7 November 2015

Geert Wilders: Mars Kesintingan Elite Giring Belanda, Eropa ke Jurang Kehancuran

Biarkan Bangsa Berbicara Melalui Referendum*)

Demokrasi Langsung


Opini
Seperti orang Swiss, orang Belanda mesti diberikan lebih sering kesempatan untuk menentukan nasib mereka secara langsung melalui referendum.
Geert Wilders, Ketua Fraksi Partai untuk Kebebasan pada Parlemen Belanda
5 November 2015, 20:00

Pekan depan Uni Eropa akan mengadakan KTT Migrasi di Malta. Yang dibutuhkan Belanda bukanlah KTT Migrasi, tetapi Setop Migrasi. Perbedaan antara dua istilah tersebut hanyalah satu kata. Akan tetapi, perbedaan antara apa yang dilakukan oleh elite politik Eropa dan apa yang baik bagi Belanda ibarat langit dan bumi.

Dengan pengecualian beberapa yang memang bernyali, politikus zaman sekarang tidak punya keberanian untuk mendahulukan kepentingan orangnya sendiri. Apa yang menjadi keinginan mayoritas warga malah disangsikan. Kalangan politikus dan media massa sepertinya menganggap bahwa apa yang diinginkan oleh orang hanyalah pengejawantahan emosi yang gelap dan bodoh, alih-alih pilihan yang rasional.

Orang Belanda ingin mempertahankan jati dirinya. Mereka menghendaki negara yang aman, dengan layanan kesehatan yang baik dan pensiun yang tahan inflasi. (Ini) tidak dipertimbangkan.

Kalangan elite telah mengawali suatu mars kesintingan yang menggiring Belanda dan seluruh benua Eropa langsung ke dalam jurang kehancuran. Warga kian gusar dan geram. Jelas saja orang Belanda marah. Kalangan elite politik melakukan justru kebalikan dari apa yang menjadi kehendak orang. Itu terjadi berulang kali. Dan itu terus saja terjadi.

Keamanan

Krisis pencari suaka merupakan gejala dari suatu penyakit yang lebih dalam. Yaitu, suatu elite politik yang telah kehilangan kontak batin dengan bangsa. Hal itu paling kentara dalam debat (parlemen Belanda pada 14 Oktober 2015) pencari suaka. Kebanyakan orang Belanda menyadari bahwa imigrasi massal bukanlah suatu pengayaan, tetapi sesuatu yang berujung dengan hilangnya kesejahteraan, keamanan, dan jati diri.

Warga menghendaki ditutupnya perbatasan. Akan tetapi, apa yang didapat mereka? Perbatasan yang terbuka dan lebih banyak lagi pencari suaka. Mereka menghendaki keamanan. Akan tetapi, mereka mendapat lebih banyak Islam dan lebih banyak kejahatan. Mereka menghendaki layanan kesehatan yang lebih baik dan atensi yang lebih besar terhadap kaum lansia. Akan tetapi, mereka malah harus membayari orang migran dan orang Yunani.

Orang Belanda tidak lagi mengenali diri mereka dalam pemimpin-pemimpin mereka yang berpaling ke dalam itu, dalam menara gading mereka itu, yang tidak memberikan kepemimpinan tetapi justru membiarkan dirinya terseret arus pengoreksian politik dan imla Brussel. Mereka menaruh syak kepada media massa, pembentuk opini, dan hakim-hakim yang tidak belajar sesuatu apa pun dari pembunuhan atas Pim Fortuyn dan Theo van Gogh, dan yang mencela setiap orang yang membela jati diri negara kita sendiri.

Oleh karena itu, sudah waktunya untuk berbersih-bersih. Sudah waktunya untuk suatu revolusi politik tanpa kekerasan dan demokratis. Mereka yang pada saat ini berkuasa telah membawa Belanda ke tepi jurang. Rezim di Den Haag tidak tahu hidup dan sudah tidak lagi berbicara atas nama bangsa. Mereka terkejut sendiri atas apa yang telah mereka timbulkan. Oleh karena itu, sistem politik kita harus dirombak. Soalnya, satu pelajaran yang bisa dipetik dari krisis pencari suaka ini adalah: bangsalah yang paling tahu apa yang baik untuk Belanda, dan bukan para pembesar di Den Haag.

Menentukan Nasib Sendiri

Krisis pencari suaka dan permasalahan-permasalahan lainnya di Belanda bisa kita tangani apabila kita menyerahkan kembali kekuasaan kepada bangsa. Orang Belanda harus dapat menentukan masa depan mereka secara langsung.

Seperti orang Swiss, orang Belanda mesti diberikan lebih sering kesempatan untuk menentukan nasib mereka secara langsung melalui referendum. Referendum Perjanjian Asosiasi dengan Ukraina pada 6 April merupakan awal yang bagus, tetapi referendum bukanlah sesuatu yang mesti menjadi suatu kekecualian. Ia haruslah menjadi suatu norma. Dan mengikat, supaya pemerintah mengindahkan hasilnya. Seperti halnya di Swiss, tempat warganya empat kali setahun dipanggil ke kotak suara untuk berpartisipasi dalam puluhan referendum yang mengikat, pada tataran kota madya, kanton, dan negara.

Penyelenggaraan pemilihan dalam jumlah besar itu merupakan pengungkapan kehendak bangsa. Masyarakat Swiss merupakan bangsa yang azmat dan patriotik yang tidak pernah ingin melacurkan diri kepada Brussel. Kita bisa belajar banyak dari mereka. Dalam suatu demokrasi langsung bangsa melaksanakan kedaulatannya secara langsung tanpa perantara. Justru karena itu bangsa menjadi sadar akan betapa bernilainya kedaulatan nasional itu.

Pada zaman sekarang, begitu Parlemen terpilih wakil rakyat tahu bahwasanya untuk periode empat tahun mereka dapat melakukan apa saja yang ingin mereka lakukan tanpa dikoreksi sembari mengabaikan bangsa. Waktunya telah tiba untuk membarui demokrasi kita dan untuk menyelenggarakan demokrasi langsung secara lokal maupun nasional. Mari kita mencontoh orang Swiss. Orang Belanda pun harus diberikan kesempatan untuk beberapa kali dalam setahun ikut mengambil keputusan mengenai berbagai persoalan yang mereka anggap penting lewat referendum yang mengikat.

*) Tulisan di atas diambil dari harian Belanda de Volkskrant dan diturunkan dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme, esai filsuf Belanda Rob Riemen yang mengingatkan terhadap bahaya laten fasisme di Eropa dan menunjuk politikus Geert Wilders sebagai prototipe fasisme masa kini. Untuk info terkini tentang Kekekalan Laten Fasisme pantau kicauan ber-tagar #KekekalanLatenFasisme pada Twitter. Kekekalan Laten Fasisme dapat dipesan pada Pionir Books dan outlet daring pilihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar