Yth. Bapak Geert
Wilders,
Amit-amit jabang bayi, tapi kalau itu sampai terjadi
melawan tentu bakal perbuatan sia-sia belaka sehingga, dengan demikian, kalau
saya mengikuti jalan pikiran Bapak dengan benar, Bapak bertekad untuk
memberikan masyarakat Belanda hal-hal yang selama ini ditolak oleh elite
politik, yaitu menutup perbatasan untuk mementalkan arus pencari suaka;
meningkatkan keamanan dengan cara mengurangi Islam dan mengurangi tindak
kejahatan; dan memperbaiki layanan kesehatan dan layanan lansia dengan cara
memangkas pos pengeluaran yang biasanya ditujukan untuk orang migran dan Yunani
nehek itu.
Singkat kata, sepertinya solusi Bapak untuk segala macam
permasalahan adalah melenjan segala sesuatu menjadi dua kelompok: asing vs
pribumi. Untungnya, bahasa Belanda punya dua kata yang dengan tepat tetapi
santun mengungkapkan itu: allochtoon
yang berarti asing dan autochtoon
yang berarti pribumi. Sangat bermanfaat.
Dan sangat payah.
Pak, saya bisa salah bisa juga benar, tetapi dari
kacamata Bapak: pribumi identik dengan baik, asing identik dengan tidak baik.
Namun, dalam dikotomi hitam putih macam ini, pilihan yang diambil oleh kelompok
yang 'baik' untuk kepentingan orang 'baik' – begitu Bapak keluhkan dalam
tulisan Bapak – malah dikecam oleh rekan-rekan Bapak dan oleh media massa
sebagai sesuatu yang datangnya dari suatu keadaan hati yang 'gelap dan bodoh'.
Kemudian Bapak dengan cukup keren menulis bahwa elite
politik telah mengawali suatu 'mars kesintingan' yang akan mengantar seluruh
Belanda ke jurang kehancuran karena, kalau saya boleh simpulkan pola pikir
Bapak, tindakan mereka bertentangan dengan apa yang Bapak, dan dengan demikian
masyarakat Belanda, selama ini menuntut, yaitu: tutup perbatasan; kurangi
Islam; lebih banyak ini itu untuk wong cilik.
Kemudian Bapak menulis bahwa krisis pencari suaka
sesungguhnya gejala dari suatu penyakit yang lebih dalam, yaitu elite politik
yang tidak menyambung lagi dengan masyarakat. Soalnya, segala sesuatu yang
mereka perbuat melulu kebalikan dari apa yang dihendaki oleh masyarakat, yang
dihendaki oleh Bapak tentunya dan, di mata Bapak, krisis pencari suaka mempertunjukkan
hal itu dengan sangat gamblang. Sehingga, Bapak pun merasa perlu untuk
mereformasi sistem politik. Pasal, hanya rakyat, dan seorang Geert Wilders, dan bukan para petinggi
pada parlemen tentunya, yang tahu apa yang terbaik bagi Belanda. Setelah itu,
dalam tulisan Bapak, Bapak menyerukan suatu revolusi politik yang demokratis
dan non-bengis.
Pak Geert,
saya boleh jadi tidak setuju sama sikap Bapak yang memecah belah dan suka
memaksa itu, tetapi sama yang satu ini saya setuju sekali. Saya setuju sekali
bahwasanya sistem politik betul butuh dirombak total. Soalnya begini, Pak Geert: masa iya politik sistem yang
berlaku sekarang ini memungkinkan siswa untuk dengan cara yang tidak patut
mengambil alih tugas mengajar dari guru?
Soalnya begini, Pak Geert,
sistem yang berlaku sekarang ini memungkinan Bapak untuk berbuat itu. Bukan
Bapak saja sih, tetapi semua teman-teman Bapak dalam dunia politik. Padahal,
untuk dapat mengambil alih tugas mengajar si siswa itu mesti luar biasa
berbakat, dia mesti dianggap luar biasa maju untuk umurnya, dan dia mesti
menginsafi betul seluk-beluk dunia. Soal yang terakhir itu Bapak malah menuding
teman-teman Bapak di parlemen masih harus banyak belajar. Akan tetapi,
kenyataannya Pak, Bapak pun begitu alias sebelas-dua belas saja.
Dan seperti halnya di dalam kebanyakan ruang kelas, ruang
kelas kita yang ini juga punya tipe-tipe siswa yang paten punya. Akan tetapi,
saya masih kurang yakin mau memasukkan Bapak sebagai tipe mana – tukang onar,
tukang lamun, genius? – tapi yang pasti Bapak belum pantas untuk mengajar.
Pasal, seorang guru dalam keadaan seperti ini bakal berbuat begini: dia akan
mengajari siswa-siswanya bahwa bala adalah bagian dari hidup, bahwa ia tidak
lain adalah cara bagi seseorang untuk tumbuh dan berkembang. Malah, ia bisa
dikatakan merupakan kesempatan bagi kita untuk bertumbuh dan berkembang. Dia
akan berkata bahwa segala upaya untuk mengelak dari bala dengan maksud
memperlama nasib baik hanyalah perbuatan yang sia-sia belaka. Akan tetapi, Pak Geert (siswa), Bapak malah menganjurkan
untuk mengelak. Akan tetapi, menurut hemat saya itu wajar-wajar saja.
Pasal, siswa mana sih yang dengan sukarela membiarkan
dirinya mengalami bala? Ada kalanya si siswa memang bisa mengelak dari
tugas-tugas tidak asyik seperti PR, tetapi tidak mungkin dia melakukan itu
dengan terus-menerus. Ada kalanya dia terpaksa harus menghadapi balanya.
Biasanya itu terjadi kala hidup memberikan dia cobaan yang, tidak seperti arus
pencari suaka, tidak bisa dia lihat muncul dari kejauhan.
Akan tetapi, dengan menghadapi bala, betapapun itu terasa
menyakitkan, Bapak justru membuka jalan untuk keberhasilan tertentu, yaitu
Bapak membuka jalan untuk naik kelas dan, siapa tahu, untuk kembali sebagai
seorang guru yang siap untuk mengajar. (Apa yang tidak mematikan menjadikan
Bapak lebih tangguh.) Akan tetapi, bagaimana mau menghadapi bala besar kalau
yang kecil saja Bapak tidak bisa atasi dengan benar? Bagaimana mau naik kelas
kalau mengerjakan PR yang mudah saja tidak becus? Bagaimana mau bertumbuh
menjadi lebih tangguh?
Seperti pada kebanyakan ruang kelas, ruang kelas kita
yang ini juga menjadi bagian dari suatu sekolah. Kebetulan sekolah kita ini
kita jadikan perumpamaan untuk gua Plato
(dari perumpamaan gua Plato yang
tersohor itu). Seperti yang barangkali Bapak sudah tahu, Plato seorang filsuf asal Yunani dan kebetulan saja dia menjabat
sebagai kepsek pada sekolah ini, yang kita namakan Sekolah Altruisme Plato.
(Yang terakhir itu karangan saya saja.)
Pada sekolah ini, perkara seperti rugi laba, kebanggaan,
dan patriotisme tidak ada apa-apanya sama yang namanya Cinta. Pada sekolah ini,
negara bangsa hanyalah ikhtiar untuk melayani kemanusiaan, dan tidak pernah
sebaliknya. Pada sekolah ini, segala sesuatu yang Bapak begitu agungkan tidak
ada artinya karena mereka sama sekali tidak membantu siswa naik kelas lantaran
sifatnya yang mengekang jiwa. Nilai-nilai subjektif mengekang jiwa; nilai-nilai
universal membebaskan jiwa. Jiwa harus dibebaskan sehingga jangan menggalakkan
nilai-nilai yang mengekang jiwa sebagaimana yang Bapak lakukan selama ini.
Galakkan nilai-nilai yang membebaskan jiwa. Dengan demikian, revolusi Bapak
haruslah bertujuan mengganti nilai-nilai subjektif itu (rugi laba, kebanggaan,
patriotisme) dengan nilai-nilai universal (kebenaran, keadilan, cinta).
Revolusi Bapak haruslah bertujuan menjadikan siswa naik kelas dan kembali
sebagai guru untuk mengajar. Itu pun kalau Bapak tidak mau semua menjadi
sia-sia belaka.
Dengan demikian, apa yang saya minta dari revolusi Bapak
adalah untuk mewujudkan gagasan Plato
ihwal raja filsuf. Supaya afdal, hal pertama yang kita butuhkan adalah suatu
masyarakat pemikir bebas. Sehingga ada bagusnya juga kalau Bapak
mempertimbangkan untuk memecah revolusi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama
adalah mengubah Belanda menjadi masyarakat pemikir bebas yang tulen. Itu pun
kalau Bapak tidak mau semua menjadi sia-sia belaka.
Setelah masyarakat pemikir bebas kita terwujud, Bapak
bisa mulai merevolusi parlemen (yakni, bagian kedua dari revolusi kita) guna
menjadikan parlemen tempat yang keramat untuk Kebenaran dan Keadilan. Di tempat
itu hanya seorang guru yang dapat mengajar. Itu pun kalau Bapak tidak
menghendaki semua menjadi sia-sia belaka.
Begitu Belanda menjadi suatu masyarakat pemikir bebas
yang bernapaskan Cinta, baru Bapak boleh menyelenggarakan berbagai referendum
itu seperti di Swiss, dan ini sekaligus menjadi bagian yang ketiga dan terakhir
dari revolusi kita.
Menurut saya, seharusya seperti itulah revolusi Bapak
harus dijalankan. Itu pun kalau Bapak tidak mau semua menjadi sia-sia belaka.
Hormat saya,
Laurens Sipahelut
#KekekalanLatenFasisme, @PionirBooks
Tulisan di atas
diturunkan dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme, esai filsuf Belanda Rob Riemen yang mengingatkan terhadap bahaya laten fasisme di Eropa
dan menunjuk politikus Geert Wilders
sebagai prototipe fasisme masa kini. Untuk info terkini tentang Kekekalan
Laten Fasisme pantau kicauan ber-tagar
#KekekalanLatenFasisme pada Twitter. Kekekalan Laten Fasisme dapat dipesan pada Pionir Books dan outlet
daring pilihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar