'Cornflower', bunga simbol nostalgia Nazi. |
Rob Riemen adalah orang yang sangat
serius. Paling tidak itu kesan yang saya dapat dari korespondensi saya dengan
dia dalam rangka penerbitan edisi bahasa Indonesia esai dia, Kekekalan Laten Fasisme.
Penelusuran
pada internet akan memunculkan sejumlah informasi tentang Rob Riemen, yang antara lain menyatakan bahwa dia menghabiskan masa
kuliahnya selama sepuluh tahun melulu dengan membaca, membaca, dan membaca. Barangkali
dia adalah satu-satunya di Belanda yang menghabiskan masa kuliahnya dengan cara
itu, dan mungkin itu pula yang bisa menjelaskan mengapa pada 2010 dia menjadi
satu-satunya di Belanda yang secara terang-terangan menyebut politikus Geert Wilders fasistik.
Seperti
pengarangnya, Kekekalan Laten Fasisme
adalah buku yang padat dan serius sehingga walaupun membacanya berulang-ulang
ada sesuatu yang baru yang didapat. Misalnya, baru setelah buku terbit saya
menjadi sadar bahwa secara tematik isi buku ternyata mengikuti alur puisi September 1, 1939 karya W.H. Auden, yang dikutip oleh pengarang
pada awal buku. Atau bahwa warna sampul buku ternyata menyerupai warna biru
‘cornflower’, bunga yang menjadi simbol nostalgia Nazi.
Fasisme
adalah suatu drama tentang manusia, sementara manusia adalah makhluk yang digerakkan
oleh hasrat. Sehingga fasisme sesungguhnya adalah drama yang digerakkan oleh
hasrat.
Persoalannya,
di mana-mana sistem pendidikan tidak ada yang membekali para peserta didiknya
untuk mencapai pencerahan; yang dilakukan oleh sistem pendidikan sekarang ini
hanyalah menyiapkan para peserta didiknya untuk suatu masa depan sebagai aset
bisnis. Manusia yang dihasilkan oleh sistem pendidikan yang demikian kesulitan
memahami fasisme karena manusia yang demikian berusaha untuk menjelaskan
fasisme bukan berdasarkan pengetahuan tentang dirinya sebagai manusia, tetapi
berdasarkan pengetahuan tentang… pengetahuan, yaitu hal ihwal yang sudah
dibekalkan kepada dia oleh sistem pendidikan untuk masa depannya selaku aset
bisnis.
Sistem
pendidikan saat ini sesungguhnya mengkhianat manusia.
Fasisme
adalah suatu keadaan tempat Hasrat akan Pengendalian Kebutuhan Hidup dan
Hasrat akan Penghimpunan Kebutuhan Hidup mengacu mundur kepada Hasrat akan Pemerolehan Kebutuhan Hidup,
alih-alih mengacu ke depan kepada Hasrat
akan Pencerahan.
Dengan
kata lain: Kekuasaan dan Kekayaan mengabdikan diri kepada Kesintasan, alih-alih
kepada Pengetahuan.
Fasisme,
dengan demikian, dapat digambarkan sebagai suatu keadaan tempat partai politik
mengajak dunia usaha dan orang kebanyakan untuk mengadopsi suatu pola-pikir
yang mengedepankan urusan perut. Untuk mengadopsi hukum rimba—alih-alih
mengedepankan nalar.
Oleh
karena itu, desa dalam cerita kita tadi yang pada awalnya sentosa pun berubah
kisruh. Pandangan hidup yang semula diambil dari sungai yang jernih kini
ditimba dari sumur yang keruh. Akibatnya, manusia kian diperbudak oleh
hasrat-hasratnya. Hasrat-hasrat yang merantai manusia di dalam Gua Plato.
Rob Riemen menyalahkan para elite,
yaitu para cendekiawan, partai politik, dan dunia usaha. Mereka telah
mengkhianat orang kebanyakan dengan cara menyempitkan kesadaran orang
kebanyakan. Kesadaran yang sempit adalah prasyarat fasisme. Jalan keluar yang
ditawarkan oleh Rob Riemen adalah:
kembangkan kesadaran, yaitu dengan cara kembali mencintai hidup. Hanya dengan
begitu kita dapat menyiasati fasisme.
Laurens Sipahelut
Tangerang, 31 Juli 2016
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen. |
- Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
- Jakarta Barat (Trisakti)
- Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
- Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
- Tangerang Selatan (BSD)
- Tangerang (Tangcity Mall)
- Bandung (BIP)
- Bekasi (Bekasi CyberPark)
- Depok (Margo City)
- Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
- Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
- Denpasar (LIBBI Denpasar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar