31 Agustus 2016

Geert Wilders vs Politik Tercerahkan



Geert Wilders
Geert Wilders.
Foto: J. Warand
Pada 25 Agustus 2016, Geert Wilders mengunggah konsep agenda PVV (Partai untuk Kebebasan) untuk pemilu 2017 Belanda ke laman Facebook-nya, yang lantas disorot oleh media massa di dalam dan luar Belanda lantaran nadanya yang sangat anti-Islam tetapi juga karena isinya yang sangat ringkas karena seluruhnya bisa dicetak pada selembar kertas A4. Lima hari kemudian, pada 30 Agustus 2016, politikus anti-Islam Belanda dan ketua PVV itu kembali mengunggah tulisan ke Facebook yang isinya merupakan pengembangan dari konsep agenda PVV itu.

Tulisan berbahasa Belanda itu dapat dilihat di sini. Berikut terjemahannya:


Selembar kertas A4 kelewat singkat?
Pokok masalah yang paling mendesak sebetulnya bisa ditulis dalam 1 baris kalimat, malah dengan 2 kata saja:

DEISLAMISASI BELANDA

Persoalannya, hanya apabila tidak ada kekerasan, teror, dan kebencian dari ideologi totaliter Islam baru Belanda bisa tetap menjadi negara yang aman dan bebas.

Islamisasi merupakan masalah eksistensi terhadap kesintasan peradaban kita dan kebebasan kita.

Islam adalah suatu ideologi bengis yang totaliter––yang berkedok agama––dan oleh karena itu kebebasan konstitusional agama dan pendidikan menjadi tidak aci. Untuk apa kita harus memberikan suatu ideologi yang hendak merampas kebebasan kita kesempatan terhadap itu semua? Apakah kita tidak belajar dari jentaka yang dulu pernah ditimbulkan oleh ideologi bengis lainnya seperti komunisme dan naziisme?
Memalingkan muka dan bernalar dalam basa-basi politik ialah perbuatan tolol dan tindak bunuh diri tanpa tedeng aling-aling.

Lantas semakin lama politik memalingkan muka dan menafikan pesan ini, semakin lama perbatasan dibiarkan menganga dan semua orang dipersilakan masuk, semakin lama sifat asli Islam disamarkan, semakin lama suatu ideologi diberi status dan hak-hak yang nantinya oleh ideologi itu malah dipakai untuk merampas hak-hak milik kita, semakin lama peringatan-peringatan dari PVV mengenai semua itu dicuaikan, semakin keras pula nantinya tindakan yang bakal harus diambil untuk membalikkan keadaan.

Jadi, Kabinet, jangan lagi memalingkan muka tetapi bertindaklah, atau turunlah. Sudah cukup ini semua. Lindungilah warga Belanda terhadap Islam, teror, dan kekerasan.
Belanda pantas menerima lebih dari pemalingan muka Anda selama bertahun-tahun ini, pengkhianatan kepada negeri kita yang indah ini, dan penyerahan kebebasan-kebebasan kita yang diperoleh lewat perjuangan keras.

Belanda tetaplah harus menjadi negara yang bebas.


Negara berhak menentukan siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh melewati perbatasannya. Itu bukan menjadi persoalan. Yang menjadi persoalan ialah niat di balik hal itu, yaitu apakah ia berlandaskan kerangka berpikir yang picik atau bestari, apakah ia merangkul hanya mazhab tertentu atau semua mazhab, dan apakah ia bertolak dari egoisme atau altruisme?

Dengan memojokkan komunitas tertentu Wilders memperlihatkan bahwa niatnya berlandaskan kepicikan, merangkul hanya mazhab tertentu, dan bertolak dari egoisme. Ketiganya sesungguhnya serenteng.

Apabila pemahaman induk kearifan, kepicikan mestinya gejala yang timbul dari ketidakpahaman terhadap sesuatu karena ia sama sekali tidak mencerminkan kearifan. Dengan demikian, ada sesuatu yang oleh Wilders tidak dipahami, sebagaimana bisa ditafsirkan dari wacananya yang senantiasa memojokkan komunitas tertentu. Dia tidak memahami bahwasanya perubahan yang dia dambakan hanya bisa diadakan lewat kerangka berpikir yang bestari, yang tidak memberikan perlawanan terhadap tetapi justru mengayomi, menampung, dan pada akhirnya menyerap semua kelompok karena mengetahui bahwa lewat cara itu orang dimudahkan perjalanannya menuju pencerahan, yaitu keadaan pada kesadaran yang oleh kebestarian dikenali sebagai sesuatu yang didambakan dan pada saatnya akan dicapai oleh setiap insan.

Wilders hanya mewakili mazhab tertentu, yakni Yahudi-Nasrani dan humanisme. Golongan yang di Belanda tampil sebagai pembela mazhab tersebut oleh filsuf Belanda Rob Riemen dalam Kekekalan Laten Fasisme (2015) disebut sebagai ‘orang-orang setengah beradab yang juga merasa perlu untuk mengomentari budaya sendiri’. Mereka yang berseberangan dengan mazhab tersebut diluarkan oleh Wilders, yang adalah ciri otoritarianisme.

Menurut kamus, egoisme adalah tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri daripada untuk kesejahteraan orang lain. Akan tetapi, egoisme juga bisa diartikan sebagai keterikatan kesadaran kita pada hasrat. Keterikatan tersebut merintangi diri kita untuk menerima perbedaan karena, seperti ditunjukkan oleh keadaan ekstrem seperti dalam krisis migran di Eropa, hal tersebut mengharuskan kita untuk bertindak melawan naluri kesintasan, yang berakar pada hasrat akan kesintasan, hasrat terkuat ego manusia.

Kepolisian kota Aarhus di Denmark telah menerapkan hal itu dalam rangka kepraktisan (kebijakan mereka tersebut sekadar didorong oleh keinginan untuk menjaga keamanan kota; mereka sekadar melakukan pekerjaan mereka). (Silakan baca Serangan Nice dan Model Aarhus.)

Hal yang saya harapkan ialah agar Wilders berikhtiar dengan berlandaskan kerangka berpikir yang bestari, merangkul semua mazhab, dan bertolak dari altruisme. Saya menyadari bahwa hal itu tidak realistis karena yang saya tuntut dari seorang Wilders ialah bahwa dia menjadi insan yang tercerahkan padahal kapan pencerahan dialami oleh seseorang tidak ada yang tahu, termasuk oleh orang itu sendiri.

Akan tetapi, dalam politik tetapi juga pada bidang kehidupan lainnya, hal itu ternyata bisa disimulasikan. Situs PoliticalCompass.org menampilkan suatu model spektrum politik yang dibangun oleh dua dimensi: dimensi sosial (Otoritarianisme-Libertarianisme) sebagai sumbu y dan dimensi ekonomi (Kanan-Kiri) sebagai sumbu x. Berdasarkan konsep agenda PVV untuk pemilu 2017 Belanda, dimensi sosial politik Wilders bisa dibilang berada pada spektrum Otoritarianisme ekstrem sementara dimensi ekonominya berkisar pada spektrum Kiri tengah.

Dalam model itu, Wilders dapat menyimulasikan ‘politik tercerahkan’ dengan bertanya: apakah tindakan saya sudah memperlakukan orang lain sebagaimana saya ingin diperlakukan? Dalam model itu, apabila dia melandasi setiap tindakannya seturut jawaban atas pertanyaan tersebut, politik dia bakal bercirikan Libertarianisme-Kiri. Sebagai percobaan, silakan dibuktikan dengan mengisi tes yang tersedia pada PoliticalCompass.org dengan mengikuti kaidah kencana tersebut: https://www.politicalcompass.org/test.

Model tersebut belumlah sempurna tetapi ia dengan sangat jitu menggambarkan fenomena politik dalam peradaban manusia dan ia berhasil menetapkan Libertarianisme-Kiri sebagai batu loncatan menuju suatu dunia baru yang altruistis.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 31 Agustus 2016 


Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar