— ygreck (@ygreck) 15 juli 2016
Pada 14 Juli 2016, di Nice, Prancis, tidak sampai 250
hari setelah Serangan Paris, Mohamed
Lahouaiej Bouhlel, mengemudikan sebuah truk gandeng yang dia
tabrak-tabrakkan ke kerumunan orang yang tengah merayakan Hari Nasional Prancis.
Perbuatannya menelan 84 korban jiwa.
Sebagai tanggapan terhadap kejadian tersebut, yang sekarang
dikenal sebagai Serangan Nice, Presiden Prancis François Hollande berjanji akan melakukan pembalasan. Perdana
Menteri Inggris Theresa May dan Kanselir
Jerman Angela Merkel seperti menimpali
pernyataan Hollande tersebut ketika menyatakan
bahwa mereka akan berjuang bahu-membahu dengan Prancis dalam menghadapi terorisme.
May juga menegaskan bahwa apabila kejadian
di Nice ternyata tindakan teror, Inggris harus melipatgandakan 'usaha untuk mengalahkan
pembunuh-pembunuh keji yang hendak menghancurkan pandangan hidup kami'. Simpati
serupa mengalir masuk dari Barat maupun Timur (termasuk Amerika Serikat, India,
Belgia, Kanada, Australia, Indonesia, Tiongkok, Turki, dan Selandia Baru).
Sementara itu, 1400 km utara dari Nice, di Aarhus,
Denmark, sejumlah petugas polisi mengambil pendekatan yang bertolak belakang
dengan retorika para pemimpin dunia terkait terorisme dan aksi pemberantasannya
sehingga, mungkin karena melawan pakem yang sudah berterima luas itu, menjadi berkesan
tidak lazim, yaitu mereka justru merangkul para pemuda yang menjadi korban radikalisme.
Pendekatan itu, yang kini disebut model Aarhus, dikisahkan dalam tulisan yang
dapat dibaca di sini.
Dalam model Aarhus, warga kota yang memutuskan untuk
pergi ke Suriah dijamin akan diterima kembali di kota itu: mereka akan mendapatkan
bantuan dalam mencari sekolah, bantuan mencari tempat tinggal, dan bantuan konseling.
Kalangan akademisi sekarang mulai meneliti strategi yang dijalankan oleh kepolisian
Aarhus itu, yang notabene juga pernah dipakai oleh Martin Luther King Jr. dan Mahatma
Gandhi. Yang diketahui sejauh ini ialah bahwa ada hubungan timbal balik yang
erat antara perendahan (humiliation) dan
pencarian akan suatu ideologi ekstrem.
Setelah Serangan Paris terjadi pada pertengahan November
2015, saya membuat tulisan mengenai hubungan timbal balik antara penolakan dan
tindakan ekstrem, yang saya kirimkan ke sebuah media cetak tetapi tidak pernah dimuat.
Tulisan saya itu dapat dibaca di bawah ini:
==========
Serangan Paris dan Nilai-Nilai Universal Obama
Laurens Sipahelut
Aktor Jim Carrey pernah menggambarkan depresi sebagai suatu keputusasaan tingkat rendah yang berlangsung terus-menerus, yang adalah penggambaran yang sangat tepat. Walaupun bertingkat rendah keputusasaan tersebut membajak seluruh alam pikiran sampai-sampai yang bisa dipikirkan hanyalah bagaimana caranya kita bisa terlepas dari perasaan itu. Tidak ada lagi yang terasa nikmat atau mengasyikkan, dan perasaan muram itu pun hanya bisa diubah menjadi senang apabila yang dibayangkan adalah kematian, yaitu sebagai satu-satunya jalan keluar dari keputusasaan tersebut.
Laurens Sipahelut
Aktor Jim Carrey pernah menggambarkan depresi sebagai suatu keputusasaan tingkat rendah yang berlangsung terus-menerus, yang adalah penggambaran yang sangat tepat. Walaupun bertingkat rendah keputusasaan tersebut membajak seluruh alam pikiran sampai-sampai yang bisa dipikirkan hanyalah bagaimana caranya kita bisa terlepas dari perasaan itu. Tidak ada lagi yang terasa nikmat atau mengasyikkan, dan perasaan muram itu pun hanya bisa diubah menjadi senang apabila yang dibayangkan adalah kematian, yaitu sebagai satu-satunya jalan keluar dari keputusasaan tersebut.
Depresi bisa jadi dipicu oleh penolakan diri seseorang pada
berbagai tataran oleh suatu sistem yang mentransformasikan manusia, tanah, dan
uang menjadi aset yang dapat diperjualbelikan. Sistem tersebut telah menolaknya
sebagai aset yang layak. Sebagai catatan, walaupun sangat menyiksa dan
mengancam jiwa, depresi dapat mengantar seseorang kepada suatu pemahaman
metafisika akan realitas yang secara ilmiah sulit dicapai.
Pada 1951, tentara KNIL yang telah didemobilisasi
dipindahkan untuk sementara waktu dari Indonesia ke Belanda tempat mereka
ditampung di berbagai kamp dalam kondisi yang boleh dibilang kurang layak.
Pemerintah Belanda menjanjikan mereka dapat mendirikan negara mereka sendiri di
Maluku tetapi setelah menunggu hingga satu generasi––kurang lebih 24 tahun––komunitas
Maluku Selatan tersebut mulai hilang harapan akan janji itu dan beberapa
pemudanya berubah radikal: mereka memutuskan untuk membajak kereta api, pertama
pada 1975 dan kedua pada 1977, dalam rangka memperjuangkan Republik Maluku
Selatan yang telah dijanjikan kepada mereka itu.
Seperti pada kasus depresi di atas, keadaan telah menjadikan
suatu komunitas, yang hidup dalam suatu sistem yang berjalan menurut
nilai-nilai subjektif, putus asa dan suatu anasir pada komunitas tersebut
lantas terdorong untuk mengambil tindakan yang sangat menyiksa dan mengancam
jiwa. Para pelakunya masih berumur muda, antara 17 sampai dengan 27 tahun.
Orang pada kisaran umur itu lazimnya menyibukkan diri dengan mencari pasangan
hidup dan berkarier; waktu luang lebih senang mereka habiskan dengan
menyaksikan pertandingan sepak bola Eredivisie pada layar kaca alih-alih
menyusun rencana membajak kereta api dan lalu mengeksekusi rencana tersebut.
Serangan 11 September 2001 di New York, pengeboman kereta
api pada 11 Maret 2004 di Madrid, pembunuhan Theo van Gogh pada 2 November 2004
di Amsterdam, pengeboman transportasi umum pada 7 Juli 2005 di London,
penembakan Charlie Hebdo pada 7 Januari 2015 di Paris, dan serangan Paris pada
13 November 2015 lalu mengguncang dunia barat. Semua serangan tersebut mestinya
sangat menyiksa dan mengancam jiwa para pelakunya. Seperti halnya pada kasus
pembajakan kereta api dan depresi di atas, mereka, para pelaku, mestinya lebih
senang menghabiskan waktu luang menonton hiburan pada layar kaca. Lalu apa yang
menjadikan mereka sedemikian putus asa sehingga mereka malah menyusun rencana penghancuran
dan kemudian mengeksekusi rencana tersebut?
Pascaserangan Paris pada 13 November 2015, Presiden AS
Barack Obama, pemimpin dunia bebas, mengutarakan simpatinya dengan berkata,
"Ini merupakan serangan atas seluruh kemanusiaan dan nilai-nilai universal
yang kita anut bersama." Namun, serangan Paris terjadi hanya sehari
setelah kota Beirut diguncang bom bunuh diri yang merenggut nyawa 43 orang
tetapi terkait peristiwa tersebut para pemimpin dunia cukup bergeming sehingga
banjir simpati dari mereka, termasuk ucapan Obama yang menyatakan bahwa
kejadian di Paris merupakan serangan atas seluruh kemanusiaan itu, seolah-olah
bisa ditafsirkan bahwasanya peristiwa tersebut merupakan serangan atas seluruh
kemanusiaan di dunia barat, dan
serangan atas nilai-nilai universal hanyalah serangan atas nilai-nilai yang
semua orang wajib menghafalkan tetapi yang tidak pernah diinsafi, sehingga nilai-nilai
universal yang dimaksud Obama hanyalah macan kertas.
Pasal, apabila dunia barat betul menginsafi alih-alih cuma menggembar-gemborkan
nilai-nilai universal tidak mungkin mereka berbuat hal-hal yang menjadikan
orang seorang, suatu komunitas, atau suatu bangsa sedemikian putus asa sehingga
orang seorang, komunitas, atau bangsa tersebut mengambil tindakan yang sangat
menyiksa dan mengancam jiwa. Apabila betul dunia barat menginsafi nilai-nilai
universal, kebenaranlah dan keadilanlah yang teradat oleh semua negara
anggotanya dan semua beleid yang dijalankan akan berkiblat kepada Cinta.
Namun, karena nilai-nilai universal yang dimaksud hanyalah
tulisan pada kertas, maka sesungguhnya yang berlaku adalah lawannya, yaitu nilai-nilai
subjektif. Contoh saja: politikus Eropa seperti Geert Wilders asal Belanda
menggalakkan wacana seperti penghematan anggaran, patriotisme, dan harga diri
dalam kaitannya dengan krisis migran dan peristiwa terorisme seperti serangan
Paris.
Nilai-nilai subjektif selamanya akan berakar pada Ketakutan
sehingga nilai-nilai itulah yang merupakan serangan sesungguhnya terhadap
kemanusiaan karena, lantaran tidak mencerahkan, mereka tidak meninggikan kemanusiaan
tetapi malah menjadikannya terjeblos dalam pusaran hasrat.
Sehingga, dengan kerut alis curiga, kita sudah sepatutnya
mempertanyakan siapa yang sesungguhnya merupakan korban dan siapa yang menjadi penyerang?
Apa sesungguhnya nilai-nilai yang betulan membekap dunia, dan apa nilai-nilai
yang hanyalah macan kertas?
==========
Apakah pembajakan kereta api di atas masih akan terjadi apabila komunitas Maluku Selatan itu diperlakukan seturut model Aarhus? Menurut saya jawabannya adalah tidak.
Apakah pembajakan kereta api di atas masih akan terjadi apabila komunitas Maluku Selatan itu diperlakukan seturut model Aarhus? Menurut saya jawabannya adalah tidak.
Cara kepolisian Aarhus memperlakukan dan menangani
komunitas yang rentan radikalisasi merupakan sesuatu yang tidak bisa ditemui dalam
kamus para pemimpin dunia. Yang membedakan keduanya, menurut saya, ialah jarak yang
ada antara mereka dan subjek mereka: yang satu berhubungan langsung dengan
subjek, dan yang satu bertindak selaku distant
manager. Yang satu secara langsung dan seketika merasai dampak dari tindakan
mereka, yang satu tidak karena dampak tersebut harus melewati banyak lapis
sebelum bisa menyentuhnya.
Kebencian memperanakkan kebencian, tetapi kasih
mengalahkannya. Itu yang menurut saya menjelaskan keberhasilan model Aarhus. Itu
pula yang menjadi anjuran filsuf Belanda Rob
Riemen kala menjawab pertanyaan apa kiranya yang bisa menjadi penawar paham
ekstrem bernama fasisme dalam esainya Kekekalan
Laten Fasisme (2015): temukan kembali kecintaan akan hidup.
Laurens Sipahelut
Tangerang, 17 Juli 2016
Kekekalan Laten Fasisme |
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen
diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity,
Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky
Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
- Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
- Jakarta Barat (Trisakti)
- Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
- Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
- Tangerang Selatan (BSD)
- Tangerang (Tangcity Mall)
- Bandung (BIP)
- Bekasi (Bekasi CyberPark)
- Depok (Margo City)
- Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
- Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
- Denpasar (LIBBI Denpasar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar