Ayah Riemen berasal dari keluarga miskin yang sejak umur empat belas tahun sudah ikut mencari nafkah dan di kemudian hari merangkak naik ke posisi ketua serikat buruh. Ibu Riemen besar di Indonesia, yang waktu itu masih jajahan Belanda, dan selama Perang Dunia Kedua sempat mendekam di kamp konsentrasi Jepang.
Riemen anak sulung dari enam bersaudara dan dia tumbuh dalam keluarga miskin Katolik yang berpaham liberal. Ibunya berpengaruh kuat terhadap masa kecilnya, dan kedua orang tuanya selalu mewanti-wanti tiga hal sebagai berikut:
- Sering kali, hidup tidak lucu, camkan itu.
- Terima kenyataan bahwa kamu harus memikul tanggung jawab.
- Bila hidup sedang tidak lucu, tetapi kamu memikul tanggung jawabmu, jangan pernah menyerah, jangan berkompromi, perbuat apa yg harus kamu perbuat.
Orang tua Riemen tidak sempat mengenyam pendidikan dan impian mereka ialah untuk melihat anak-anak mereka duduk di bangku kuliah. Akan tetapi, pada sekolah menengah Riemen justru dua kali tinggal kelas karena dia merasa kurang betah dengan sistem pendidikan yang dijalankan, tetapi pada akhirnya dia berhasil juga masuk perguruan tinggi. Begitu duduk di bangku kuliah, Riemen malah menuntut ilmu sampai sepuluh tahun lamanya. Bagi dia, masa tersebut sesungguhnya masih terlalu singkat. Selama periode itu, dia cuma melakukan satu hal: membaca.
Satu buku yang sangat membekas dalam sanubarinya ialah The Magic Mountain karangan Thomas Mann. Dari situ bahan bacaan dia merambah ke Schopenhauer, Nietzsche, Goethe – para pemikir bermazhab humanisme Eropa. Filsafat Riemen pada intinya berakar pada mazhab tersebut.
Baca informasi lebih lanjut tentang buku ini dan pantau juga kicauan ber-tagar #KekekalanLatenFasisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar