28 Februari 2017

Populisme, Fasisme seturut Model E-I

Definisi fasisme dan populisme masih rancu dan acap dipertukarkan.
Definisi fasisme dan populisme masih rancu dan acap dipertukarkan.
Foto: LA Times.
Saya harus memodifikasi Model E-I. Di dalam Gua Plato nilai 'E' adalah ekspresi asli sementara nilai 'I' adalah ekspresi palsu. Tingkat teratas pada segitiga di dalam gua, yaitu unsur Filsafat, sebagai puncak (apex), lantas membagikan nilai 'E' atau nilai 'I' pada permutasi tertentu. Itu berarti bahwa, pada awalnya, unsur Politik, Ekonomi, dan Sosial pada suatu permutasi adalah kosong--mereka tidak memuat nilai apa pun. Mereka menantikan puncak, yaitu unsur Filsafat, untuk membagikan nilai 'I' ataupun 'E' pada mereka. Masalahnya, hal itu keliru karena bertentangan dengan pernyataan semula, yaitu bahwa, di dalam gua, nilai 'E' merupakan ekspresi asli.

Apabila nilai 'E' adalah ekspresi asli, nilai 'E' di dalam Gua Plato haruslah merupakan nilai bawaan (default value). Artinya, pada awal mula, alih-alih tidak memuat nilai apa pun alias kosong, unsur Politik, Ekonomi, Sosial, dan juga Filsafat sebagai unsur puncak pada suatu permutasi haruslah memuat nilai asli 'E'. Jadi, permutasi bawaan di dalam gua pun menjadi [E, E, E, E]. Sehingga, di dalam gua, 'E' sebagai ekspresi asli adalah nilai bawaan sementara 'I' sebagai ekspresi palsu adalah nilai alihan. Nilai alihan dibagikan lewat pendekatan atas-bawah dari puncak segitiga dan sewaktu-waktu dapat berbalik ke nilai bawaan (sebagaimana akan dijelaskan di bawah).

Modifikasi di atas perlu dilakukan untuk menjelaskan hubungan antarunsur pada suatu permutasi. Untuk menjelaskannya saya akan memakai fenomena fasisme dan populisme sebagai contoh.

Fasisme adalah 'mengunci'-nya unsur Politik pada unsur Sosial dalam suatu permutasi kala unsur Sosial dilanda Keadaan Takut. Keadaan Takut mengembalikan nilai alihan 'I' pada unsur Sosial tersebut menjadi nilai bawaan 'E'. Peniadaan Keadaan Takut pada unsur Sosial itu akan mengembalikan nilai seperti sediakala, yang dapat berupa 'I' maupun 'E'.

Populisme adalah menguncinya unsur Politik pada unsur Sosial tanpa adanya faktor Keadaan Takut. Tidak seperti fasisme, populisme memiliki segitiga tersendiri di dalam Gua Plato dan berjalan menurut unsur Filsafat yang termuat pada puncak segitiganya. Dengan demikian, populisme berjalan menurut filsafat yang mengaturnya, tetapi fasisme tidak memiliki filsafat sehingga tidak membentuk segitiga tersendiri di dalam Gua Plato. (Faktor Keadaan Takut ibaratnya memungkinkan suatu unsur untuk membajak permutasi induknya.)

Dari dua pengertian tersebut bisa diinduksi bahwa unsur pada suatu permutasi bebas mengunci pada sembarang unsur di bawahnya. Selain itu, unsur yang lebih tinggi dapat mengenakan Keadaan Takut ataupun Cinta Kasih pada unsur yang lebih rendah. Keadaan Takut tersebut bersifat sementara sehingga nilai-nilai pada permutasi yang terdampak sewaktu-waktu dapat berbalik ke nilai semula. Dengan demikian, ada tujuh cara unsur Filsafat bisa mengunci pada unsur di bawahnya (Politik-Ekonomi-Sosial, P-E, P-S, E-S, P, E, S); tiga cara untuk unsur Politik (E-S, E, S); dan hanya satu untuk unsur Ekonomi (S), yaitu dengan atau tanpa mengenakan Keadaan Takut atau Cinta Kasih.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 28 Februari 2017


Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen.
Kekekalan Laten Fasisme
Tulisan di atas ditulis dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen yang diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

20 Februari 2017

Surat Terbuka PM Belanda Mark Rutte

Mark Rutte
Mark Rutte. Foto: weekbladparty.nl.
Kepada semua orang Belanda,

Ada sesuatu yang tidak beres dengan negara kita. Mengapa sebagai negara kita begitu makmur, tetapi ada yang kelakuannya seperti orang susah? Orang-orang yang semakin lama semakin menentukan suasana di negara kita ini. Orang-orang yang siap menghempaskan apa saja yang selaku negara Belanda telah kita bangun lewat kerja keras. Apa mau kita biarkan?
 

Sebagian besar dari kita berniat baik. Para mayoritas-diam. Niat kami tulus terhadap negara kita. Kami bekerja keras, kami bergotong royong, dan kami merasa bahwa Belanda negara yang cukup kerenlah. Namun, kami juga khawatir akan cara kita bermasyarakat. Kenapa ya, kadang-kadang semua orang kok seperti berubah menjadi orang sok?

Anda pasti paham. Orang-orang yang tingkah lakunya seperti semakin asosial saja. Ya dalam berlalu lintas, di angkutan umum, di jalan. Yang merasa dirinya selalu harus didahulukan. Yang membuang sampah di jalan. Yang meludahi kondektur. Atau yang ramai-ramai menongkrong kemudian menjaili, mengancam, atau bahkan mengasari orang yang lewat. Soklah, pokoknya.

Kita merasa semakin gerah bila ada orang-orang yang menyalahgunakan kebebasan kita untuk membuat onar di sini, padahal alasan mereka telah datang kemari ya karena kebebasan itu juga. Orang-orang yang tidak mau menyesuaikan diri, mencela kebiasaan-kebiasaan kita, dan menolak nilai-nilai kita. Yang merecoki orang homo, menyoraki perempuan dengan rok pendek, atau mengatai orang Belanda kebanyakan rasis. Saya sangat bisa mafhum mengapa orang-orang jadi berpikir: kalau sampai sebegitunya kamu menampik negara kami, kenapa enggak angkat kaki sekalian? Pasal, perasaan saya sama. Kalau mau jadi orang sok, sok angkat kaki.

Tingkah laku seperti itu pantang kita anggap biasa di negara kita. Namun, solusinya bukanlah menyamaratakan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, mencela mereka, atau serta-merta mengusir mereka secara massal dari negara kita. Kalau seperti itu caranya bagaimana kita mau membina kehidupan bermasyarakat? Solusi terutama berkenaan dengan mentalitas. Kita mesti mensosialisasikan secara ajek dan bernas apa saja yang dianggap biasa dan apa saja yang dianggap sok di negara ini. Kita harus dengan giat membela nilai-nilai kita.

Pasal, di Belanda berjabat tangan dan memperlakukan semua orang dengan sama itu biasa. Tidak mengusik petugas sosial, itu biasa. Menghormati guru dan tidak menghasut orang lewat vlog. Bekerja mencari nafkah dan menggali potensi diri: biasa. Saling membantu dalam keadaan susah dan melipur orang yang tengah dirundung masalah. Berikhtiar dan tidak lari dari permasalahan, biasa. Saling mendengarkan dengan santun. Alih-alih berperang mulut pada saat kita tidak sependapat tentang sesuatu. Biasa.

Dalam waktu dekat arah negara kita bakal ditentukan. Pertanyaan yang perlu dijawab cuma satu: negara seperti apa yang kita inginkan?

Mari kita berjuang agar kita tetap kerasan di negara kita yang permai ini. Mari kita terus mensosialisasikan apa yang dianggap biasa dan apa yang dianggap sok. Saya yakin kita bisa. Saya yakin bahwa segala sesuatu yang telah kita bangun bersama ini bisa kita kawal bersama. Anda, saya, kita semua. Mari bekerja sama menjadikan negara ini lebih baik. Soalnya, asli: negara kita keren banget. Disuruh pindah pun saya tidak mau. Kalau Anda?

Mark Rutte



Naskah di atas adalah terjemahan surat terbuka Perdana Menteri Belanda Mark Rutte yang dirilis pada 22 Januari 2017 dalam rangka pemilu Belanda yang akan berlangsung pada 15 Maret 2017. (Unduh naskah sumber.)

Bila menyimak isi surat, hal yang menarik ialah bahwa solusi yang ditawarkan oleh Rutte tidak berkenaan dengan perubahan sistem atau pengetatan peraturan, tetapi dengan mentalitas: solusinya berkenaan dengan ranah batin, ranah nonfisik. Hal itu bertolak belakang berbeda dengan pendekatan Geert Wilders, politikus anti-Islam yang menjadi penantang terkuat Rutte dalam bursa calon PM Belanda. Solusi Wilders berkenaan dengan hal ihwal yang berada pada ranah fisik.

Solusi dalam konteks ini berkaitan dengan keresahan dalam masyarakat Belanda yang diakibatkan oleh kelompok masyarakat pendatang asal Maroko, krisis migran Eropa, dan ancaman terorisme. Ada suatu ketidaknyamanan yang sedang dirasakan oleh masyarakat Belanda yang bersinggungan langsung dengan hal kesintasan. Wilders hendak mengatasinya dengan menutup perbatasan dan mendeportasi mereka yang melanggar hukum, Rutte dengan komunikasi sosial.

Keduanya melakukan apa yang menurut hemat saya menjadi tugas utama suatu negara, yaitu mengelola hasrat egoistis bangsa. Hasrat egoistis: kesintasan, kekayaan, kekuasaan, dan keilmuan.

Tata negara telah berkembang sedemikian rupa sehingga berpola pada hasrat-hasrat tersebut, tetapi hal itu--akibat ketidaktahuan--tidaklah diakui secara gamblang sehingga terkesan menjadi kebetulan belaka. Karena hasrat egoistis manusia tidak diakui, yaitu karena ketidaktahuan, negara menjadi sekadar pengelola sumber daya, alih-alih pengelola hasrat bangsa.

Pendekatan Rutte sudah tepat, relatif terhadap pendekatan Wilders. Namun, pendekatan Rutte akan lebih afdal apabila ditambahkan dengan upaya untuk memahami mereka-mereka yang dianggap meresahkan itu. (Pemahaman diraih dari pengetahuan dan adalah jalan menuju kecendekiaan.)

Dengan berusaha memahami, kita justru mengadakan perubahan pada diri kita sendiri, alih-alih mengimbau orang lain untuk berubah. Menurut saya, seseorang hanya akan berubah apabila ada panggilan dalam diri dia sendiri untuk berubah; sebelum itu terjadi segala imbauan hanya akan jatuh di pasir.

Bergiat melakukan pemahaman juga menjadi kunci untuk menggalakkan inklusivisme (lihat I-E Model)--inklusivisme berakar pada tepa salira--dalam, setidaknya, ranah sosial. Untuk menggalakkan inklusivisme pada seluruh ranah kehidupan (permutasi [I, I, I, I] pada I-E Model) dibutuhkan pemahaman mengenai diri kita sebagai manusia. Menurut saya, adalah tugas negara untuk menggalakkan peraihan pemahaman demikian lewat penyelenggaraan sistem pendidikan. Itulah pendidikan yang sesungguhnya; hal-hal lain mestinya disebut pelatihan saja. Dan seharusnya itu pula yang mesti menjadi tugas besar PM Belanda baru yang akan terpilih nanti: membuka jalan untuk Abad Pencerahan II.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 20 Februari 2017



Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen.
Kekekalan Laten Fasisme
Tulisan di atas ditulis dalam rangka terbitnya Kekekalan Laten Fasisme karya Rob Riemen yang diluncurkan pada Sabtu, 4 Juni 2016, di Toko Buku Gunung Agung Margocity, Depok, dengan menghadirkan narasumber Rocky Gerung (FIB UI). Buku dapat dibeli pada Toko Buku Gunung Agung cabang:
  • Jakarta Pusat (Atrium, Kwitang 06, Kwitang 38)
  • Jakarta Barat (Trisakti)
  • Jakarta Timur (Arion, Kramat Jati, Pondok Gede, Tamini Square)
  • Jakarta Selatan (Blok M Plaza, Senayan City)
  • Tangerang Selatan (BSD)
  • Tangerang (Tangcity Mall)
  • Bandung (BIP)
  • Bekasi (Bekasi CyberPark)
  • Depok (Margo City)
  • Semarang (Citraland Semarang, Paragon Mall)
  • Surabaya (Galaxy Surabaya, Surabaya Delta)
  • Denpasar (LIBBI Denpasar)

13 Februari 2017

Selamat Datang, Marco van Basten

Selamat datang di Indonesia, Marco van Basten.
Selamat datang di Indonesia, Marco van Basten. Foto: © Foto-net
Seperti dilansir oleh Netralnews.com, striker legendaris Belanda Marco van Basten bakal mengunjungi Indonesia pada 17 Februari mendatang dalam rangka mengkaji program kerja PSSI selaku Direktur Bina Teknis FIFA, jabatan yang dia emban sejak September 2016. Menurut rencana, mantan striker AFC Ajax dan AC Milan itu akan berada di Indonesia sampai dengan 20 Februari.

Kala masih aktif merumput, teknik Van Basten, dengan gol saltonya ke dalam gawang FC Den Bosch pada Minggu, 9 November 1986, selaku penggawa Ajax dan gol volinya ke dalam gawang USSR pada Sabtu, 25 Juni 1988, selaku penyerang timnas Belanda, sudah terbukti andal, tetapi yang menjadikan sosok yang pada 1992 dibaiat Pemain Terbaik Dunia FIFA itu diakui sebagai salah satu striker terhebat dunia sepanjang masa ialah kecerdasan sepak bolanya. Van Basten tipe pemikir. Van Basten juga tipe kepala batu. Alhasil, dia senantiasa mengikuti jalan yang ditunjuk oleh hasil akhir proses pemikirannya; apa dan bagaimana tanggapan dan anggapan orang lain, itu urusan nanti.

Sebagaimana ditulis oleh Zeger van Herwaarden dalam biografi Marco van Basten. Era AC Milan dan Oranye, sifat Van Basten tersebut mengejawantah dalam bentuk sikap dinginnya kepada media massa dan, kala memperkuat Milan, kegemarannya berdebat soal taktik dengan pelatih Arrigo Sacchi, sesuatu yang pada waktu itu di Italia dianggap kurang lumrah. Dan ternyata, dalam karier sepak bolanya setelah gantung sepatu, baik selaku pelatih (Jong Ajax, timnas Belanda, Ajax, sc Heerenveen, AZ) maupun sekarang sebagai petinggi FIFA, dia tetaplah sama: nyeleneh, kepala batu, cerdas.

Simak saja usul perubahan-perubahan aturan main sepak bola yang belum lama ini dia lemparkan kepada khalayak ramai:
  • bagi lama permainan 90 menit menjadi empat suku jam;
  • batasi pemain pada 60 pertandingan dalam setahun;
  • gantikan adu penalti dengan duel satu-lawan-satu berdurasi delapan detik yang dimulai 22,86 meter dari gawang;
  • hilangkan waktu tambahan;
  • naikkan jumlah pemain pengganti yang boleh diturunkan dari tiga menjadi enam;
  • perkenalkan kartu jingga yang mengirim pemain ke 'kotak pesakitan' selama 10 menit; dan
  • hapus peraturan offside.

Tak pelak Van Basten menuai kontroversi. Banyak yang terutama meradang soal penghapusan peraturan offside itu.

Sesungguhnya, yang disampaikan oleh mantan penyerang dengan koleksi 277 gol itu adalah: keindahan sepak bola sudah luntur. Evolusi jasmaniah pemain telah berdampak pada cara sepak bola dimainkan di lapangan, yaitu karena menyempitnya ruang gerak pemain. (Marco van Basten, abolishing the offside rule and why we need to talk about it.) Menyempitnya ruang gerak pemain lantas berdampak pada berkurangnya kreatifitas pemain. Berkurangnya kreatifitas pemain kemudian berdampak pada lunturnya keindahan sepak bola.

Teknis. Usul Van Basten murni teknis. Bahwasanya usulnya juga bermain-main dengan roh sepak bola, itu urusan nanti. Dan apa roh sepak bola itu? Tribalisme. Roh sepak bola adalah tribalisme. Sepak bola, pada dasarnya, adalah selebrasi hasrat egoistis manusia akan kesintasan. Ia merupakan tarian perang, adu siasat tempur, yang memperhadapkan dua 'suku' yang saling 'bermusuhan'. Mereka yang diturunkan ke medan pertempuran ialah laskar pilihan yang, di bawah komando langsung penggawa skuad, akan membela panji-panji kebesaran suku; tentu saja dielu-elukan akan mengalahkan lawan; dan, pada akhirnya, diharapkan akan tampil sebagai penguasa satu-satunya.

Lewat suatu proses mental Van Basten hendak menghasilkan suatu keluaran berupa emosi. Dengan merekayasa aturan main dia hendak memampatkan intensitas permainan dengan cara meluaskan ruang gerak pemain: sepak bola kembali menjadi indah.

Itu harapannya.

Persoalannya, proses Van Basten itu melewatkan satu langkah penting. Sekarang ini, alih-alih selebrasi hasrat egoistis manusia akan kesintasan, sepak bola menjadi pelimbang hasrat egoistis manusia akan kekayaan. Guna meraih keluaran emosi itu, Van Basten harus terlebih dahulu mengembalikan sepak bola ke sifat asalnya, ke fitrahnya. Dan untuk itu, setidak-tidaknya, dia mesti menentang putusan Bosman.

Pada kasus Bosman, sebagaimana diputuskan oleh Mahkamah Eropa pada 1995, pemain berhak meninggalkan klub-asal secara gratis (free transfer) begitu kontraknya hangus. Lantaran tidak menerima imbalan transfer, pemain bisa meminta bonus transfer (signing-on fee) dan gaji yang besar dari klub tujuan. Pemain yang kontraknya akan berakhir juga dapat meminta kenaikan gaji kepada klub asal, apalagi apabila klub merasa khawatir bakal kehilangan pemain itu melalui mekanisme free transfer. Jadi, putusan Bosman telah mengalihkan kekuasaan kepada pemain, yang lantas mengalihkan kekuasaan tersebut kepada pihak agen. (How the Bosman rule changed football - 20 years on.)

Saat ini, 25 klub terkaya jorjoran mentransfer pemain dalam jumlah uang yang berada di luar jangkauan klub kecil. Akibatnya, kesenjangan antara yang besar dan yang kecil kian melebar. Dan dampak putusan tersebut bukan itu saja.

Pra-Bosman, klub yang berlaga di Eropa diikat oleh peraturan 'tiga-plus-dua', yang berarti bahwa saat berlaga dalam kompetisi Eropa sebuah klub diperbolehkan menurunkan maksimal tiga pemain asing dalam suatu pertandingan, plus dua pemain asing jebolan akademi pemain klub. Pasca-Bosman, klub bebas menurunkan berapa saja pemain Uni Eropa dan bebas merekrut pemain dari negara mana saja di Uni Eropa.

Marco van Basten: tentangi putusan Bosman (setidak-tidaknya secara prinsipiil) dan gantikan dengan mekanisme yang adil bagi klub dan adil bagi pemain. Berlakukan kembali peraturan 'tiga-plus-dua'. Secara umum, selenggarakan perubahan apa pun juga dengan bertolak dari semangat tribalisme: jadikan sepak bola kembali selebrasi hasrat egoistis kita akan kesintasan. Selenggarakan secara global.


Laurens Sipahelut
Tangerang, 13 Februari 2017


'Marco van Basten. Era AC Milan dan Oranye' karya Zeger van Herwaarden.
Marco van Basten. Era AC Milan dan Oranye
karya Zeger van Herwaarden.
Buku pertama yang pernah terbit dari kami untuk, oleh, dan dari pecinta sepak bola. Dengan kata pengantar Ian Situmorang, Pemred Tabloid BOLA.

5 Februari 2017

The I-E Model as an Objective Benchmark to Identify the World's Platonic Make-Up*

Laurens Sipahelut
Translator

The I-E Model outlines the author's world view that combines Plato's allegory of the cave, Bill Murray's 1993 movie Groundhog Day, and PoliticalCompass.org's political chart under a single concept. It will set an objective benchmark against which subjective notions can be measured against and that can be used to identify the Platonic make-up of an individual, a community, a nation, or even that of the entire world.

Plato's allegory of the cave, the first component to the model, forms a metaphysical framework. It depicts the transformation of the desire-driven egoistic state of mind, i.e. the prisoner chained to the wall of the cave, into a desire-free altruistic state of mind, i.e. the prisoner that has been freed from the cave.

Its key idea: humankind's egoistic desires are played out in the physical world but, Plato says, that world is an illusion. The real world, he says, takes place between your ears. As a consequence, change cannot be brought about through the manipulation of things in the physical world; it can only be achieved through the mind. The prisoner that has been freed from the cave knows this to be true.

The second component, the movie, breaks down the metaphysical transformation into four desires the chained prisoner must see out before a breakout from the cave's confines is made possible. The desires are, from base to apex: Survival, wealth, power, and knowledge.

Its key idea: Every person has to go through a progression of desires before a desire-free altruistic state of mind can be achieved.

The third and final component, the political chart, links the metaphysical to the physical. It shows how the desires play out in the physical world with the desire for survival—the chart's social dimension—being represented by the Authoritarianism-Libertarianism y-axis and the desire for wealth—the chart's economic dimension—being represented by the Left-Right x-axis. The desire for power—politics—manipulates the axes not unlike a puppeteer operating a marionette using a control bar.

Its key idea: the people at PoliticalCompass.org brilliantly and astutely reduced the political system to a two-dimensional chart to give account for the social and economic dimensions of politics. It coincides with the progression of desires depicted in Groundhog Day though without acknowledging the desire for knowledge.

Plato making mention of the imperative for philosophers to become kings implies that an additional z-axis representing the desire for power needs to be added to the chart. This allows for the desire for knowledge—philosophy—instead of the desire for power—politics—to operate the control bar, i.e. rule by philosopher-kings instead of by politicians. The model can now be assembled.

First the cave's floor plan needs to be modified. Instead of having a single expanse, a triangular (read: pyramidical) structure will be put in to partition the space into four tiers with the widest section—the base—resting against the cave's wall and the narrowest section—the apex—pointing away from it. Each tier, from base to apex, represents a desire, i.e. survival (at the base), wealth, power, and then knowledge (at the apex). The triangle's tapering shape symbolizes the desires' hierarchical nature as the higher desires form an arch over the lower ones.

With the movie incorporated, next to be incorporated, and by doing so finish the model, is the political chart, but now with the extra z-axis added. The original two-dimensional chart allows for the expression of only the first three desires as it leaves the operation of the control bar to politics (the desire for power) by omitting philosophy (the desire for knowledge). In the cave, this would've had produced a three- instead of a four-tiered triangle but by having the latter in place humankind's desire for knowledge can now be accounted for.

In the original chart, both the axes represent scales extending between two extremes; Left-Right for the x-axis and Authoritarianism-Libertarianism for the y-axis. They point to dualism. What Left and Libertarianism have in common is they are both inclusive just as Right and Authoritarianism are exclusive. The dualism hence pertains to inclusiveness and exclusiveness. This same idea will be applied to the z-axis (politics) and to the control bar, the desire for knowledge aka philosophy.

To incorporate the chart into the model the only thing that needs to be done is making the triangle dualistic in nature and to do so, while also taking into account the triangle's hierarchical nature, the only thing that needs to be considered here is the apex because whatever goes down there will trickle down in an information cascade to the tiers below. So the top tier (philosophy) can be either inclusive ('I') or exclusive ('E') even as it assigns either an 'I' or an 'E' value to each of the other three tiers below it. To allow for all the possible permutations to play out, the apex needs to be given four 'I' and four 'E' values which it can then assign to itself and to the other three remaining tiers. Sixteen permutations are made possible this way:

[Philosophy, Politics, Economics, Sociality] OR [Control Bar, Z-Axis, X-Axis, Y-Axis]

1. [I, I, I, I] 5. [I, E, I, I] 9. [E, I, I, I] 13. [E, E, I, I]
2. [I, I, I, E] 6. [I, E, I, E] 10. [E, I, I, E] 14. [E, E, I, E]
3. [I, I, E, I] 7. [I, E, E, I] 11. [E, I, E, I] 15. [E, E, E, I]
4. [I, I, E, E] 8. [I, E, E, E] 12. [E, I, E, E] 16. [E, E, E, E]

The permutations point to the Platonic make-up (read: states of mind) of an individual, a community, a nation, or even that of the whole world. That is to say, they represent those values prevailing at a given point in time as opposed to those professed on paper (e.g. constitutionally). These values are in a constant state of flux as Fear transforms 'I's into 'E's and Love transforms 'E's into 'I's. (Fascism, for example, is 'I' transformed into 'E' at the social level, i.e. on the model's y-axis.)

Every person has a Platonic triangle as does every group, people, or nation. A triangle's size is determined by the extent of influence the philosophy nested in its apex exercises in the physical world. Smaller triangles are superimposed over larger ones. The world's true borders are not delineated by country but are rather determined by the forces of Fear and Love, and they may shift from time to time in a game of triangles.

As a philosophy cascades down a triangle, it manifests in ever more crude forms of expressions. At its most crude it manifests as a physical structure. For example, people used to build cathedrals, today it's shopping malls: The larger the triangle the more ubiquitous its cathedrals of desires become.

It should be noted that the cave's interior is a desire-driven and therefore an egoism-proper and therefore an exclusiveness-proper environment while its exterior is a desire-free and therefore an altruism-proper and therefore an inclusiveness-proper environment. As a result, inside the cave the 'E' value is a true value while the 'I' is a false value. By the same token, outside the cave the 'I' is a true value while the 'E' is a false one.

Thus expression of the 'I' value inside the cave is but a simulated one, an instance of such principles as the golden rule in action. The default expression is that of the 'E' value. But human beings have an intuitive yearning to evolve and to express the true 'I' value, i.e. to step outside of the darkness of the cave and into the bright light of the open expanse. Thus man's obsession with religion and spirituality and his interpretation thereof in an exoteric light, i.e. as an expression of the false 'I' value. Outside the cave the interpretation becomes esoteric in nature, meaning that of the true 'I' value.

According to Plato, the most important purpose in life should be to look past the veil of illusion and to perceive true reality, something that can apply to individuals (i.e. on a micro scale) and to communities or nations or indeed the whole world (i.e. on a macro scale) alike. However, it is an effort that is as important as it is difficult as it requires a person to have quenched all the egoistic desires save the one for knowledge. The desire for knowledge will then fuel that person's search for answers to the Big Questions, which most certainly will constantly involve putting cherished beliefs through the wringer. And even then true reality will not dawn unless the notions of past and future are quieted and only the now is perceived. It is, however, possible to help the process along by advancing inclusive philosophies, politics, economics, and socialities [I, I, I, I]. Such an endeavor should be in fact the most important thing a nation state could do to justify its existence.


* An earlier version was published as an enclosure to an open letter addressed to Dutch politician Geert Wilders with the subject line A Stupid Open Letter to Geert Wilders Pt 2, dated September 26, 2016. The letter can be accessed online here https://pionirbooks.blogspot.sg/2016/09/a-stupid-open-letter-to-geert-wilders.html.