah karya seni untuk menerawang gambar yang tersembunyi di bawah lapisan cat. Pada 1954, sebuah tim sejarawan seni mendapati adanya salinan kedua lukisan Francesco Francia Perawan Maria dan Bayi dengan Malaikat. Hal itu berbuntut dengan kontroversi yang awet selama puluhan tahun, yang berujung dengan kesimpulan bahwa salinan di National Gallery, London, merupakan karya aspalan abad ke-19 dan bahwa versi yang kini disimpan di Carnegie Museum of Art, Pittsburgh, adalah karya asli. Hal itu terungkap pada 2009 berkat bantuan uji reflektogram inframerah. Si pemalsu mensketsa lukisan di National Gallery dengan grafit, bahan yang semasa Francia belum tersedia.

5. Menembus Permukaan dengan Sinar-X

Sinar-x ternyata sanggup mengangkat tabir masa lalu sebuah lukisan. Selama bertahun-tahun, kurator Fogg Art Museum, Cambridge, Amerika Serikat, meyakini bahwa Potret Seorang Perempuan adalah hasil karya Francisco de Goya. Akan tetapi, pada 1954, sinar-x mengungkapkan adanya potret lain yang tersembunyi di bawah permukaan lukisan itu. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa lukisan yang terbenam itu mengandung cat putih zink—pigmen yang pada masa de Goya belum tersedia.

6. Mengendus Pigmen Ganjil Menggunakan Laser

Pada 1923, pemalsu Han van Meegeren memalsukan lukisan Frans Hals abad ke-17 Si Kavalier yang Tergelak dengan meyakinkan. Kalangan pakar baru pada kemudian hari menyadari bahwa mereka ternyata terkecoh ketika, dengan menggunakan difraksi sinar-x, mereka mendapati bahwa lukisan itu mengandung cat ultramarin sintetis, sebuah pigmen yang baru ditemukan 162 tahun setelah Hals meninggal. Kalangan sejarawan seni zaman sekarang menggunakan spektroskopi Raman untuk menemukan pigmen-pigmen ganjil. (Spektroskop Raman menembakkan laser ke pigmen. Begitu cahaya terhambur dari lukisan, mesin membaca cap-jari kimiawi khas masing-masing pigmen.)

7. Mengindra Aspalan Menggunakan Cahaya UV

Pada 1989, FBI menangkap Robert Trotter karena memalsukan karya pelukis abad ke-19 John Haberle. FBI berhasil menciduk Trotter berkat bantuan cahaya UV. Pasal, siraman cahaya UV menjadikan pernis pada lukisan tua bercahaya. Akan tetapi, lukisan berusia muda berpendar lebih sedikit, dan acap memancarkan pijar secara sangat seragam. Taktik Trotter adalah, dia menyaput karya-karya aspalan dia dengan pernis kopal yang, di bawah cahaya UV, menghasilkan kemilau yang tampak meyakinkan di mata seorang tenaga amatir, tetapi bagi seorang profesional terlihat kelewat seragam untuk lukisan yang sudah berumur 100 tahun.

8. Gali Bakat Terpendam Kamu di Bidang Keresersean

Sebelum ada mesin-mesin canggih yang bisa melacak karya palsu, kurator menggunakan metode Morelli. Giovanni Morelli adalah seorang kritikus seni pada abad ke-19 asal Italia yang memiliki bakat khusus menetapkan autentisitas sebuah lukisan hanya dengan menggunakan mata telanjang. Dia mengetahui bahwa seniman mengikuti pakem tertentu kala melukis bagian yang kecil-kecil seperti kuping, mata atau kuku, dan dia meyakini bahwa apabila seorang kritikus menghayati kebiasaan-kebiasaan seorang seniman dalam melukis bagian tubuh tertentu seperti itu, dia bisa menentukan orang yang memegang kuas. (Morelli kebetulan juga bergelar dokter dan dia meyakini bahwa menentukan sebuah karya seni lewat bagian yang kecil-kecil ibarat mendiagnosis penyakit.) Morelli mengenal paman Arthur Conan Doyle dan bisa jadi kemampuan Morelli untuk melacak petunjuk-petunjuk penting yang tampak remeh lantas mengilhami Doyle untuk menciptakan tokoh Sherlock Holmes yang terkenal itu.

9. Hati-Hati: Salah Eja Bisa Berakibat Fatal

Selama 17 tahun di bengkel halaman belakang rumahnya Shaun Greenhalgh memalsukan apa saja, mulai dari pahatan karya Gauguin sampai patung-patung Mesir berusia 3300 tahun. Hebatnya lagi, dia menuakan karya seni 'purbakala'-nya itu cukup dengan bantuan teh dan lempung. Dia sukses mengadali berjibun pecinta seni dan museum hingga pada 2006 Scotland Yard menciduknya. Kesalahan dia? Kalangan pakar museum-museum di Inggris mendapati bahwa tiga dari naskah kuneiform dia bertaburan salah eja. (Akan tetapi, Museum Victoria and Albert rupanya cukup terkesan dengan karya-karya aspalan Greenhalgh: pada 2010, karya-karya dia diikutsertakan dalam sebuah pameran yang diadakan oleh mereka.)

Bonus: Yang Barangkali Belum Kamu Tahu tentang Michelangelo

Michelangelo ternyata mengawali kariernya sebagai pemalsu seni. Pada 1496, pada usia 20 tahun, dia memalsukan patung Cupid, menguburnya di dalam tanah asam untuk menjadikannya tampak tua, dan lantas menjualnya sebagai 'benda kuno'. Saking canggih aspalannya, ketika si pembeli tahu bahwa karya itu palsu, orangnya tidak menjadi gusar. Malah, Michelangelo boleh tetap menyimpan bayarannya dan kabar yang beredar tentang penipuannya justru melejitkan kariernya.

Sumber: MentalFloss.com


Palsu. Akan terbit.
Palsu. Akan terbit.
Tulisan di atas diturunkan dalam rangka akan terbitnya Palsu, edisi bahasa Indonesia thriller novelis Belanda Elvin Post. Ikuti perkembangannya pada akun Twitter Pionir Books (@PionirBooks) lewat tagar #PalsuNovelElvinPost.

9 Januari 2017

Ikhtiar Bernama Fasisme

Fasisme adalah ikhtiar untuk mencapai maksud tertentu, yang bisa saja berupa peralihan bentuk pemerintahan dari, misalnya, republik menjadi autokrasi. Namun, ia ikhtiar yang bengkok karena cara ia bekerja ialah dengan menyebabkan masyarakat mengalami kemunduran secara rohaniah: masyarakat yang semula secara rohaniah memiliki wawasan progresif, yaitu hendak meraih pengetahuan, berbalik menjadi berwawasan regresif, yaitu dibekap oleh hasrat untuk bertahan hidup lantaran dibayangi ancaman. Ancaman itu bisa riil, bisa juga dipersepsikan. Ancaman itu pula menjadi komoditas fasisme.

Menurut Progresi Hasrat, pengetahuan adalah hasrat egoistis paling tinggi sementara kesintasan adalah hasrat egoistis yang paling rendah. Hasrat-hasrat itu ialah sifat manusia dan oleh karenya tidak baik maupun buruk (tetapi sekadar manusiawi). Yang penting adalah mereka diinsafi dan dipahami. (Catatan: lembaga peradaban modern memasabodohkan hal itu sehingga manusia dikondisikan untuk hidup dalam ketidaktahuan.)

Fasisme lekat dengan kekerasan karena menempati ranah hasrat terendah itu, yaitu hasrat untuk bertahan hidup. Pada ranah itu kekerasan (bahasa tubuh) menjadi sarana pengungkapan yang afdal. Fasisme secara kebetulan juga diketahui tidak sungkan melakukan pembakaran buku (repositori pengetahuan).

Setelah maksud tercapai dan ikhtiar bernama fasisme itu bisa disimpan kembali di dalam kotak, akankah apa pun yang tercipta dalam rangka maksud itu berjalan langgeng? Jawabannya: ya, apabila sesuatu yang tercipta itu mampu mengelola hasrat egoistis manusia secara adil dan bijaksana. Bila tidak, jawabannya: tidak, karena manusia secara naluriah ingin memuliakan dirinya secara rohaniah.

Fasisme alat yang berbahaya lebih-lebih karena ia mensyaratkan berlangsungnya regresi rohaniah pada manusia. Sebaiknya, sekali-kali ia jangan dipakai.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 9 Januari 2017


Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme
Tulisan di atas ditulis dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen yang diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)