Jona Oberski (1938-)
Jona Oberski lahir pada 20 Maret 1938 di Amsterdam, Belanda. Dia anak tunggal pasangan Siegfried Oberski dan Margaretha Foerder; keduanya emigran Yahudi Jerman. Pada 1943, keluarga ini dideportasi ke Bergen-Belsen, Jerman. Ayah ibu Jona tidak selamat dari kamp kematian tersebut, akan tetapi Jona sintas dan kembali ke Amsterdam tempat dia dibesarkan oleh keluarga angkat. Antara 1956 sampai dengan 1964 dia mendalami matematika dan fisika di Universiteit van Amsterdam tempat dia menerima gelar doktor di bidang fisika sebelum berkarier sebagai seorang profesor. Dia menikah dan pasangan ini dikarunia tiga anak.Pada 1978, seusai mengasisteni pujangga Belanda Judith Herzberg di suatu lokakarya kesusasteraan, Herzberg menyarankan dia untuk menulis tentang pengalamannya di zaman perang. Hasilnya adalah novela berjudul Kinderjaren (Masa Kanak-kanak, 2009). Karya kecil ini yang menggambarkan Holokaus secara gamblang telah diterbitkan di 17 negara –18 dengan Indonesia. Penulis ternama macam Harold Pinter, Heinrich Boell, Chaim Potok, Alan Sillitoe, dan Isaac Bashevis Singer menyanjung buku ini. Pinter menyebutkan kisah Oberski ini –yang menceritakan tentang Bergen-Belsen lewat mata seorang bocah Yahudi Belanda– sebagai “mencengangkan” yang, begitu menurut Pinter, “memberikan pemandangan yang mengerikan. Nada cerita senantiasa sederhana dan ringkas, tapi ia menggambarkan suatu dunia penuh keheranan dan derita.”
Masa Kanak-kanak
Unsur-unsur yang membangun kisah Oberski ini, yang terdiri dari dua puluh satu bab singkat yang dikelompokkan ke dalam lima bagian, sudah dikenal dengan cukup akrab. Seorang bocah tanpa nama harus merasakan beleid anti-Yahudi Nazi yang kian lama kian menakutkan. Pertama keluar keputusan itu bahwa warga keturunan Yahudi wajib menyematkan Bintang Kuning pada baju luar: “Tuh lihat,” ujar ibu si bocah, “sekarang kau mempunyai bintang indah yang sama seperti papi.” “Aku betul menyukainya,” batin si bocah, “tetapi aku lebih suka kalau tidak diberi bintang” (Masa Kanak-kanak, Jakarta: Pena Wormer, 2009, hlm. 26. Semua kutipan diambil dari edisi ini.). Ini disusul dengan kilasan-kilasan peristiwa deportasi; koper yang dikemas buru-buru, kamp transit Westerbork, gerbong kereta api yang penuh sesak, harapan tipis keluarga itu bahwa mereka sedang menuju Palestina. Bergen-Belsen lantas menjadi titik pusat buku ini. Di sana si bocah kesulitan memahami hukum bertahan hidup. Misal, saat dia dan anak-anak lain harus membersihkan kuali dengan jari mereka, atau saat dia harus bergeming saat orang tuanya diam-diam bercinta untuk terakhir kali. Setelah menyaksikan ayahnya yang sakit mengembuskan napas terakhir, dia kemudian mencari-carinya di “rumah ketel”:Aku berjalan ke dalam dan melangkahi tubuh yang paling depan. Aku menaiki tumpukan itu dan memandang ke dalam bungkusan paling atas. Aku hanya bisa melihat sebuah lengan. Aku mulai membuka seprai itu. [...] Aku menarik lengan itu keluar. Tangan itu mirip dengan tangan ayahku. Aku menyentak seprai sampai aku bisa melihat bagian kepala. Kepala itu hitam karena jenggot. Aku turun dari tumpukan dan dari samping melihat sebuah tubuh. Hampir tidak ada cahaya yang menyinarinya. Aku memandangi bagian wajah. Sepasang mata itu berwarna hitam. Pipi kempot. Jenggot pendek, seperti punya ayahku. Hidungnya juga mirip. Aku memandangi kedua tangannya. Tangan itu mirip punya ayahku. Akan tetapi, tubuh itu sama sekali tidak mirip dengan punya ayahku (hlm. 62).Penghuni Bergen-Belsen kemudian kembali dibawa pergi dengan kereta api, suatu perjalanan yang berakhir di Troebitz, tempat si bocah dan banyak Yahudi Belanda lainnya dibebaskan oleh tentara Rusia. Beberapa di antara mereka, termasuk ibu si bocah, yang mengalami guncangan berat psikologis, gugur tidak lama kemudian karena sakit atau murni karena kelelahan. Novela ini berakhir saat si bocah memulai kembali hidup bersama orang tua angkat di Amsterdam.
Oberski dengan gamblang menggambarkan betapa sulitnya bagi si anak di novela ini untuk beradaptasi dengan kehidupan barunya bersama orang tua angkatnya, yang telah membawanya kembali dari kegelapan: “Muntahan memenuhi mulutku. Aku hampir mati tercekik. Kemudian muntahan itu mengucur ke lantai. Muntahan itu memerciki tungkainya. Ujarnya: ‘Lihat sekarang. Silakan kau bersihkan. Kau bukan anak-anak lagi.’ Dia memberikan sehelai kain kepadaku. Aku mulai membersihkan” (hlm. 92). Pembaca mungkin lantas akan menerka bahwa adegan tersebut bersifat autobiografis, terutama karena Oberski mempersembahkan buku ini kepada orang tua angkatnya, “yang telah kubuat kerepotan membesarkanku.”
“Bagi saya buku ini utamanya bukan suatu karya susastra, tetapi ia juga jangan dianggap sebagai suatu buku biografi atau sejarah. Ia terutama merupakan ikhtiar bagi saya untuk menjelaskan apa yang saya maksudkan dalam percakapan-percakapan tentang masa lalu saya. Saya selalu berperasaan bahwa saya kurang bisa menjelaskan apa yang sebetulnya ingin saya utarakan. Saya bukan seseorang yang bisa menjalin pikiran dengan runut. Malah, saya [cenderung menjelaskan] asal-asalan saja. Dengan segala akibatnya: Anda tidak mengutarakan sesuatu dengan pas, Anda membuat kekeliruan, dan nasi pun menjadi bubur,” komentar Oberski.
Artefak kesusasteraan
Kisah Oberski berbeda dari kisah Anne Frank sebab Buku Harian Anne Frank merupakan dokumen aktual; karya Oberski merupakan artefak kesusasteraan (yang ditekankan dengan kata Novela di sampul depan buku). Oberski berterus terang bahwa dia memang telah memakai pengalaman-pengalamannya untuk menciptakan suatu karya fiksi, tidak seperti, misalnya, Binjamin Wilkomirski, yang karyanya yang bertajuk Fragments: Memories of a Wartime Childhood, yang pada 1995 diterbitkan pertama dalam bahasa aslinya, bahasa Jerman, dan lantas dalam waktu singkat diterjemahkan ke dalam 12 bahasa, pada 1999 ternyata terbukti palsu. Wilkomirski –nama asli Bruno Grosjean, seorang pemain klarinet asal Swiss yang selama perang tidak pernah meninggalkan negara itu– dan Oberski sama-sama menulis sebuah karya tipis tentang kekejian luar biasa yang dilihat lewat mata seorang anak. Pertanyaan apakah tulisan Oberski tentang masa kanak-kanaknya sebagai seorang anak Yahudi Belanda di kamp konsentrasi Nazi Bergen-Belsen adalah akurat hampir tidak relevan. Pendekatan fiksi telah memberikan Oberski lebih banyak ruang (dan teknik) daripada yang dapat ditawarkan oleh pendekatan realisme dokumenter. Kisah di Bergen-Belsen memakan relatif sedikit halaman di dalam buku ini, walaupun tempat tersebut senantiasa menjadi jantung novela ini. Yang lebih penting adalah bagaimana Oberski telah menghidupkan kembali pengalaman dia tersebut –setelah 30 tahun berlalu– dengan kembali menjadi dirinya sewaktu kecil.Dia menulis memakai kalimat-kalimat singkat yang kita anggap adalah khas kanak-kanak. Hasilnya, dia mengontraskan gaya bahasa yang polos ini dengan kengerian yang berkembang di sekitar dia dan dengan begitu menghubungkan kejadian-kejadian Holokaus ke dunia seorang bocah yang berusia empat tahun di awal dan hampir delapan tahun di akhir buku.
Anak itu masih terlalu muda untuk bisa menyebutkan apa yang dia rasakan; sedang seperti apa suasana hatinya mesti disimpulkan dari persepsi indranya: “Udara di dalam hidungku dingin. Di bawah selimut juga dingin. Aku merapatkan diri kepada ibuku yang hangat dan udaranya yang hangat memasuki hidungku” (hlm. 15). Kepolosan yang mencuat dari Masa Kanak-kanak ini mengemukakan penderitaan akibat penindasan dengan cara yang lebih efektif daripada deskripsi langsung. Kejadian-kejadian pada waktu itu, yang dilihat lewat mata seorang anak, menjadi hidup kembali tanpa berkurang kadar kengeriannya.
Kejadian-kejadian diceritakan apa adanya, dalam arti bahwa hanya kulit luar yang disentuh, yang menjadikan novela ini suatu laporan pengamatan langsung. Oberski urung menguraikan sebab-sebab sebenarnya atau yang dipersepsikan dalam kalimat kompleks; dia sekadar merangkai fakta tok.
Dalam bahasa sederhana, dengan menggunakan kalimat-kalimat pendek, si bocah menceritakan apa yang dia dengar dan lihat. Tentang dunia perasaannya, rasa takutnya, khalayan-khalayannya, kita tidak membaca apa pun. Bahkan, informasi yang paling dasar diberikan secara tidak langsung, dan sering kali itu juga baru belakangan. Cara bertutur ini makin menguatkan karakter cerita yang bersahaja. Ketika si bocah dan ayahnya naik kapal penyeberang, ayahnya berujar kepada pengemudi kapal penyeberang bahwa putranya pandai berbahasa Belanda karena dia memang lahir di negara itu. “Kami sebisa mungkin berbicara dalam bahasa Belanda dengannya” (hlm. 25). Baru setelah membaca itu kita menjadi sadar bahwa mereka adalah suatu keluarga yang berasal dari luar Belanda. Namun, pendekatan yang lugas dan simpel ini bukan, seperti yang diduga, sebagai akibat dari sudut pandang yang dipakai: yaitu, dunia seorang anak. Seorang anak justru cenderung menjadikan suatu fakta lebih menjelimet daripada sebenarnya. Seorang anak cenderung menambahkan khayalan-khayalan pada suatu fakta dan senang memberikan aneka ragam penjelasan. Tidak, dalam Masa Kanak-kanak kita menyaksikan gambaran dunia dari seseorang yang telah mengalami banyak hal mengerikan, dan yang bisa mengangkat hal-hal tersebut hanya jika dia boleh menafikan semua perasaan yang membelenggu. Dia dengan sengaja menciptakan jarak di antara si bocah yang, sebagai seorang anak-anak, tidak menyadari kedahsyatan malapetaka, dan si orang dewasa yang di kemudian hari tidak bisa menyadarinya dan tidak bisa memahaminya lagi.
“Saya tidak bakal bisa menulis [buku ini] dengan cara lain. Pemakaian bentuk sudut pandang orang pertama (yaitu si bocah) tidak saya rencanakan di muka. Itu keluar begitu saja,” jelas Oberski. Akan tetapi, dia menampik bahwa menulis Kinderjaren menjadi suatu bentuk terapi. “Justru sebaliknya. Saya selalu meyakini bahwa: pertama saya harus mengatasi masa lalu, dalam arti bahwa saya bisa membahasnya. Tahu-tahu buku itu sudah jadi. Pikir saya: karena telah menulis semuanya, saya tidak perlu lagi berbicara tentangnya. Itu tentu saja bodoh. Lagian, sama naifnya untuk berpikir bahwa pengalaman-pengalaman itu bisa dilupakan.” (pena wormer)
Masa Kanak-kanak (Kinderjaren) tersedia di toko buku Gramedia.
Very good blog. Worth Reading....
BalasHapus