18 Juni 2016

Gerakan Identitarian

Gerakan Identitarian, menurut Wikipedia.org, dicetuskan pada 2002 oleh pemuda 'kanan-jauh' (dalam arti: otoritarianisme ekstrem) di Prancis. Mereka bercita-cita menyebarkan paham mereka lintas benua Eropa. Video YouTube di bawah ini direkam oleh Gerakan Identitarian Jerman dan berisi pesan-pesan yang bertolak belakang dengan politik 'kiri' (libertarianisme), musuh mereka:


Seperti yang dapat disimak pada videoklip itu, Gerakan Identitarian tidak merestui suatu cita-cita Eropa yang bersatu di bawah bendera Uni Eropa karena beranggapan bahwa sifat osmotik persekutuan tersebut bakal menjadi awal dari akhir jati diri Eropa dan, oleh karena itu, jati diri mereka sendiri. Mereka merasa kecewa terhadap suatu 'semangat zaman' yang telah dipaksakan kepada mereka, yang menjadikan mereka harus berkapitulasi kepada keadaan baru (yang notabene menajiskan hal-hal yang mereka keramatkan). Mereka juga berbicara tentang rasa takut akan ketidakpastian.

Mereka lantas menuntut suatu revolusi pada ranah politik, pendidikan, dan sosial; bila perlu lewat kekerasan. 'Mereka' yang dimaksud di sini adalah kalangan pemuda pribumi.

Menerima perubahan adalah sulit, menerima perubahan dalam lingkungan tempat kita tampil sebagai kasta unggul ialah lebih sulit karena mentalitas yang lahir dari hal itu menjadikan manusia tertambat lebih kuat pada ego, bagian dalam diri kita yang menciptakan ilusi bahwasanya kebendaan adalah hakiki. Ilusi tersebut menjadikan manusia berupaya mengendalikan hidup dengan mengutak-atik Ranah Akibat/ dunia fisik alih-alih mengubah Ranah Sebab/ dunia mental. Dunia fisik ialah pengejawantahan dunia mental sehingga apabila manusia ingin mengadakan perubahan, perubahan itu haruslah datang dari dunia mental. Dengan demikian, revolusi yang mereka idam-idamkan itu haruslah terjadi pada dunia mental. Akan tetapi, hal tersebut tidak dimungkinkan untuk Gerakan Identitarian: mentalitas mereka tidak memungkinkannya.

Pasal, mentalitas yang mereka bina adalah suatu mentalitas fasistik, dalam arti: siapa saja yang mereka anggap sehaluan mereka ajak untuk merapatkan barisan demi menjegal 'musuh' yang mengancam kelangsungan hidup mereka (dan juga hidup anak-anak mereka). Dengan kata lain, mereka merasa keselamatan mereka terancam dan oleh karena hasrat akan kesintasan (hasrat untuk selamat) ialah hasrat ego yang terkuat, bahasa mereka pun menjadi bertolak dari ranah kebendaan dan, seperti yang sudah disebutkan di atas, ranah kebendanaan (ranah yang adalah titisan ranah mental) bukanlah tempat perubahan dapat dilangsungkan. Kesimpulan: revolusi mereka adalah revolusi mandul karena tidak mampu membawa perubahan.

Oleh karena mereka mengungkapkan segala hal dalam kebendaan, titik berat pandangan mereka menjadi 'keluar' alih-alih 'ke dalam' (jiwa). Di dunia luar mereka lantas membutuhkan pegangan yang dapat memberikan kepada mereka pemahaman akan hal-hal yang terjadi di luar sana. Hal itu kebalikan dari pengalaman spiritualitas tempat pemahaman dicari dengan menyelami jiwa. Dalam konteks Gerakan Identitarian, karena sifatnya yang fasistik, pegangan tersebut terjelma dalam sosok seorang pemimpin yang dapat mengantarkan pengikutnya menuju kesintasan. Hal itu memang tidak diungkapkan secara langsung dalam videoklip, tetapi sesungguhnya itu tidak terelakkan.

Lambda kuning, lambang Gerakan Identitarian.
Lambda kuning, lambang Gerakan Identitarian.
Politikus anti-Islam Geert Wilders, misalnya, adalah sosok pemimpin demikian yang menjelma di negeri Belanda. Dalam suatu wawancara baru-baru ini (16/6) dengan BBC Radio 4, Wilders mengutarakan banyak hal yang senada dengan isi videoklip Gerakan Identitarian di atas. Wawancara tersebut dapat dilihat pada YouTube di sini.

Pemahaman pangkal kearifan, tetapi pemahaman seperti itu harus bersumber dari dunia mental. Pemahaman seperti itu akan membuat manusia mencintai hidup. Pemahaman yang demikian menjadikan manusia memahami dirinya sendiri dan, oleh karena itu, setiap manusia lain di muka bumi ini terlepas dari rumpun bangsa, gender, kepercayaan, warna kulit, dan status. Akan tetapi, apabila bersumber dari dunia fisik, apalagi dari seorang pemimpin fasistik yang berupaya menarik semua pengikutnya ke hasrat ego yang paling kuat dan primitif (kesintasan), pemahaman yang timbul akan menjadikan manusia anti-hidup.

Pola pikir yang anti-hidup ditimbulkan oleh kesadaran yang sempit; pola pikir yang cinta hidup adalah buah dari kesadaran yang terkembang yang diperoleh lewat suatu upaya yang dicirikan oleh keberanian, keinginan, dan kepandaian––tiga hal yang menandai perjalanan batin menuju pencerahan, yakni pemahaman yang cinta hidup itu. Mencapai pencerahan bukanlah perkara mudah, tetapi upaya itu akan terbantukan apabila kalangan elite (cendekiawan, partai politik, dunia usaha) bersatu padu memuliakan manusia (menjadikan kesadaran manusia terkembang). Menurut filsuf Belanda Rob Riemen dalam Kekekalan Laten Fasisme (2015), dalam hal itu kalangan elite telah mengkhianat manusia dan, sebagai akibatnya, khususnya di Eropa tempat pabrik maut-pabrik maut pernah berdiri kurang lebih 70 tahun yang lalu, fasisme kembali bisa muncul. Solusi Riemen terhadap fasisme adalah: temukan kembali kecintaan akan hidup.

Laurens Sipahelut
Tangerang, 18 Juni 2016


Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme
Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar