31 Agustus 2016

Geert Wilders vs Politik Tercerahkan



Geert Wilders
Geert Wilders.
Foto: J. Warand
Pada 25 Agustus 2016, Geert Wilders mengunggah konsep agenda PVV (Partai untuk Kebebasan) untuk pemilu 2017 Belanda ke laman Facebook-nya, yang lantas disorot oleh media massa di dalam dan luar Belanda lantaran nadanya yang sangat anti-Islam tetapi juga karena isinya yang sangat ringkas karena seluruhnya bisa dicetak pada selembar kertas A4. Lima hari kemudian, pada 30 Agustus 2016, politikus anti-Islam Belanda dan ketua PVV itu kembali mengunggah tulisan ke Facebook yang isinya merupakan pengembangan dari konsep agenda PVV itu.

Tulisan berbahasa Belanda itu dapat dilihat di sini. Berikut terjemahannya:


Selembar kertas A4 kelewat singkat?
Pokok masalah yang paling mendesak sebetulnya bisa ditulis dalam 1 baris kalimat, malah dengan 2 kata saja:

DEISLAMISASI BELANDA

Persoalannya, hanya apabila tidak ada kekerasan, teror, dan kebencian dari ideologi totaliter Islam baru Belanda bisa tetap menjadi negara yang aman dan bebas.

Islamisasi merupakan masalah eksistensi terhadap kesintasan peradaban kita dan kebebasan kita.

Islam adalah suatu ideologi bengis yang totaliter––yang berkedok agama––dan oleh karena itu kebebasan konstitusional agama dan pendidikan menjadi tidak aci. Untuk apa kita harus memberikan suatu ideologi yang hendak merampas kebebasan kita kesempatan terhadap itu semua? Apakah kita tidak belajar dari jentaka yang dulu pernah ditimbulkan oleh ideologi bengis lainnya seperti komunisme dan naziisme?
Memalingkan muka dan bernalar dalam basa-basi politik ialah perbuatan tolol dan tindak bunuh diri tanpa tedeng aling-aling.

Lantas semakin lama politik memalingkan muka dan menafikan pesan ini, semakin lama perbatasan dibiarkan menganga dan semua orang dipersilakan masuk, semakin lama sifat asli Islam disamarkan, semakin lama suatu ideologi diberi status dan hak-hak yang nantinya oleh ideologi itu malah dipakai untuk merampas hak-hak milik kita, semakin lama peringatan-peringatan dari PVV mengenai semua itu dicuaikan, semakin keras pula nantinya tindakan yang bakal harus diambil untuk membalikkan keadaan.

Jadi, Kabinet, jangan lagi memalingkan muka tetapi bertindaklah, atau turunlah. Sudah cukup ini semua. Lindungilah warga Belanda terhadap Islam, teror, dan kekerasan.
Belanda pantas menerima lebih dari pemalingan muka Anda selama bertahun-tahun ini, pengkhianatan kepada negeri kita yang indah ini, dan penyerahan kebebasan-kebebasan kita yang diperoleh lewat perjuangan keras.

Belanda tetaplah harus menjadi negara yang bebas.


Negara berhak menentukan siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh melewati perbatasannya. Itu bukan menjadi persoalan. Yang menjadi persoalan ialah niat di balik hal itu, yaitu apakah ia berlandaskan kerangka berpikir yang picik atau bestari, apakah ia merangkul hanya mazhab tertentu atau semua mazhab, dan apakah ia bertolak dari egoisme atau altruisme?

Dengan memojokkan komunitas tertentu Wilders memperlihatkan bahwa niatnya berlandaskan kepicikan, merangkul hanya mazhab tertentu, dan bertolak dari egoisme. Ketiganya sesungguhnya serenteng.

Apabila pemahaman induk kearifan, kepicikan mestinya gejala yang timbul dari ketidakpahaman terhadap sesuatu karena ia sama sekali tidak mencerminkan kearifan. Dengan demikian, ada sesuatu yang oleh Wilders tidak dipahami, sebagaimana bisa ditafsirkan dari wacananya yang senantiasa memojokkan komunitas tertentu. Dia tidak memahami bahwasanya perubahan yang dia dambakan hanya bisa diadakan lewat kerangka berpikir yang bestari, yang tidak memberikan perlawanan terhadap tetapi justru mengayomi, menampung, dan pada akhirnya menyerap semua kelompok karena mengetahui bahwa lewat cara itu orang dimudahkan perjalanannya menuju pencerahan, yaitu keadaan pada kesadaran yang oleh kebestarian dikenali sebagai sesuatu yang didambakan dan pada saatnya akan dicapai oleh setiap insan.

Wilders hanya mewakili mazhab tertentu, yakni Yahudi-Nasrani dan humanisme. Golongan yang di Belanda tampil sebagai pembela mazhab tersebut oleh filsuf Belanda Rob Riemen dalam Kekekalan Laten Fasisme (2015) disebut sebagai ‘orang-orang setengah beradab yang juga merasa perlu untuk mengomentari budaya sendiri’. Mereka yang berseberangan dengan mazhab tersebut diluarkan oleh Wilders, yang adalah ciri otoritarianisme.

Menurut kamus, egoisme adalah tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri daripada untuk kesejahteraan orang lain. Akan tetapi, egoisme juga bisa diartikan sebagai keterikatan kesadaran kita pada hasrat. Keterikatan tersebut merintangi diri kita untuk menerima perbedaan karena, seperti ditunjukkan oleh keadaan ekstrem seperti dalam krisis migran di Eropa, hal tersebut mengharuskan kita untuk bertindak melawan naluri kesintasan, yang berakar pada hasrat akan kesintasan, hasrat terkuat ego manusia.

Kepolisian kota Aarhus di Denmark telah menerapkan hal itu dalam rangka kepraktisan (kebijakan mereka tersebut sekadar didorong oleh keinginan untuk menjaga keamanan kota; mereka sekadar melakukan pekerjaan mereka). (Silakan baca Serangan Nice dan Model Aarhus.)

Hal yang saya harapkan ialah agar Wilders berikhtiar dengan berlandaskan kerangka berpikir yang bestari, merangkul semua mazhab, dan bertolak dari altruisme. Saya menyadari bahwa hal itu tidak realistis karena yang saya tuntut dari seorang Wilders ialah bahwa dia menjadi insan yang tercerahkan padahal kapan pencerahan dialami oleh seseorang tidak ada yang tahu, termasuk oleh orang itu sendiri.

Akan tetapi, dalam politik tetapi juga pada bidang kehidupan lainnya, hal itu ternyata bisa disimulasikan. Situs PoliticalCompass.org menampilkan suatu model spektrum politik yang dibangun oleh dua dimensi: dimensi sosial (Otoritarianisme-Libertarianisme) sebagai sumbu y dan dimensi ekonomi (Kanan-Kiri) sebagai sumbu x. Berdasarkan konsep agenda PVV untuk pemilu 2017 Belanda, dimensi sosial politik Wilders bisa dibilang berada pada spektrum Otoritarianisme ekstrem sementara dimensi ekonominya berkisar pada spektrum Kiri tengah.

Dalam model itu, Wilders dapat menyimulasikan ‘politik tercerahkan’ dengan bertanya: apakah tindakan saya sudah memperlakukan orang lain sebagaimana saya ingin diperlakukan? Dalam model itu, apabila dia melandasi setiap tindakannya seturut jawaban atas pertanyaan tersebut, politik dia bakal bercirikan Libertarianisme-Kiri. Sebagai percobaan, silakan dibuktikan dengan mengisi tes yang tersedia pada PoliticalCompass.org dengan mengikuti kaidah kencana tersebut: https://www.politicalcompass.org/test.

Model tersebut belumlah sempurna tetapi ia dengan sangat jitu menggambarkan fenomena politik dalam peradaban manusia dan ia berhasil menetapkan Libertarianisme-Kiri sebagai batu loncatan menuju suatu dunia baru yang altruistis.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 31 Agustus 2016 


Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

26 Agustus 2016

Geert Wilders Permaklumkan Deislamisasi Belanda

Geert Wilders
Geert Wilders. Foto: ANP

Dalam rangka pemilu parlemen Belanda, yang dijadwalkan akan berlangsung pada 15 Maret 2017, politikus anti-Islam Belanda Geert Wilders menyiarkan konsep program pemilu PVV (Partai untuk Kebebasan), gerakan yang dia ketuai, pada laman Facebook-nya. Konsep yang panjangnya bisa dicetak pada selembar kertas A4 itu menempatkan deislamisasi Belanda pada urutan paling atas. Berikut terjemahan dokumen itu yang diunggah oleh Wilders pada 25 Agustus 2016:



KONSEP – PROGRAM PEMILU PVV 2017-2021

BELANDA MILIK KITA KEMBALI!


Jutaan warga Belanda sudah muak dengan islamisasi negara kita. Cukup sudah imigrasi massal dan pencarian suaka, teror, kekerasan, dan ketidakamanan.

Ini rencana kami: alih-alih membiayai seisi dunia dan orang-orang yang tidak kita inginkan di sini, uang akan kami belanjakan untuk rakyat umum Belanda.

Cara PVV akan melaksanakannya seperti ini:

1. Deislamisasi Belanda
  • Tidak ada lagi penambahan pencari suaka dan tidak ada lagi imigran dari negara islamis: tutup perbatasan
  • Penarikan semua izin tinggal pencari suaka yang telah diberikan untuk kurun waktu tertentu, tutup pusat penampungan pencari suaka
  • Peniadaan kerudung islamis dalam fungsi-fungsi publik
  • Pelarangan ekspresi islamis lainnya yang bertentangan dengan ketertiban umum
  • Pengurungan preventif muslim radikal
  • Denaturalisasi dan pengusiran kriminalis berkewarganegaraan ganda
  • Pencekalan 'pejuang' Suriah yang ingin kembali ke Belanda
  • Penutupan semua masjid dan sekolah islamis, pelarangan Alquran
2. Belanda kembali merdeka. Artinya, keluar dari UE
3. Demokrasi langsung: pemberlakuan referendum mengikat, penyerahan kekuasaan kepada warga negara
4. Pembatalan secara penuh rawat kesehatan risiko sendiri
5. Penurunan biaya sewa rumah
6. Uang pensiun dibayarkan pada usia 65 tahun, pensiun tambahan diindekskan
7. Penghentian dana bantuan untuk pembangunan, kincir angin, seni, inovasi, penyiaran, dsb.
8. Pembalikan penghematan perawatan di rumah, perawatan manula, penambahan tenaga perawat
9. Penambahan dana besar-besaran untuk pertahanan dan kepolisian
10. Penurunan pajak pendapatan
11. Pemaruhan pajak kendaraan bermotor

Paragraf keuangan per poin berikut jumlah:
  1. + 7,2 M
  2. Pos peringatan
  3. Pos peringatan
  4. - 3,7 M
  5. - 1,0 M
  6. - 3,5 M
  7. + 10,0 M
  8. - 2,0 M
  9. - 2,0 M
  10. - 3,0 M
  11. - 2,0 M
Jumlah: 0

Layangkan tanggapan lewat: nederlandweervanons@pvv.nl

***


Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

16 Agustus 2016

Catur



Buah catur merah-putih
Sumber: themahjongshop.com.
Dirgahayu Republik Indonesia. Perayaan hari Proklamasi Kemerdekaan adalah kisah tentang genesis Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap kali kita beragustusan, kita mengenangkan suatu kisah tentang kita, manusia. Pasal, alih-alih rangkaian data dan fakta yang dingin, sejarah di balik tanggal 17 Agustus dibentuk oleh dinamika hasrat manusia yang menyala-nyala.

Sejarah berdirinya NKRI melibatkan banyak aktor (manusia), dan masing-masing aktor tersebut memperjuangkan keinginan mereka masing-masing. Benturan antara keinginan-keinginan tersebut lantas berujung dengan Perang Kemerdekaan Indonesia.

Apabila medan perang tersebut diibaratkan papan catur, buah catur melambangkan kelompok-kelompok kepentingan yang disusun menurut dua kubu: kubu kemerdekaan dan kubu kolonialisme. Masing-masing buah catur lantas tergabung pada kubu yang ia anggap mengusung kepentingannya, yaitu:

-          Pemerolehan kebutuhan hidup (Kesintasan);
-          Penghimpunan kebutuhan hidup (Kekayaan); atau
-          Pengendalian kebutuhan hidup (Kekuasaan).

Ajaran dan paham yang berbagai-bagai (seperti agama, sistem, falsafah—Keilmuan) kemudian menentukan pergerakan setiap buah pada papan catur, dan, seperti yang kita ketahui, pada pengujung 1949 akhirnya kubu kemerdekaan yang muncul sebagai pemenang.

Saya ingin mengutip Perjuangan Kita, sebuah pamflet karya Sutan Syahrir, salah satu putra terbaik Indonesia yang pemikirannya ikut menentukan kemenangan kubu kemerdekaan, yang terbit pada pengujung Oktober 1945:

"Kekuatan yang kita cari ada pada pengobaran perasaan keadilan dan kemanusiaan. Hanya semangat kebangsaan yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan yang dapat mengantar kita maju dalam sejarah dunia."

Bung Syahrir menyerukan penjunjungan nilai-nilai objektif (mutlak) kala keadaan dikuasai oleh pengejawantahan nilai-nilai subjektif (nisbi). Dia memandangi papan catur kita itu dari ketinggian sehingga nada dia pun menjadi bertolak dari semangat: muliakan manusia.

Menurut hemat saya, itulah yang mestinya menjadi tujuan didirikannya suatu negara bangsa, yaitu untuk memuliakan manusia. Bangsa Indonesia betul telah merdeka, tetapi kita belum menjadikannya bangsa yang bebas.

Sekarang, pada 2016, buah catur pada papan kita boleh jadi tersusun dalam formasi yang berbeda—semenjak 2014, setelah melewati Zaman Kemerdekaan dan Zaman Reformasi, Indonesia memasuki Zaman Kebebasan—tetapi judul permainannya tetap sama: catur. Akan tetapi, Republik Indonesia sekarang berada dalam Perang Kebebasan.

Silakan ditentukan sendiri apa yang menjadi buah catur Anda dan apa Keilmuan yang menggerakan buah catur Anda tersebut. Silakan ditentukan bagaimana negara bangsa kita ini dapat menjadi sesuatu yang memuliakan manusia seturut nilai-nilai objektif sehingga perang tersebut dapat dimenangkan.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 16 Agustus 2016

8 Agustus 2016

EKSKLUSIF: Kembalinya Fasisme di Eropa


Rob Riemen
Rob Riemen
(Foto: Claudia Guadarrama)
Kisah tentang pengungsi dan orang buangan sejati setua bani Adam. Bilamana saja kehidupan manusia dihinggapi azab sengsara, kemiskinan ataupun peperangan, cuma ada satu hal yang dia inginkan: hengkang! Pergi meninggalkan ahwalnya yang lata dan berangkat ke suatu tempat dia bisa membangun kehidupan baru; kehidupan yang sejahtera, yang bermartabat. Sejarah Eropa, terutama sejarah abad kedua puluh-nya, ialah milik para buangan, para gusuran: para korban amuk nasionalisme, fanatisme dan totaliterisme, lantaran Eropa, dengan paham negara-kebangsaannya yang berjejak pada etnisitas, selalu alang-alangan menyambut datangnya 'orang asing'. Tidak seperti Amerika Serikat sebab terlepas dari beleid yang membatasi imigrasi dan sikap bermusuhan angry white men Partai Republik, AS tetap contoh teladan suatu negara para emigran yang jutaan di antaranya disambut oleh Patung Kebebasan, patung yang pada dudukannya tertera sajak masyhur Emma Lazarus:

Here at our sea-washed, sunset gates shall stand
A mighty woman with a torch, whose flame
Is the imprisoned lightning, and her name
Mother of Exiles. From her beacon-hand
Glows world-wide welcome; her mild eyes command
The air-bridged harbor that twin cities frame.
"Keep ancient lands, your storied pomp!" cries she
With silent lips. "Give me your tired, your poor,
Your huddled masses yearning to breathe free,
The wretched refuse of your teeming shore.
Send these, the homeless, tempest-tost to me,
I lift my lamp beside the golden door!"


Tragedi abad ke-21 merupakan tragedi suatu krisis yang belum diakui orang, yakni suatu krisis peradaban. Di satu sisi, jutaan pengungsi asal Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi korban paling bahana krisis dalam peradaban Islam di kawasan mereka dan, di sisi lain, ketidakmampuan untuk membangun suatu masyarakat tempat mereka dapat hidup dalam kebebasan, kesejahteraan, dan martabat. Yang ada, masyarakat tersebut malah menjadi titik pusat fanatisme keagamaan, kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan sosial. Begitu nyawa ratusan ribu penduduk melayang akibat perang dan kekerasan keagamaan yang menyebar bak api liar, mereka haruslah angkat kaki––demi keselamatan diri.

Pada saat yang sama, dalam peradaban Eropa terdapat krisis mendalam yang (kembali) diungkapkan dalam bentuk kembalinya fasisme di seantero Eropa: Rusia pemerintahan Putin sudah negara fasistik, begitu pula dengan Hungaria, sementara suara-suara fasisme-baru terdengar di: Prancis, Italia, Denmark, Finlandia, Kroasia, Yunani, Rumania, Belgia, dan… di Belanda. Fasisme adalah politik dusta yang berjejak pada penyebaran perasaan takut dan kebencian dan yang tidak menawarkan satu pun gagasan positif sebagai pemecahan. Yang lebih parah daripada gagasan mereka membangun tembok untuk mencegah masuknya pengungsi ke dalam negara mereka (suatu rencana yang toh tidak akan mempan) adalah tembok mental yang mereka bangun dalam benak penduduk, seperti: "Kita harus menghentikan invasi Islam, soalnya kita adalah penegak ajaran Yahudi-Nasrani dan humanisme!" Namun, itulah politik dusta. Suatu slogan oleh dan untuk orang-orang setengah beradab, yang sok tahu mengomentari budaya sendiri.

Barang siapa sungguh-sungguh merelai ajaran tersebut, maka dia juga harus menuruti perintah: "Sebab itu haruslah kamu menunjukkan kasihmu kepada orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir." (Ul 10:19)

Pembela mazhab di atas akan senantiasa mengiktikadkan suatu etik universal yang merangkul semua orang. Jati diri sejati kita tidak ditentukan oleh kewarganegaraan, asal usul, bahasa, keyakinan, pendapatan, rumpun bangsa atau segala hal yang membedakan orang, tetapi justru dalam hal-hal yang mempertalikan orang dan yang memungkinkan bersatunya seluruh umat manusia: nilai-nilai rohaniah universal yang menakhlikkan harkat kemanusiaan dan yang dapat diadopsi oleh setiap insan. Itulah alasan mengapa dalam mazhab tersebut pendidikan ditempatkan jauh di atas kepentingan kebendaan dan mengapa hidup dipandang sebagai ikhtiar ajek menginsafi dan mengadopsi nilai-nilai mutlak seperti kebenaran, keadilan, belas kasih, dan keindahan. Mazhab-mazhab itulah yang menempatkan seni, mazhab klasik, filsafat, dan teologi dalam titik pusat pendidikan, sebab merekalah perangkat terpenting dalam memberikan kita pembinaan dalam hal keutamaan dan yang akan membantu kita meraih kearifan tertentu.

Pengikut salah satu mazhab tersebut akan mati-matian menolak budaya kesakithatian dalam masyarakat, pengambinghitaman orang mentang-mentang mereka menganut kepercayaan atau mazhab yang berbeda, serta semua kebencian yang tercetus dari demagogi tersebut.

Pengikut salah satu mazhab tersebut tidak akan memiliki maksud menguasai massa, tetapi justru ingin meninggikan bangsa.

Pengikut salah satu mazhab tersebut akan menganuti gagasan sukma Eropa dan akan memajukan penyatuan politik Eropa.

Orang-orang fasis kini berupaya merampas etik universal dari kita, mereka membudidayakan suatu budaya kesakithatian dan pengambinghitaman; alih-alih meninggikan bangsa mereka ingin mengendalikan massa, dan mereka membenci gagasan sukma Eropa. Seandai para fasis (kembali) akan menang maka tragedi kemanusiaan yang akan berkembang tidak lagi dapat disebut "tidak terbayangkan"; pasal, kita sudah tahu bahwa kita bisa membayangkan apa yang bakal terjadi karena sebelumnya sudah pernah kita saksikan.

Akan tetapi, itu hanya akan terjadi apabila kita terus marem, apabila kita tidak menyadari kebenaran menohok tentang diri kita sendiri sebagaimana dinyatakan dengan petahnya oleh sineas Italia Federico Fellini dalam autobiografinya yang dia terbitkan setelah dia hidup dalam era fasistik di Italia:

"Fasisme selalu muncul dari suatu semangat kedaerahan, suatu kepicikan terhadap permasalahan riil serta keengganan orang untuk––karena kemalasan, praanggapan, ketamakan atau keangkuhan––memaknai hidup secara lebih dalam. Malah, mereka menganjung-anjung ketidaktahuan mereka dan mengejar kesuksesan diri sendiri atau kelompok mereka dengan cara berlagak, mengaku ini itu tanpa bukti dan membuat-buat kebaikan, alih-alih bertolak dari kemampuan nyata, pengalaman atau perenungan budaya. Fasisme, lanjut Fellini, tidak dapat diperangi apabila kita tidak bisa memafhumi bahwa sesungguhnya ia hanyalah sifat dari diri kita yang bodoh, menyedihkan dan terkecewa, yaitu sifat-sifat yang sudah sepantasnya membuat kita malu. Untuk dapat membendung bagian dari diri kita itu, kita membutuhkan sesuatu yang lebih dibandingkan sekadar penggiatan gerakan antifasisme, soalnya fasisme laten tersembunyi dalam diri kita semua. Sudah satu kali ia berhasil menggondol suatu suara, kekuasaan dan kepercayaan, dan ia dapat melakukannya lagi…"

Apa yang kita perlukan, sekarang terlebih-lebih dibandingkan dahulu, adalah pengakuan bahwasanya kita tengah hidup dalam suatu krisis peradaban serta kesadaran bahwa satu-satunya jalan keluar dari gua ini adalah suatu kebangkitan kembali nilai-nilai rohaniah universal: bahwasanya kita semua ikut memantas dunia ini sehingga kebenaran, kearifan, belas kasih, dan keadilan dapat berkibar.

Rob Riemen
September 2015


Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:

  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)