26 Oktober 2015

Holokaus Dapat Kembali Terjadi

Timothy Snyder
Timothy Snyder. Sumber: wikipedia.org.
Pada 24 Oktober 2015, harian terkemuka Belanda de Volkskrant memuat wawancara menarik dengan Timothy Snyder, dosen sejarah pada Universitas Yale, AS. Dalam wanwancara tersebut, Snyder menyatakan bahwa Holokaus dapat kembali terjadi karena berbagai peristiwa dunia pada saat ini menunjukkan banyak persamaan dengan Eropa zaman 1930-an, kala Hitler menguasai Jerman. Berikut saduran wawancara tersebut.

Holokaus dapat kembali terjadi?
Menurut Snyder, pengamatan tersebut tidaklah terlalu aneh. Skenarionya tidak akan sama persis dengan aksi Nazi pada 1941, dalam arti bahwa Jerman akan kembali membunuh orang Yahudi, tetapi Holokaus terjadi karena hal-hal yang bisa kita tetapkan. Cukup banyak faktor tersebut kini kembali terjadi. Di masa mendatang mereka bisa saja bersinergi.

Dalam buku Black Earth, Snyder mengupas peristiwa Holokaus dan memperlihatkan bagaimana, ketika pada 1939 Hitler dan Stalin membagi Eropa Timur ke dalam wilayah Jerman dan Uni Soviet, orang Yahudi menjadi terjebak di wilayah-wilayah itu. Menurut Snyder, bukan kebetulan bahwa justru di sana banyak orang Yahudi kehilangan nyawa.

Holokaus melembak ke wilayah tempat negara-negara telah dibuat lemah, tetapi tidak lebih jauh. Di negara yang struktur politiknya masih berdiri, maka mereka-mereka yang ingin membantu orang Yahudi menjadi tertolong. Di negara-negara itu orang Yahudi yang tewas atau diangkut berjumlah lebih sedikit dibandingkan di negara tempat struktur pemerintah telah dibuat lemah.

Menurut Snyder, itu pula salah satu alasan mengapa pada waktu itu jumlah orang Yahudi yang tewas di Belanda relatif tinggi: walaupun tidak ada anarki dan walaupun instansi-instansi pemerintah masih berjalan, kepala negara dan pemerintah Belanda waktu itu telah minggat sehingga yang berkuasa adalah Jerman.

Menurut Snyder masih ada satu penyebab lain Holokaus yang jarang diangkat, yaitu kepanikan ekologis Hitler. Hitler berkeyakinan bahwasanya pada suatu saat Jerman akan kelaparan sehingga menjadi tugas dia untuk mencaplok tanah negara lain. Tanah subur Ukraina pun dipatok sebagai gudang gandum Jerman.

Dunia Hitler tidak jauh-jauh amat dari dunia kita sekarang ini
Saat ini, runtuhnya struktur negara banyak terjadi. Rusia menyatakan bahwa sesungguhnya Ukraina tidak eksis dan berusaha merontokkan negara itu. Rusia boleh dibilang menggunakan alasan-alasan sama dengan yang dipakai oleh Hitler pada 1930-an, yaitu: wilayah itu dari dulu sudah menjadi bagian dari kami sehingga sesungguhnya sekarang ia milik kami. Contoh lain: pada 2003, AS merontokkan pemerintah Irak tetapi ia tidak menggantikannya dengan alternatif yang layak. Akibatnya bisa kita lihat sekarang, termasuk krisis pengungsi.

Rusia bertekad membangun 'pabrik-pabrik pengungsi' di Suriah dengan maksud menjegal Eropa
Campur tangan Rusia di Suriah dimaksudkan untuk menciptakan arus pengungsi yang besar. Rusia berharap sistem politik Eropa tidak sanggup mengatasinya sehingga sistem akan jeblok ke kanan. Dan itu pula yang menjadi kehendak Rusia soalnya dengan begitu kalangan populis nasional yang menjadi berkuasa, dan itu akan menjadi akhir dari Uni Eropa.

Di Ukraina saja beleid Putin telah menciptakan dua juta pengungsi, padahal mereka itu orang-orang yang berbahasa Rusia, orang-orang yang Rusia berjanji akan menyelamatkannya. Tidak mustahil, menurut Snyder, apabila Rusia lantas menciptakan jutaan pengungsi Arab dengan tujuan membuat Eropa kelimpungan.

Menurut Snyder, persamaan lain antara sekarang dengan Perang Dunia Kedua adalah faktor ekologis. Waktu itu Hitler dibekap kepanikan ekologis. Pada saat ini, perseteruan di Suriah berkelindan dengan perubahan iklim.

'Inti pemikiran Hitler waktu itu ialah bahwa Jerman harus berperang demi mengamankan sumber daya. Di Suriah, konflik terjadi menyusul masa kekeringan selama empat tahun, yang diakibatkan oleh perubahan iklim yang antara lain disebabkan oleh ulah manusia. Gara-gara kekeringan tersebut, para petani memutuskan untuk pindah,' jelas Snyder.

Korban berikut setelah Suriah?
Untuk jangka panjang, Snyder memprediksi kemungkinan pecahnya konflik antara Tiongkok dan Afrika. Snyder melihat adanya persamaan antara Tiongkok masa kini dengan Jerman era 1930-an. Jumlah tanah subur dan sumber daya air Tiongkok boleh dibilang rendah. Angka pertumbuhannya menurun. Tiongkok tengah berupaya mengendalikan sejumlah besar wilayah di Afrika Timur sembari menyewa tanah di Eropa Timur. Konsekuensinya, penduduk Afrika bisa saja diusir oleh Tiongkok -- dengan atau tanpa kekerasan. Atau sebaliknya: Afrika yang menyerang Tiongkok karena alasan lahan.

Menurut Snyder, begitu kita melihat keadaan yang mana suatu negara merasa hakulyakin ia membutuhkan tambahan tanah di luar perbatasannya, kita akan kembali ke suatu keadaan mirip era 1930-an.

Masyarakat sekarang secara etis tidaklah lebih canggih dari masyarakat Eropa era 1930-an. Hitler bermain dengan emosi. Hitler bilang: kami suatu ras dan sebagai ras, agar sintas, kami harus bertempur. Hitler menciptakan rasa takut, rasa takut bahwasanya orang Jerman bisa saja dibuat binasa. Oleh karena itu, Hitler menyerukan agar Jerman mencaplok saja apa yang menjadi milik orang lain. Sekarang ini sentimen tersebut kembali marak.

Pelajaran yang bisa dipetik
Pada 1939 dan 1940, paspor pengungsi Yahudi ditarik, mereka diusir dari negaranya, atau mereka dilarang memasuki negara tempat mereka mencari perlindungan. Negara seperti Slovakia, Cheska, Hungaria, dan Polandia ikut berkontribusi pada keadaan yang menyebabkan orang Yahudi tidak diterima di mana-mana. Kontribusi mereka pada Holokaus memang tidak seperti Jerman, tetapi mereka menjalani Perang Dua Kedua terutama dengan berperan sebagai korban. 'Begitu pada saat ini kembali tercipta arus pengungsi di Eropa, negara-negara itu berkata: "Yang tertimpa ini kami loh." Akan tetapi, bukan mereka korbannya, korbannya ya para pengungsi itu. Apabila negara-negara ini mau belajar lebih banyak dari sejarah 1930-an, reaksi pertama mereka terhadap pengungsi bakal lebih arif.

'Di Cheska para pengungsi ditulisi nomor pada lengan mereka. Setelah Auschwitz itu tidak boleh terjadi lagi di Eropa. Seandai orang tahu sejarah, tidak bakal itu terjadi. Ketidaktahuan inilah yang membuat saya cemas,' ujar Snyder.

Tulisan di atas diturunkan dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme, esai filsuf Belanda Rob Riemen yang mengingatkan terhadap bahaya laten fasisme di Eropa dan menunjuk politikus Geert Wilders sebagai prototipe fasisme masa kini. Untuk info terkini tentang Kekekalan Laten Fasisme pantau kicauan ber-tagar #KekekalanLatenFasisme pada Twitter. Kekekalan Laten Fasisme dapat dipesan pada Pionir Books dan outlet daring pilihan.