Selamat datang di Indonesia, Marco van Basten. Foto: © Foto-net |
Kala masih aktif merumput, teknik Van Basten, dengan gol saltonya ke dalam gawang FC Den Bosch pada Minggu, 9 November 1986, selaku penggawa Ajax dan gol volinya ke dalam gawang USSR pada Sabtu, 25 Juni 1988, selaku penyerang timnas Belanda, sudah terbukti andal, tetapi yang menjadikan sosok yang pada 1992 dibaiat Pemain Terbaik Dunia FIFA itu diakui sebagai salah satu striker terhebat dunia sepanjang masa ialah kecerdasan sepak bolanya. Van Basten tipe pemikir. Van Basten juga tipe kepala batu. Alhasil, dia senantiasa mengikuti jalan yang ditunjuk oleh hasil akhir proses pemikirannya; apa dan bagaimana tanggapan dan anggapan orang lain, itu urusan nanti.
Sebagaimana ditulis oleh Zeger van Herwaarden dalam biografi Marco van Basten. Era AC Milan dan Oranye, sifat Van Basten tersebut mengejawantah dalam bentuk sikap dinginnya kepada media massa dan, kala memperkuat Milan, kegemarannya berdebat soal taktik dengan pelatih Arrigo Sacchi, sesuatu yang pada waktu itu di Italia dianggap kurang lumrah. Dan ternyata, dalam karier sepak bolanya setelah gantung sepatu, baik selaku pelatih (Jong Ajax, timnas Belanda, Ajax, sc Heerenveen, AZ) maupun sekarang sebagai petinggi FIFA, dia tetaplah sama: nyeleneh, kepala batu, cerdas.
Simak saja usul perubahan-perubahan aturan main sepak bola yang belum lama ini dia lemparkan kepada khalayak ramai:
- bagi lama permainan 90 menit menjadi empat suku jam;
- batasi pemain pada 60 pertandingan dalam setahun;
- gantikan adu penalti dengan duel satu-lawan-satu berdurasi delapan detik yang dimulai 22,86 meter dari gawang;
- hilangkan waktu tambahan;
- naikkan jumlah pemain pengganti yang boleh diturunkan dari tiga menjadi enam;
- perkenalkan kartu jingga yang mengirim pemain ke 'kotak pesakitan' selama 10 menit; dan
- hapus peraturan offside.
Tak pelak Van Basten menuai kontroversi. Banyak yang terutama meradang soal penghapusan peraturan offside itu.
Sesungguhnya, yang disampaikan oleh mantan penyerang dengan koleksi 277 gol itu adalah: keindahan sepak bola sudah luntur. Evolusi jasmaniah pemain telah berdampak pada cara sepak bola dimainkan di lapangan, yaitu karena menyempitnya ruang gerak pemain. (Marco van Basten, abolishing the offside rule and why we need to talk about it.) Menyempitnya ruang gerak pemain lantas berdampak pada berkurangnya kreatifitas pemain. Berkurangnya kreatifitas pemain kemudian berdampak pada lunturnya keindahan sepak bola.
Teknis. Usul Van Basten murni teknis. Bahwasanya usulnya juga bermain-main dengan roh sepak bola, itu urusan nanti. Dan apa roh sepak bola itu? Tribalisme. Roh sepak bola adalah tribalisme. Sepak bola, pada dasarnya, adalah selebrasi hasrat egoistis manusia akan kesintasan. Ia merupakan tarian perang, adu siasat tempur, yang memperhadapkan dua 'suku' yang saling 'bermusuhan'. Mereka yang diturunkan ke medan pertempuran ialah laskar pilihan yang, di bawah komando langsung penggawa skuad, akan membela panji-panji kebesaran suku; tentu saja dielu-elukan akan mengalahkan lawan; dan, pada akhirnya, diharapkan akan tampil sebagai penguasa satu-satunya.
Lewat suatu proses mental Van Basten hendak menghasilkan suatu keluaran berupa emosi. Dengan merekayasa aturan main dia hendak memampatkan intensitas permainan dengan cara meluaskan ruang gerak pemain: sepak bola kembali menjadi indah.
Itu harapannya.
Persoalannya, proses Van Basten itu melewatkan satu langkah penting. Sekarang ini, alih-alih selebrasi hasrat egoistis manusia akan kesintasan, sepak bola menjadi pelimbang hasrat egoistis manusia akan kekayaan. Guna meraih keluaran emosi itu, Van Basten harus terlebih dahulu mengembalikan sepak bola ke sifat asalnya, ke fitrahnya. Dan untuk itu, setidak-tidaknya, dia mesti menentang putusan Bosman.
Pada kasus Bosman, sebagaimana diputuskan oleh Mahkamah Eropa pada 1995, pemain berhak meninggalkan klub-asal secara gratis (free transfer) begitu kontraknya hangus. Lantaran tidak menerima imbalan transfer, pemain bisa meminta bonus transfer (signing-on fee) dan gaji yang besar dari klub tujuan. Pemain yang kontraknya akan berakhir juga dapat meminta kenaikan gaji kepada klub asal, apalagi apabila klub merasa khawatir bakal kehilangan pemain itu melalui mekanisme free transfer. Jadi, putusan Bosman telah mengalihkan kekuasaan kepada pemain, yang lantas mengalihkan kekuasaan tersebut kepada pihak agen. (How the Bosman rule changed football - 20 years on.)
Saat ini, 25 klub terkaya jorjoran mentransfer pemain dalam jumlah uang yang berada di luar jangkauan klub kecil. Akibatnya, kesenjangan antara yang besar dan yang kecil kian melebar. Dan dampak putusan tersebut bukan itu saja.
Pra-Bosman, klub yang berlaga di Eropa diikat oleh peraturan 'tiga-plus-dua', yang berarti bahwa saat berlaga dalam kompetisi Eropa sebuah klub diperbolehkan menurunkan maksimal tiga pemain asing dalam suatu pertandingan, plus dua pemain asing jebolan akademi pemain klub. Pasca-Bosman, klub bebas menurunkan berapa saja pemain Uni Eropa dan bebas merekrut pemain dari negara mana saja di Uni Eropa.
Marco van Basten: tentangi putusan Bosman (setidak-tidaknya secara prinsipiil) dan gantikan dengan mekanisme yang adil bagi klub dan adil bagi pemain. Berlakukan kembali peraturan 'tiga-plus-dua'. Secara umum, selenggarakan perubahan apa pun juga dengan bertolak dari semangat tribalisme: jadikan sepak bola kembali selebrasi hasrat egoistis kita akan kesintasan. Selenggarakan secara global.
Laurens Sipahelut
Tangerang, 13 Februari 2017
Marco van Basten. Era AC Milan dan Oranye karya Zeger van Herwaarden. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar