Geert Wilders. Foto: J. Warand |
Pada 25 Agustus 2016, Geert Wilders mengunggah konsep agenda PVV (Partai untuk Kebebasan)
untuk pemilu 2017 Belanda ke laman Facebook-nya, yang
lantas disorot oleh media massa di dalam dan luar Belanda lantaran nadanya yang
sangat anti-Islam tetapi juga karena isinya yang sangat ringkas karena seluruhnya
bisa dicetak pada selembar kertas A4. Lima hari kemudian, pada 30 Agustus 2016,
politikus anti-Islam Belanda dan ketua PVV itu kembali mengunggah tulisan ke
Facebook yang isinya merupakan pengembangan dari konsep agenda PVV itu.
Tulisan berbahasa Belanda itu dapat dilihat di sini.
Berikut terjemahannya:
Selembar kertas A4
kelewat singkat?
Pokok masalah yang
paling mendesak sebetulnya bisa ditulis dalam 1 baris kalimat, malah dengan 2
kata saja:
DEISLAMISASI
BELANDA
Persoalannya, hanya
apabila tidak ada kekerasan, teror, dan kebencian dari ideologi totaliter Islam
baru Belanda bisa tetap menjadi negara yang aman dan bebas.
Islamisasi merupakan
masalah eksistensi terhadap kesintasan peradaban kita dan kebebasan kita.
Islam adalah suatu
ideologi bengis yang totaliter––yang berkedok agama––dan oleh karena itu
kebebasan konstitusional agama dan pendidikan menjadi tidak aci. Untuk apa kita
harus memberikan suatu ideologi yang hendak merampas kebebasan kita kesempatan terhadap
itu semua? Apakah kita tidak belajar dari jentaka yang dulu pernah ditimbulkan
oleh ideologi bengis lainnya seperti komunisme dan naziisme?
Memalingkan muka
dan bernalar dalam basa-basi politik ialah perbuatan tolol dan tindak bunuh
diri tanpa tedeng aling-aling.
Lantas semakin lama
politik memalingkan muka dan menafikan pesan ini, semakin lama perbatasan
dibiarkan menganga dan semua orang dipersilakan masuk, semakin lama sifat asli Islam
disamarkan, semakin lama suatu ideologi diberi status dan hak-hak yang nantinya
oleh ideologi itu malah dipakai untuk merampas hak-hak milik kita, semakin lama peringatan-peringatan dari
PVV mengenai semua itu dicuaikan, semakin keras pula nantinya tindakan yang bakal
harus diambil untuk membalikkan keadaan.
Jadi, Kabinet,
jangan lagi memalingkan muka tetapi bertindaklah, atau turunlah. Sudah cukup
ini semua. Lindungilah warga Belanda terhadap Islam, teror, dan kekerasan.
Belanda pantas
menerima lebih dari pemalingan muka Anda selama bertahun-tahun ini,
pengkhianatan kepada negeri kita yang indah ini, dan penyerahan
kebebasan-kebebasan kita yang diperoleh lewat perjuangan keras.
Belanda tetaplah
harus menjadi negara yang bebas.
Negara berhak menentukan siapa yang boleh dan siapa yang
tidak boleh melewati perbatasannya. Itu bukan menjadi persoalan. Yang menjadi
persoalan ialah niat di balik hal itu,
yaitu apakah ia berlandaskan kerangka berpikir yang picik atau bestari, apakah ia
merangkul hanya mazhab tertentu atau semua mazhab, dan apakah ia bertolak dari
egoisme atau altruisme?
Dengan memojokkan komunitas tertentu Wilders memperlihatkan bahwa niatnya berlandaskan kepicikan, merangkul
hanya mazhab tertentu, dan bertolak dari egoisme. Ketiganya sesungguhnya
serenteng.
Apabila pemahaman induk kearifan, kepicikan mestinya gejala
yang timbul dari ketidakpahaman terhadap sesuatu karena ia sama sekali tidak
mencerminkan kearifan. Dengan demikian, ada sesuatu yang oleh Wilders tidak dipahami, sebagaimana
bisa ditafsirkan dari wacananya yang senantiasa memojokkan komunitas tertentu. Dia
tidak memahami bahwasanya perubahan yang dia dambakan hanya bisa diadakan lewat
kerangka berpikir yang bestari, yang tidak memberikan perlawanan terhadap tetapi
justru mengayomi, menampung, dan pada akhirnya menyerap semua kelompok karena
mengetahui bahwa lewat cara itu orang dimudahkan perjalanannya menuju pencerahan,
yaitu keadaan pada kesadaran yang oleh kebestarian dikenali sebagai sesuatu
yang didambakan dan pada saatnya akan dicapai oleh setiap insan.
Wilders hanya mewakili
mazhab tertentu, yakni Yahudi-Nasrani dan humanisme. Golongan yang di Belanda
tampil sebagai pembela mazhab tersebut oleh filsuf Belanda Rob Riemen dalam Kekekalan
Laten Fasisme (2015) disebut sebagai ‘orang-orang setengah beradab yang
juga merasa perlu untuk mengomentari budaya
sendiri’. Mereka yang berseberangan dengan mazhab tersebut diluarkan oleh Wilders, yang adalah ciri otoritarianisme.
Menurut kamus,
egoisme adalah tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri
sendiri daripada untuk kesejahteraan orang lain. Akan tetapi, egoisme juga bisa
diartikan sebagai keterikatan kesadaran kita pada hasrat. Keterikatan tersebut merintangi
diri kita untuk menerima perbedaan karena, seperti ditunjukkan oleh keadaan
ekstrem seperti dalam krisis migran di Eropa, hal tersebut mengharuskan kita
untuk bertindak melawan naluri kesintasan, yang berakar pada hasrat akan
kesintasan, hasrat terkuat ego manusia.
Kepolisian kota Aarhus di Denmark telah menerapkan hal itu
dalam rangka kepraktisan (kebijakan mereka tersebut sekadar didorong oleh
keinginan untuk menjaga keamanan kota; mereka sekadar melakukan pekerjaan
mereka). (Silakan baca Serangan Nice dan
Model Aarhus.)
Hal yang saya harapkan ialah agar Wilders berikhtiar dengan berlandaskan kerangka berpikir yang
bestari, merangkul semua mazhab, dan bertolak dari altruisme. Saya menyadari
bahwa hal itu tidak realistis karena yang saya tuntut dari seorang Wilders ialah bahwa dia menjadi insan yang
tercerahkan padahal kapan pencerahan dialami oleh seseorang tidak ada yang tahu,
termasuk oleh orang itu sendiri.
Akan tetapi, dalam politik tetapi juga pada bidang
kehidupan lainnya, hal itu ternyata bisa disimulasikan.
Situs PoliticalCompass.org menampilkan suatu
model spektrum politik yang dibangun oleh dua dimensi: dimensi sosial (Otoritarianisme-Libertarianisme)
sebagai sumbu y dan dimensi ekonomi
(Kanan-Kiri) sebagai sumbu x.
Berdasarkan konsep agenda PVV untuk pemilu 2017 Belanda, dimensi sosial politik
Wilders bisa dibilang berada pada
spektrum Otoritarianisme ekstrem sementara dimensi ekonominya berkisar pada spektrum
Kiri tengah.
Dalam model itu, Wilders
dapat menyimulasikan ‘politik tercerahkan’ dengan bertanya: apakah tindakan saya
sudah memperlakukan orang lain sebagaimana saya ingin diperlakukan? Dalam model
itu, apabila dia melandasi setiap tindakannya seturut jawaban atas pertanyaan tersebut,
politik dia bakal bercirikan Libertarianisme-Kiri. Sebagai percobaan, silakan
dibuktikan dengan mengisi tes yang tersedia pada PoliticalCompass.org dengan
mengikuti kaidah kencana tersebut: https://www.politicalcompass.org/test.
Model tersebut belumlah sempurna tetapi
ia dengan sangat jitu menggambarkan fenomena politik dalam peradaban manusia dan ia
berhasil menetapkan Libertarianisme-Kiri sebagai batu loncatan menuju suatu dunia
baru yang altruistis.
Laurens Sipahelut
Tangerang, 31 Agustus 2016
Tangerang, 31 Agustus 2016
Kekekalan Laten Fasisme |
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
- Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
- Jakarta Barat (Trisakti)
- Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
- Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
- Tangerang Selatan (BSD)
- Tangerang (Tangcity Mall)
- Bandung (BIP)
- Bekasi (Bekasi CyberPark)
- Depok (Margo City)
- Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
- Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
- Denpasar (LIBBI Denpasar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar