Pendukung fanatik Ajax di Stadion ArenA (7/2/16). Sumber: Parool.nl. |
Pd Minggu (7/2) kemarin, Ajax menjamu musuh bebuyutan
Feyenoord dl salah satu laga Eredivisie yg selalu ditunggu-tunggu dan yg dikenal
sebagai Duel Klasik. Kenneth Vermeer, penjaga gawang Feyenoord, kebetulan
merupakan eks pemain Ajax dan secara kebetulan juga berkulit hitam.
Sepanjang pertandingan Vermeer menjadi sasaran
bulan-bulanan para pendukung fanatik Ajax yg hadir di stadion. Ulah mereka
memuncak ketika mereka menurunkan sebuah boneka berwarna hitam dng tali
melingkar pd leher dari sisi tribune. Insiden tsb lantas ramai dibahas dl media
massa Belanda, yg menganggapnya antara lain sbg ungkapan sentimen rasisme.
Insiden itu betul berbau rasisme, tetapi ada beberapa hal yg perlu diketahui
ihwal klub sepak bola dan pendukung mereka:
- Klub sepak bola memberikan jati diri kpd si pendukung dl bentuk panji-panji. Panji-panji itulah yg didukung; bukan skuad (yg zaman sekarang berisikan mercenaries atau tentara bayaran).
- Mau skuad berisikan laskar suku (tribal warriors) atau tentara bayaran tidak penting bagi pendukung klub sepak bola. Yg penting adalah panji-panji skuad tsb bernaung.
- Bagi pendukung klub, panji-panji klub yg penting, yaitu sbg jati diri 'suku' yg memenuhi hasrat akan kesintasan mereka.
Apa yg diperlihatkan oleh pendukung klub Ajax pd hari Minggu
itu adalah tribalism (sukuisme). Dl
pandangan mereka, salah satu 'laskar' mereka telah 'membelot' kpd 'musuh'. Tindakan
tsb dianggap mengancam kesintasan suku. Dng demikian, aksi pendukung klub tsb dapat
dibaca sbg pengejawantahan hasrat mereka akan kesintasan. Manusia didorong oleh
hasrat. Hasrat akan kesintasan merupakan hasrat pertama dl rangkaian hasrat yg
dilalui oleh manusia dl hidupnya. Hasrat kedua adalah harta, hasrat ketiga
adalah kekuasaan, dan hasrat keempat adalah pengetahuan. Untuk uraian lebih
lengkap tt rangkaian hasrat manusia, baca Makna Sesungguhnya Film
"Groundhog Day".
Bila dilihat dr kacamata rangkaian hasrat tsb, bukan
rasisme yg menjadi pokok masalah insiden pd Duel Klasik itu. Apa pun warna
kulit dan latar belakang si laskar skuad, dia akan diterima oleh pendukung klub
(suku) krn dia akan membantu menjaga kesintasan klub. Vermeer (laskar) yg
pindah (membelot) ke Feyenoord (musuh) dianggap telah dng sengaja membahayakan
kesintasan; oleh anggota klub Ajax warna kulit lantas dijadikan alat untuk
membalas dendam kpd Vermeer.
Sesungguhnya, apa yg terjadi pd skala mikro dl lingkungan
klub sepak bola Ajax juga tengah terjadi pd skala makro dl lingkungan bangsa
negara Belanda. Politikus anti-Islam Belanda Geert Wilders menyerukan
masyarakat Belanda untuk mundur ke hasrat-akan-kesintasan alih-alih maju ke
hasrat-akan-pengetahuan. Lewat politik yg dia usung Wilders menyatakan: Hai,
orang-orang pribumi Belanda. Pendatang dari negara Islam tengah mengancam
keselamatan kita! Desa tengah dl ancaman bahaya! Amankan emas kita, anak-anak
dan perempuan kita! Amankan lumbung desa kita!
Bahasa yg dipakai oleh Wilders adalah bahasa rasa takut.
Dl surat terbuka kepada Wilders, kami mengimbau agar dia melakukan hal sebaliknya,
yaitu mengajak masyarakat Belanda untuk bergerak ke depan dl rangkaian hasrat.
Pd intinya, kami meminta dia untuk mengedepankan altruisme. Surat terbuka tsb dpt dibaca di sini.
Itulah sesungguhnya pengertian fasisme: ajakan oleh
penguasa agar pengikutnya mundur ke hasrat akan kesintasan. Untuk itu si penguasa
akan memakai bahasa yg mengobarkan rasa takut.
Dl esai Kekekalan Laten Fasisme filsuf Belanda Rob
Riemen menyebut Geert Wilders prototipe fasisme masa kini. Dia menulis: 'Dengan
cara itulah para fasis merebut kekuasaan, para demagog yang tanpa gagasan itu,
yang mengusung suatu politik yang sarat kebencian dan kesakithatian, yang
berakar pada rasa takut akan kebebasan dan kepicikan paling santer, yang tidak
dapat tidak hanya bisa berujung dengan kekerasan, kekerasan, dan kekerasan.'
Kekerasan yg dl benak anggota suku dibenarkan krn dianggap
sbg perang suku yg harus dilancarkan demi mempertahankan kesintasan.
Ajax akhirnya menang 2-1 atas Feyenoord. Dua gol Ajax disumbangkan
oleh Amin Younes (penyerang keturunan Lebanon asal Jerman) dan Riechedly Bazoer
(gelandang keturunan Kurasao berkebangsaan Belanda).
Kekekalan Laten Fasisme |
Tulisan di atas diturunkan dalam rangka terbitnya
Kekekalan Laten Fasisme, esai filsuf Belanda Rob Riemen yang mengingatkan
terhadap bahaya laten fasisme di Eropa dan menunjuk politikus Geert Wilders
sebagai prototipe fasisme masa kini. Untuk info terkini tentang Kekekalan Laten
Fasisme pantau kicauan ber-tagar #KekekalanLatenFasisme pada Twitter. Kekekalan
Laten Fasisme dapat dipesan pada Pionir Books dan outlet daring pilihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar