8 Agustus 2016

EKSKLUSIF: Kembalinya Fasisme di Eropa


Rob Riemen
Rob Riemen
(Foto: Claudia Guadarrama)
Kisah tentang pengungsi dan orang buangan sejati setua bani Adam. Bilamana saja kehidupan manusia dihinggapi azab sengsara, kemiskinan ataupun peperangan, cuma ada satu hal yang dia inginkan: hengkang! Pergi meninggalkan ahwalnya yang lata dan berangkat ke suatu tempat dia bisa membangun kehidupan baru; kehidupan yang sejahtera, yang bermartabat. Sejarah Eropa, terutama sejarah abad kedua puluh-nya, ialah milik para buangan, para gusuran: para korban amuk nasionalisme, fanatisme dan totaliterisme, lantaran Eropa, dengan paham negara-kebangsaannya yang berjejak pada etnisitas, selalu alang-alangan menyambut datangnya 'orang asing'. Tidak seperti Amerika Serikat sebab terlepas dari beleid yang membatasi imigrasi dan sikap bermusuhan angry white men Partai Republik, AS tetap contoh teladan suatu negara para emigran yang jutaan di antaranya disambut oleh Patung Kebebasan, patung yang pada dudukannya tertera sajak masyhur Emma Lazarus:

Here at our sea-washed, sunset gates shall stand
A mighty woman with a torch, whose flame
Is the imprisoned lightning, and her name
Mother of Exiles. From her beacon-hand
Glows world-wide welcome; her mild eyes command
The air-bridged harbor that twin cities frame.
"Keep ancient lands, your storied pomp!" cries she
With silent lips. "Give me your tired, your poor,
Your huddled masses yearning to breathe free,
The wretched refuse of your teeming shore.
Send these, the homeless, tempest-tost to me,
I lift my lamp beside the golden door!"


Tragedi abad ke-21 merupakan tragedi suatu krisis yang belum diakui orang, yakni suatu krisis peradaban. Di satu sisi, jutaan pengungsi asal Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi korban paling bahana krisis dalam peradaban Islam di kawasan mereka dan, di sisi lain, ketidakmampuan untuk membangun suatu masyarakat tempat mereka dapat hidup dalam kebebasan, kesejahteraan, dan martabat. Yang ada, masyarakat tersebut malah menjadi titik pusat fanatisme keagamaan, kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan sosial. Begitu nyawa ratusan ribu penduduk melayang akibat perang dan kekerasan keagamaan yang menyebar bak api liar, mereka haruslah angkat kaki––demi keselamatan diri.

Pada saat yang sama, dalam peradaban Eropa terdapat krisis mendalam yang (kembali) diungkapkan dalam bentuk kembalinya fasisme di seantero Eropa: Rusia pemerintahan Putin sudah negara fasistik, begitu pula dengan Hungaria, sementara suara-suara fasisme-baru terdengar di: Prancis, Italia, Denmark, Finlandia, Kroasia, Yunani, Rumania, Belgia, dan… di Belanda. Fasisme adalah politik dusta yang berjejak pada penyebaran perasaan takut dan kebencian dan yang tidak menawarkan satu pun gagasan positif sebagai pemecahan. Yang lebih parah daripada gagasan mereka membangun tembok untuk mencegah masuknya pengungsi ke dalam negara mereka (suatu rencana yang toh tidak akan mempan) adalah tembok mental yang mereka bangun dalam benak penduduk, seperti: "Kita harus menghentikan invasi Islam, soalnya kita adalah penegak ajaran Yahudi-Nasrani dan humanisme!" Namun, itulah politik dusta. Suatu slogan oleh dan untuk orang-orang setengah beradab, yang sok tahu mengomentari budaya sendiri.

Barang siapa sungguh-sungguh merelai ajaran tersebut, maka dia juga harus menuruti perintah: "Sebab itu haruslah kamu menunjukkan kasihmu kepada orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir." (Ul 10:19)

Pembela mazhab di atas akan senantiasa mengiktikadkan suatu etik universal yang merangkul semua orang. Jati diri sejati kita tidak ditentukan oleh kewarganegaraan, asal usul, bahasa, keyakinan, pendapatan, rumpun bangsa atau segala hal yang membedakan orang, tetapi justru dalam hal-hal yang mempertalikan orang dan yang memungkinkan bersatunya seluruh umat manusia: nilai-nilai rohaniah universal yang menakhlikkan harkat kemanusiaan dan yang dapat diadopsi oleh setiap insan. Itulah alasan mengapa dalam mazhab tersebut pendidikan ditempatkan jauh di atas kepentingan kebendaan dan mengapa hidup dipandang sebagai ikhtiar ajek menginsafi dan mengadopsi nilai-nilai mutlak seperti kebenaran, keadilan, belas kasih, dan keindahan. Mazhab-mazhab itulah yang menempatkan seni, mazhab klasik, filsafat, dan teologi dalam titik pusat pendidikan, sebab merekalah perangkat terpenting dalam memberikan kita pembinaan dalam hal keutamaan dan yang akan membantu kita meraih kearifan tertentu.

Pengikut salah satu mazhab tersebut akan mati-matian menolak budaya kesakithatian dalam masyarakat, pengambinghitaman orang mentang-mentang mereka menganut kepercayaan atau mazhab yang berbeda, serta semua kebencian yang tercetus dari demagogi tersebut.

Pengikut salah satu mazhab tersebut tidak akan memiliki maksud menguasai massa, tetapi justru ingin meninggikan bangsa.

Pengikut salah satu mazhab tersebut akan menganuti gagasan sukma Eropa dan akan memajukan penyatuan politik Eropa.

Orang-orang fasis kini berupaya merampas etik universal dari kita, mereka membudidayakan suatu budaya kesakithatian dan pengambinghitaman; alih-alih meninggikan bangsa mereka ingin mengendalikan massa, dan mereka membenci gagasan sukma Eropa. Seandai para fasis (kembali) akan menang maka tragedi kemanusiaan yang akan berkembang tidak lagi dapat disebut "tidak terbayangkan"; pasal, kita sudah tahu bahwa kita bisa membayangkan apa yang bakal terjadi karena sebelumnya sudah pernah kita saksikan.

Akan tetapi, itu hanya akan terjadi apabila kita terus marem, apabila kita tidak menyadari kebenaran menohok tentang diri kita sendiri sebagaimana dinyatakan dengan petahnya oleh sineas Italia Federico Fellini dalam autobiografinya yang dia terbitkan setelah dia hidup dalam era fasistik di Italia:

"Fasisme selalu muncul dari suatu semangat kedaerahan, suatu kepicikan terhadap permasalahan riil serta keengganan orang untuk––karena kemalasan, praanggapan, ketamakan atau keangkuhan––memaknai hidup secara lebih dalam. Malah, mereka menganjung-anjung ketidaktahuan mereka dan mengejar kesuksesan diri sendiri atau kelompok mereka dengan cara berlagak, mengaku ini itu tanpa bukti dan membuat-buat kebaikan, alih-alih bertolak dari kemampuan nyata, pengalaman atau perenungan budaya. Fasisme, lanjut Fellini, tidak dapat diperangi apabila kita tidak bisa memafhumi bahwa sesungguhnya ia hanyalah sifat dari diri kita yang bodoh, menyedihkan dan terkecewa, yaitu sifat-sifat yang sudah sepantasnya membuat kita malu. Untuk dapat membendung bagian dari diri kita itu, kita membutuhkan sesuatu yang lebih dibandingkan sekadar penggiatan gerakan antifasisme, soalnya fasisme laten tersembunyi dalam diri kita semua. Sudah satu kali ia berhasil menggondol suatu suara, kekuasaan dan kepercayaan, dan ia dapat melakukannya lagi…"

Apa yang kita perlukan, sekarang terlebih-lebih dibandingkan dahulu, adalah pengakuan bahwasanya kita tengah hidup dalam suatu krisis peradaban serta kesadaran bahwa satu-satunya jalan keluar dari gua ini adalah suatu kebangkitan kembali nilai-nilai rohaniah universal: bahwasanya kita semua ikut memantas dunia ini sehingga kebenaran, kearifan, belas kasih, dan keadilan dapat berkibar.

Rob Riemen
September 2015


Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:

  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar