23 Januari 2017

Film: 'The Day the Earth Stood Still'

The Day the Earth Stood Still (2008)
Film metafisik dengan plot fiksi ilmiah.
The Day the Earth Stood Still (2008) bercerita tentang perubahan pola pikir egoistis ke pola pikir altruistis pada diri manusia. Perubahan tersebut sesungguhnya inti semua ajaran agama dan bersifat metafisik. Konon, dalam hidup, ia ialah hal tersulit untuk dicapai lantaran kiblat pola pikir egoistis manusia kepada ranah fisik: dari sudut pandang pola pikir egoistis ranah metafisik ialah sesuatu yang sifatnya mistik, sesuatu yang terselubung oleh tabir yang hitam pekat.

Menurut Plato, tujuan terpenting dalam hidup ialah membelah tabir tersebut sehingga kenyataan yang hakiki menjadi diinsafi. Namun, seperti disebut dalam Model E-I, selain terpenting ia sekaligus hal tersulit untuk dicapai oleh manusia karena ia mensyaratkan bahwa manusia sudah menuntaskan seluruh hasrat egoistisnya (seturut Barisan Hasrat) terkecuali hasrat akan pengetahuan. Hasrat tersebut lantas yang memotori pencarian manusia akan kenyataan yang hakiki.

Hasrat akan pengetahuan adalah hasrat egoistis tertinggi manusia, yang dalam film dilambangkan oleh Profesor Barnhardt (John Cleese), ilmuwan peraih Hadiah Nobel dalam bidang altruisme biologis. Hasrat itu menjadi hasrat tertinggi karena dalam Gua Plato Model E-I letaknya berbatasan langsung dengan tabir gelap itu. Perhatikan bahwa dalam film, Helen Benson (Jennifer Connelly) menyebut Profesor Barnhardt, dan bukan Menhan AS Regina Jackson (Kathy Bates), sebagai pemimpin manusia yang sesungguhnya. Artinya, hasrat akan pengetahuan lebih tinggi daripada hasrat akan kekuasaan.

Akan tetapi, pada saat seseorang tengah menjalani hasrat akan pengetahuan, untuk dapat sampai menginsafi kenyataan hakiki, yaitu dengan dibelahnya tabir itu, dia harus merelakan masa lalu dan masa depan sehingga secara murni meninggali masa kini. Dengan kata lain, dia harus merelakan hidupnya yang fana dan pada saat itu menjadi sadar akan kekekalannya. (Pola pikirnya meninggalkan ranah fisik dan mendiami ranah metafisik dan segala hal pada ranah itu pun menjadi jelas.)

Itulah kenyataan yang hakiki itu. (Tabir telah terbelah.)

Proses metafisik seseorang merelakan kefanaannya itu dicapai dengan, ibaratnya, melintasi ngarai yang gelap pekat, dan kesadaran akan kekekalan dia itu ibarat timbulnya cahaya terang di ujung ngarai, sebagai pertanda akan keselamatan dia. Dalam film, contoh yang dipakai bukan ngarai, tetapi tepi jurang: 'Only at the precipice do we evolve,' ujar Profesor Barnhardt. 'At the precipice we change,' ujar Klaatu (Keanu Reeves). Manusia berubah/ berevolusi (menjadi berpola pikir altruistis) pada saat dia berada di tepi jurang (atau ngarai yang gelap pekat).

Tidak bisa tidak, perjalanan ke tepi jurang itu adalah sesuatu yang harus dijalani oleh setiap insan secara pribadi, tetapi, setidaknya, pengetahuan tentang adanya jurang itu mesti disiarkan semenjak dini kepada umum dan dijadikan inti pendidikan pada sekolah. Dengan demikian negara sebagai penyelenggara sistem pendidikan dapat memusatkan perhatian pada pemajuan Barisan Hasrat bagi seluruh komponen bangsa sehingga, dengan demikian, bangsa akan selalu memaju alih-alih bergerak ke belakang pada Barisan Hasrat dan, dengan demikian, hal-hal regresif seperti fasisme bisa dihindari.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 23 Januari 2017


Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme
Tulisan di atas diturunkan dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen yang diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

15 Januari 2017

9 Cara Iptek Melacak Seni Palsu

Pola retakan pada lukisan 'Mona Lisa'.
Pola retakan pada lukisan 'Mona Lisa'.
Saban tahun transaksi jual beli seni mencapai kurang lebih $ 64 miliar. Masalahnya, 2 sampai 50 persen dari seni yang diperjualbelikan itu diperkirakan palsu. Akan tetapi, Iptek ternyata bisa membantu menetapkan mana karya yang asli, dan mana yang palsu.

1. Menafsirkan Pola Retakan

Pola retakan (craquelure)—jaringan retak halus pada permukaan lukisan berumur tua—pada setiap karya seni sifatnya khas. Selama berabad-abad lamanya, pemalsu meniru efek tersebut dengan memakai pelarut, sketsa pensil, formaldehida, dan lilin lebah beku. (Misalnya, pemalsu Han van Meegeren [1889-1947] pernah menuakan sebuah karya Vermeer palsu dengan cara memanggangnya di dalam oven piza.) Banyak museum yang sekarang memiliki catatan lengkap tentang pola retakan lukisan, dan ilmuwan kini menggunakan Penyantiran Transformasi Reflektans untuk menciptakan 'peta topografis' retakan pada permukaan lukisan.

2. Mengendus Aspalan dengan Debu Nuklir

Antara 1945 dan 1963, yaitu tahun berlakunya traktat Pelarangan Uji Coba Nuklir, terjadi kurang lebih 2000 uji coba bom nuklir. Ledakan-ledakan tersebut membanjiri planet kita dengan isotop radioaktif—terutama sesium-137, karbon-14, dan strontium-90—yang lantas mengontaminasi tanah di seluruh belahan dunia, termasuk tanaman rami dan minyak biji rami yang menjadi bahan cat modern. Hasilnya? Sebagian besar lukisan yang dibuat pasca-1945 memuat isotop tersebut. Dengan bantuan spektrometer massa, ilmuwan kini bisa menguji sebuah lukisan guna menyelisik apakah kandungan atom radioaktifnya berada dalam takaran yang kelewat tinggi. Teknik tersebut, misalnya, pernah membuktikan bahwa sebuah karya Fernand Léger yang konon dilukis pada 1913, ternyata aspalan yang dibuat bertahun-tahun setelah orangnya mati pada 1955.

3. Cincin Pohon Tidak Berbohong

Seniman seperti Rembrandt dan Holbein gemar melukis pada panel kayu. Panel kayu mengandung apa yang disebut cincin pohon. Ketebalan cincin pohon ditentukan oleh cuaca. Pada saat cuaca bagus cincin pohon yang terbentuk berukuran tebal. Kala cuaca buruk cincin pohon menyempit. Lewat metode dendrokronologi ilmuwan bisa menentukan keaslian sebuah karya seni dengan membandingkan pola ketebalan cincin terhadap sebuah sampel pohon, lalu menetapkan usia dan asal kayunya.

4. Menerawang Lukisan dengan Radiasi Inframerah

Pelukis lazimnya membuat gambar rancangan terlebih dahulu pada kanvas sebelum mulai melukis. Pakar bisa menerawang coretan-coretan itu dengan bantuan inframerah reflektografi, suatu teknik yang menembakkan riak-gelombang radiasi ke sebuah karya seni untuk menerawang gambar yang tersembunyi di bawah lapisan cat. Pada 1954, sebuah tim sejarawan seni mendapati adanya salinan kedua lukisan Francesco Francia Perawan Maria dan Bayi dengan Malaikat. Hal itu berbuntut dengan kontroversi yang awet selama puluhan tahun, yang berujung dengan kesimpulan bahwa salinan di National Gallery, London, merupakan karya aspalan abad ke-19 dan bahwa versi yang kini disimpan di Carnegie Museum of Art, Pittsburgh, adalah karya asli. Hal itu terungkap pada 2009 berkat bantuan uji reflektogram inframerah. Si pemalsu mensketsa lukisan di National Gallery dengan grafit, bahan yang semasa Francia belum tersedia.

5. Menembus Permukaan dengan Sinar-X

Sinar-x ternyata sanggup mengangkat tabir masa lalu sebuah lukisan. Selama bertahun-tahun, kurator Fogg Art Museum, Cambridge, Amerika Serikat, meyakini bahwa Potret Seorang Perempuan adalah hasil karya Francisco de Goya. Akan tetapi, pada 1954, sinar-x mengungkapkan adanya potret lain yang tersembunyi di bawah permukaan lukisan itu. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa lukisan yang terbenam itu mengandung cat putih zink—pigmen yang pada masa de Goya belum tersedia.

6. Mengendus Pigmen Ganjil Menggunakan Laser

Pada 1923, pemalsu Han van Meegeren memalsukan lukisan Frans Hals abad ke-17 Si Kavalier yang Tergelak dengan meyakinkan. Kalangan pakar baru pada kemudian hari menyadari bahwa mereka ternyata terkecoh ketika, dengan menggunakan difraksi sinar-x, mereka mendapati bahwa lukisan itu mengandung cat ultramarin sintetis, sebuah pigmen yang baru ditemukan 162 tahun setelah Hals meninggal. Kalangan sejarawan seni zaman sekarang menggunakan spektroskopi Raman untuk menemukan pigmen-pigmen ganjil. (Spektroskop Raman menembakkan laser ke pigmen. Begitu cahaya terhambur dari lukisan, mesin membaca cap-jari kimiawi khas masing-masing pigmen.)

7. Mengindra Aspalan Menggunakan Cahaya UV

Pada 1989, FBI menangkap Robert Trotter karena memalsukan karya pelukis abad ke-19 John Haberle. FBI berhasil menciduk Trotter berkat bantuan cahaya UV. Pasal, siraman cahaya UV menjadikan pernis pada lukisan tua bercahaya. Akan tetapi, lukisan berusia muda berpendar lebih sedikit, dan acap memancarkan pijar secara sangat seragam. Taktik Trotter adalah, dia menyaput karya-karya aspalan dia dengan pernis kopal yang, di bawah cahaya UV, menghasilkan kemilau yang tampak meyakinkan di mata seorang tenaga amatir, tetapi bagi seorang profesional terlihat kelewat seragam untuk lukisan yang sudah berumur 100 tahun.

8. Gali Bakat Terpendam Kamu di Bidang Keresersean

Sebelum ada mesin-mesin canggih yang bisa melacak karya palsu, kurator menggunakan metode Morelli. Giovanni Morelli adalah seorang kritikus seni pada abad ke-19 asal Italia yang memiliki bakat khusus menetapkan autentisitas sebuah lukisan hanya dengan menggunakan mata telanjang. Dia mengetahui bahwa seniman mengikuti pakem tertentu kala melukis bagian yang kecil-kecil seperti kuping, mata atau kuku, dan dia meyakini bahwa apabila seorang kritikus menghayati kebiasaan-kebiasaan seorang seniman dalam melukis bagian tubuh tertentu seperti itu, dia bisa menentukan orang yang memegang kuas. (Morelli kebetulan juga bergelar dokter dan dia meyakini bahwa menentukan sebuah karya seni lewat bagian yang kecil-kecil ibarat mendiagnosis penyakit.) Morelli mengenal paman Arthur Conan Doyle dan bisa jadi kemampuan Morelli untuk melacak petunjuk-petunjuk penting yang tampak remeh lantas mengilhami Doyle untuk menciptakan tokoh Sherlock Holmes yang terkenal itu.

9. Hati-Hati: Salah Eja Bisa Berakibat Fatal

Selama 17 tahun di bengkel halaman belakang rumahnya Shaun Greenhalgh memalsukan apa saja, mulai dari pahatan karya Gauguin sampai patung-patung Mesir berusia 3300 tahun. Hebatnya lagi, dia menuakan karya seni 'purbakala'-nya itu cukup dengan bantuan teh dan lempung. Dia sukses mengadali berjibun pecinta seni dan museum hingga pada 2006 Scotland Yard menciduknya. Kesalahan dia? Kalangan pakar museum-museum di Inggris mendapati bahwa tiga dari naskah kuneiform dia bertaburan salah eja. (Akan tetapi, Museum Victoria and Albert rupanya cukup terkesan dengan karya-karya aspalan Greenhalgh: pada 2010, karya-karya dia diikutsertakan dalam sebuah pameran yang diadakan oleh mereka.)

Bonus: Yang Barangkali Belum Kamu Tahu tentang Michelangelo

Michelangelo ternyata mengawali kariernya sebagai pemalsu seni. Pada 1496, pada usia 20 tahun, dia memalsukan patung Cupid, menguburnya di dalam tanah asam untuk menjadikannya tampak tua, dan lantas menjualnya sebagai 'benda kuno'. Saking canggih aspalannya, ketika si pembeli tahu bahwa karya itu palsu, orangnya tidak menjadi gusar. Malah, Michelangelo boleh tetap menyimpan bayarannya dan kabar yang beredar tentang penipuannya justru melejitkan kariernya.

Sumber: MentalFloss.com


Palsu. Akan terbit.
Palsu. Akan terbit.
Tulisan di atas diturunkan dalam rangka akan terbitnya Palsu, edisi bahasa Indonesia thriller novelis Belanda Elvin Post. Ikuti perkembangannya pada akun Twitter Pionir Books (@PionirBooks) lewat tagar #PalsuNovelElvinPost.

9 Januari 2017

Ikhtiar Bernama Fasisme

Fasisme adalah ikhtiar untuk mencapai maksud tertentu, yang bisa saja berupa peralihan bentuk pemerintahan dari, misalnya, republik menjadi autokrasi. Namun, ia ikhtiar yang bengkok karena cara ia bekerja ialah dengan menyebabkan masyarakat mengalami kemunduran secara rohaniah: masyarakat yang semula secara rohaniah memiliki wawasan progresif, yaitu hendak meraih pengetahuan, berbalik menjadi berwawasan regresif, yaitu dibekap oleh hasrat untuk bertahan hidup lantaran dibayangi ancaman. Ancaman itu bisa riil, bisa juga dipersepsikan. Ancaman itu pula menjadi komoditas fasisme.

Menurut Progresi Hasrat, pengetahuan adalah hasrat egoistis paling tinggi sementara kesintasan adalah hasrat egoistis yang paling rendah. Hasrat-hasrat itu ialah sifat manusia dan oleh karenya tidak baik maupun buruk (tetapi sekadar manusiawi). Yang penting adalah mereka diinsafi dan dipahami. (Catatan: lembaga peradaban modern memasabodohkan hal itu sehingga manusia dikondisikan untuk hidup dalam ketidaktahuan.)

Fasisme lekat dengan kekerasan karena menempati ranah hasrat terendah itu, yaitu hasrat untuk bertahan hidup. Pada ranah itu kekerasan (bahasa tubuh) menjadi sarana pengungkapan yang afdal. Fasisme secara kebetulan juga diketahui tidak sungkan melakukan pembakaran buku (repositori pengetahuan).

Setelah maksud tercapai dan ikhtiar bernama fasisme itu bisa disimpan kembali di dalam kotak, akankah apa pun yang tercipta dalam rangka maksud itu berjalan langgeng? Jawabannya: ya, apabila sesuatu yang tercipta itu mampu mengelola hasrat egoistis manusia secara adil dan bijaksana. Bila tidak, jawabannya: tidak, karena manusia secara naluriah ingin memuliakan dirinya secara rohaniah.

Fasisme alat yang berbahaya lebih-lebih karena ia mensyaratkan berlangsungnya regresi rohaniah pada manusia. Sebaiknya, sekali-kali ia jangan dipakai.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 9 Januari 2017


Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme
Tulisan di atas ditulis dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen yang diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)