30 Maret 2015

Dalil Rob Riemen: Sebut Wilders fasis, supaya kita paham apa yang tengah terjadi

Tidak banyak yang mau mengecap politikus Belanda Geert Wilders seorang fasis. Pasal, bagi banyak kalangan hal itu membangkitkan kenangan kurang sedap dari masa Perang Dunia Kedua. Akan tetapi, menurut filsuf budaya Rob Riemen, bila dirunut dari arti katanya, predikat tersebut justru sangat cocok dikenakan pada Wilders.

Rob Riemen. Foto: Joyce van Belkom.
Filsuf budaya Rob Riemen (1962) adalah pendiri dan direktur Institut Nexus di Tilburg, Belanda. Setelah menyebut politikus Geert Wilders seorang fasis, dia menuai banyak reaksi. Sebagai tanggapan dia menulis sebuah esai berjudul De eeuwige terugkeer van het fascisme atau Kekekalan Laten Fasisme. Foto: Joyce van Belkom.
Apakah Anda menuai banyak reaksi setelah tampil sebagai bintang tamu pada acara berita aktual Nieuwsuur, ketika Anda menyebut Wilders seorang fasis?
Pos-el yang saya terima jumlahnya ratusan. Para pengirimnya seperti merasa lega. Orang senang saya mau mengangkat diskusi tentang fasisme ke luar dari ranah emosionalitas. Saya pakai kata 'fasis' bukan sebagai cacian, tetapi sebagai sebutan objektif. Tujuan saya ialah membuat masyarakat sadar bahwa fasisme tengah mewujud. Misalnya, (acara berita) NOS Journaal pukul delapan menyebut Wilders pemimpin gerakan fasistik di Belanda.
Cuma politik saja yang tumben-tumbennya adem ayem. Sebelumnya ada juga politikus yang datang ke saya, termasuk dari (parpol tengah-kanan) CDA dan VVD, yang bilang: kami tidak bisa sebut Wilders fasis, tetapi kami senang kamu menyebutnya begitu.

Di Internet penampilan Anda mendapat respons yang kurang positif.
Betul. Di situ ada foto saya yang disandingkan sama foto Himmler.

Tidak terlalu mengherankan. Acuan ke Perang Dunia Kedua memang kurang populer.
Saya tidak boleh pakai kata 'fasis'; itu sesuatu yang ditetapkan secara kultural. Di Amerika socialist-lah yang jadi cacian, di kita 'fasis'. Menurut saya, pakailah kata sesuai dengan peruntukannya, supaya suatu fenomena bisa dimengerti. Semua kata juga bisa dijadikan cacian. Untuk lalu berhenti memakai kata itu, itu sungguh bodoh sekali. Saya jelaskan maknanya dan kenapa ia tepat dalam konteks ini.

Apa definisi fasisme, menurut Anda?
Fasisme agak susah diartikan, soalnya di baliknya tidak ada gagasan. Ia senantiasa muncul dalam bentuk yang berbeda. Ia bisa dikenali dari teknik yang dipakai, yang bisa digambarkan sebagai politisasi si manusia-massa kasemat, yang tidak mengakui nilai-nilai rohaniah.

Sepertinya kurang afdal bila Anda menyebut Wilders fasis, tetapi Anda sendiri tidak bisa mendefinisikan 'fasisme'.
Definisi bukan segalanya. Ia adalah fenomena dengan banyak warna. Ciri yang membuatnya bisa dikenali ialah, ia mencuat bila suatu masyarakat dirundung krisis. Ciri lainnya ialah kebencian, caci maki. Dalam buku saya, saya menggambarkan sejarah budaya untuk memperlihatkan dari mana ia berasal.

Kalau begitu, mari kita lihat kemiripannya dengan masa lalu. Wilders dan pendukungnya tidak jalan baris-berbaris sambil memakai seragam, seperti yang terjadi semasa Mussolini.
Setelah Perang Dunia Kedua tidak ada lagi yang menyebut dirinya fasis. Orang fasis juga tidak sebodoh itu. Tidak bakal mereka mau pakai baju kebesaran model begitu lagi. Selain itu, persamaannya cukup banyak. Yang pasti, yang menakhodai gerakan adalah orang kuat yang mendayagunakan kesakithatian.

Fasisme Italia anti-liberal. Akan tetapi, Wilders justru membela hak kaum homoseksual.
Mussolini mula-mula juga mengusung suatu agenda kiri. Contoh, dia menggalakkan hak pilih perempuan. Di Italia, negara totaliter datang kemudian. Wilders menyerukan apa yang orang ingin dengar. Begitu masyarakat ribut soal kekejaman terhadap binatang, dia mengusulkan animal cops. Yang kalau perlu dia mentahkan kembali. Apa yang dikatakan oleh Wilders tidak relevan, programnya penuh dusta.

Fasisme merupakan ideologi yang bengis. Apakah Wilders menggunakan kekerasan?
Untungnya kekerasan tersebut belum ada. Kamu harus membandingkan fasisme masa kini Wilders dengan periode awal fasisme abad lalu, bukan dengan periode akhirnya. Mussolini sendiri tidak menggunakan kekerasan, walaupun dia bertanggung jawab atasnya. Saya sendiri juga kurang yakin Wilders akan atau ingin menyakiti orang lain. Namun, dia menyebar kebencian, dia mencaci, dia menunjuk kambing hitam. Hal itu menjadikan orang frustrasi. Hal itu merupakan pesemaian kekerasan dan membangkitkan agresi. Begitu suatu masyarakat diresapi dengan kebencian dan agresi yang cukup, sahabat dekat pun bisa membenci kamu. Lihat saja perang di Yugoslavia. Sifat manusia tidak berubah. Sifat kita itu ingin membidas, ingin membunuh. Beberapa tahun belakangan ini kita bertambah agresif. Lihat saja school killings.

Justru karena banyak orang mempertalikan fasisme dengan kekerasan, dan kekerasan tidak terlihat pada Wilders, penyebutan Anda bahwa Wilders seorang fasis jadi seperti mengada-ada.
Bila dibandingkan dengan tahun dua-puluhan dan tiga-puluhan abad lalu, memang ada hal-hal yang timpang, tetapi bagi saya itu tidak terlalu penting. Bila kamu baru menyebutnya fasisme setelah ia jadi bengis, maka sudah terlambat. Dan Wilders boleh jadi tidak menggunakan kekerasan, tetapi dia menggalakkannya. Lihat saja pernyataan dia tentang harus dikerahkannya tentara ke kota Gouda untuk mengatasi 'orang-orang Maroko resek itu'.

Sekitar satu setengah juta pemilih sepertinya setuju sama itu.
Pemilih Wilders merupakan korban. Dia tidak akan menyelesaikan apa pun. Pada dasarnya, fasisme tidak pernah memberikan sumbangsih kepada apa pun juga. Ia merupakan politik kehampaan ajek. Wilders mana peduli sama kebebasan, atau sama mazhab Yahudi-Nasrani-humanisme.

Masa? Bukannya dia dengan tegas justru mendukung mazhab tersebut?
Mazhab Yahudi-Nasrani-humanisme yang baik meninggikan bangsa. Wilders tidak ingin meninggikan massa, dia ingin menguasainya. Dia menjalankan demagogi, dia mencari kambing hitam, dia berdusta dalam programnya. Itu justru menjadikan dia anti-demokrat yang sejati.

Bila bukan mazhab Yahudi-Nasrani-humanisme, apa dong yang dia galakkan?
Wilders cuma mengincar satu hal: kekuasaan. Wilders sama siapa pun tidak berani berdebat. Dan di Majelis Rendah dia berdebat bukan dengan memakai argumen.

Lalu begitu dia memegang kekuasaan tersebut?
Dia ingin lebih banyak lagi kekuasaan.

Jadi, menurut Anda, satu setengah juta pemilih terkecoh sama dia?
Wilders menjalankan politik dusta abadi. Tangan kanan dia, Martin Bosma, menyebut Hitler seorang 'sosialis'. Perhatikan, tanpa awalan 'nasional'. Hitler adalah orang kiri, kata Bosma. Dengan dalil tersebut, Bosma jadi bisa menyalahkan kiri atas semuanya. Media, yang menjadi mesin propaganda Wilders, menyiarkan hal tersebut tanpa banyak komentar. Banyak pembuat program acara lebih mementingkan rating ketimbang kualitas. Atau mereka terlalu takut untuk mengemukakan kritik terhadap Wilders. Kritik saya, misalnya. Yang mereka sebut cerita yang kelewat timpang. Karena tidak ada suara PVV-nya.

Pemilih Wilders sangat memprihatinkan masalah imigrasi dan integrasi. Bukankah wajar apabila Wilders menekankan dua hal tersebut?
Imigrasi dan integrasi bukan masalah terbesar. Secara menyeluruh, Wilders tidak memperhatikan krisis keuangan, krisis lingkungan hidup, krisis peradaban, globalisasi, buruknya pendidikan. Bagi peradaban kita fundamentalisme pasar lebih parah ketimbang fundamentalisme Islam.

Jadi, visi parpol lainnya lebih mumpuni?
Cukup memalukan dan mencemaskan sebetulnya bahwa kabinet ingin meyakinkan kita bahwa penghematan sebesar 18 miliar euro bakal mengatasi semua masalah itu. Kalau tidak punya visi, kamu ikut mencelakakan bangsa. Politikus cuma peduli sama pol Maurice de Hond. Selain itu, VVD dan CDA menjalankan politik burung unta, karena mereka menafikan adanya sesuatu yang tidak beres dengan konstruksi toleransi PVV. Hasilnya, seorang penjual kecap bisa menjadi orang yang berpengaruh. Mereka membuat kesalahan yang sama yang dibuat oleh kalangan konservatif pada tahun dua-puluhan: waktu itu mereka, pada awalnya, mengira bisa membendung gerakan fasistik, dengan anggapan bahwa hal itu akan menawar bahayanya.

Jadi, apa yang harus dilakukan oleh parpol lainnya?
Pemerintah seperti kehilangan hubungan dengan masyarakat dan buta akan masalah-masalah sesungguhnya. Dan yang menarik ialah bahwa dari sejarah kita tahu bahwa begitu sosial demokrat gagal, seperti yang terjadi sekarang di hampir seluruh Eropa, populisme dan fasisme kembali mendapat kesempatan. Nihilisme dan ketiadaan nilai-nilai rohaniah merupakan masalah terbesar kita, dan semua krisis yang terjadi, terjadi sebagai akibat dari krisis peradaban itu. Apabila kamu membiarkan debat didominasi sama pokok pikiran Wilders, kita kehilangan waktu yang berharga untuk mengatasi masalah-masalah sesungguhnya, yang ada maupun yang muncul.
Dan keadaannya tidak harus seperti ini. Sebagai optimis sejati, saya yakin akan itu. Banyak yang bisa kita capai cukup dengan mengakui bahwasanya inflasi nilai yang paling afdal terjadi apabila uang dianggap barang terpenting. Akan tetapi, wawasan seperti itu juga mensyaratkan adanya keberanian tertentu dari kalangan elite, keberanian yang saat ini sepertinya masih absen.

Ada juga yang memandang populisme sebagai cara untuk menjembatani kesenjangan antara politik dan masyarakat.
Mario Vargas Llosa pernah menjawab pertanyaan itu dengan apik: yang namanya 'sedikit populisme' itu tidak ada, seperti halnya tidak ada yang namanya 'sedikit hamil'. Artinya, jangan sekali-kali ambil jalan itu, soalnya tidak ada jalan balik. Saat ini, VVD, PvdA dan CDA adalah parpol-parpol populistik, karena mereka tidak mempunyai gagasan. Lihat saja (dokumenter) De Wouter Tapes: tim kampanye PvdA sendiri bingung mengartikan asas PvdA. Sekarang ini, para sosial demokrat harus meng-Google kata 'solidaritas' untuk mencari tahu artinya.

Apakah kebetulan bahwa menurut Anda fasisme muncul justru pada saat ini?
Tidak. Kita telah mendarat dalam suatu masyarakat kits. Norak, materialistis. Setiap orang wajib memiliki barang terbaru. Orang tidak yakin akan jati dirinya. 'Asyik' menjadi tolok ukur untuk segalanya. Pendidikan dan media telah merosot.

Dan politikus-politikus ternama diancam.
Menurut hemat saya, fundamentalisme muslim adalah aib. Setiap agama bisa menjadi fundamentalistis, dan itu harus diperangi. Akan tetapi, lakukan dulu sesuatu terhadap nihilisme dan hilangnya nilai-nilai rohaniah, yang sudah berujung dengan krisis peradaban kita. Dan jangan samakan suatu agama dengan kalangan fundamentalisnya.

Prinsip Anda?
Saya menggalakkan budaya dan pelestarian nilai-nilai rohaniah, karena dua hal tersebut menjadi cermin manusia. Apabila orang fasis melihat dirinya dalam cermin itu, dia akan melihat kehampaannya sendiri. Oleh karena itu, mereka tidak pernah berbicara soal budaya. Budaya adalah ikhtiar masyarakat yang beradab.

Sumber: robriemen.nl.

Baca informasi lebih lanjut tentang Kekekalan Laten Fasisme dan pantau juga kicauan ber-tagar #KekekalanLatenFasisme.

11 Maret 2015

Ini Dia: Rob Riemen

Dalam rangka Kekekalan Laten Fasisme, yakni edisi bahasa Indonesia buku bertema filsafat yang berjudul asli De eeuwige terugkeer van het fascisme, kita akan berkenalan lebih jauh dengan pengarangnya: filsuf budaya dan pendiri wadah-pemikir bergengsi Institut Nexus, Rob Riemen (1962).

Ayah Riemen berasal dari keluarga miskin yang sejak umur empat belas tahun sudah ikut mencari nafkah dan di kemudian hari merangkak naik ke posisi ketua serikat buruh. Ibu Riemen besar di Indonesia, yang waktu itu masih jajahan Belanda, dan selama Perang Dunia Kedua sempat mendekam di kamp konsentrasi Jepang.

Riemen anak sulung dari enam bersaudara dan dia tumbuh dalam keluarga miskin Katolik yang berpaham liberal. Ibunya berpengaruh kuat terhadap masa kecilnya, dan kedua orang tuanya selalu mewanti-wanti tiga hal sebagai berikut:
  1. Sering kali, hidup tidak lucu, camkan itu.
  2. Terima kenyataan bahwa kamu harus memikul tanggung jawab.
  3. Bila hidup sedang tidak lucu, tetapi kamu memikul tanggung jawabmu, jangan pernah menyerah, jangan berkompromi, perbuat apa yg harus kamu perbuat.
Tiga wejangan tersebut sepertinya menjelaskan mengapa, pada 2010, Riemen blakblakan mengecap politikus Belanda Geert Wilders sebagai fasis, dan gerakan Wilders, yaitu PVV atau Partai untuk Kebebasan, sebagai fasistik, pada saat semua orang lain di Belanda hanya berdiam diri.

Orang tua Riemen tidak sempat mengenyam pendidikan dan impian mereka ialah untuk melihat anak-anak mereka duduk di bangku kuliah. Akan tetapi, pada sekolah menengah Riemen justru dua kali tinggal kelas karena dia merasa kurang betah dengan sistem pendidikan yang dijalankan, tetapi pada akhirnya dia berhasil juga masuk perguruan tinggi. Begitu duduk di bangku kuliah, Riemen malah menuntut ilmu sampai sepuluh tahun lamanya. Bagi dia, masa tersebut sesungguhnya masih terlalu singkat. Selama periode itu, dia cuma melakukan satu hal: membaca.

Satu buku yang sangat membekas dalam sanubarinya ialah The Magic Mountain karangan Thomas Mann. Dari situ bahan bacaan dia merambah ke Schopenhauer, Nietzsche, Goethe – para pemikir bermazhab humanisme Eropa. Filsafat Riemen pada intinya berakar pada mazhab tersebut.

Baca informasi lebih lanjut tentang buku ini dan pantau juga kicauan ber-tagar #KekekalanLatenFasisme.