17 Agustus 2015

Merdeka 1945!; Bebas 2015?


Kuis #KLFIniOpiniku
Pada tanggal 1 Juli s/d 28 Juli 2015 Pionir Books mengadakan sayembara bertajuk #KLFIniOpiniku.
Dalam rangka Kekekalan Laten Fasisme (KLF), esai filsuf Belanda Rob Riemen yang diterjemahkan dari judul asli berbahasa Belanda De eeuwige terugkeer van het fascisme dan yang terbit pada tanggal 1 Agustus 2015, Pionir Books mengadakan sayembara bertajuk #KLFIniOpiniku. Sayembara berlangsung dari tanggal 1 Juli s/d 28 Juli 2015 dan diikuti oleh 105 peserta.

Peserta diminta untuk menjawab satu atau lebih pertanyaan berikut: 
  1. Apa yang kamu rasakan pas nonton berita di TV? (Jawaban peserta.)
  2. Kamu menimba ilmu di sekolah karena... (Jawaban peserta.)
  3. Gambarkan politik di Indonesia cukup dengan satu kata. (Jawaban peserta.)
  4. Apakah kamu mengukur tingkat keberhasilanmu dengan uang? (Jawaban peserta.)
  5. Apa makna hidup bagi kamu? (Jawaban peserta.)
Pertanyaan disusun berdasarkan nukilan berikut dalam KLF:
"Geert Wilders dan gerakannya merupakan prototipe fasisme masa kini. Mereka tidak lain dan tidak bukan hanyalah konsekuensi politik yang logis dari suatu masyarakat yang menjadi tanggung jawab kita semua. Fasisme masa kini tersebut kembali merupakan akibat dari partai politik yang memungkiri paham mereka sendiri, cendekiawan yang membudayakan nihilisme yang malas, perguruan tinggi yang tidak pantas menyandang predikat tersebut, ketamakan dunia usaha, dan media-massa yang lebih memilih menjadi pembicara perut alih-alih cerminan kritis bangsa. Itulah para elite yang korup, yang membudayakan kehampaan rohaniah tempat fasisme bisa kembali tumbuh besar."
 Lanjut Riemen dalam KLF, solusi atas fasisme adalah:
"... menemukan kembali kecintaan akan hidup dan ingin kembali mengabdikan hidup kepada hal ihwal yang sungguh-sungguh memberikan hidup – kebenaran, kebaikan, keindahan, persahabatan, istikamah, belas kasih, dan kearifan –, hanya setelah itu, dan tidak sebelumnya, kita akan menjadi tahan terhadap basil mematikan yang bernama fasisme."
Untuk dapat memahami filosofi Riemen dengan mudah kita akan mengaitkannya dengan sesuatu yang dimiliki oleh setiap orang, yaitu hasrat. Hasrat kita ada empat: Kesintasan, Harta, Kuasa, dan Pengetahuan. Keempat hasrat tersebut menggerakkan hidup manusia dan melandasi setiap tindakan kita.

Hasrat-hasrat tersebut menggerakkan si insan Egoistis, yaitu insan yang melulu ingin mengutip. Kita semua terlahir sebagai insan Egoistis, yang merupakan lawan dari insan Altruistis, yakni insan yang senantiasa ingin mengganjar. Perbedaan lain antara insan Egoistis dan insan Altruistis adalah: insan Egoistis terikat oleh hasrat sementara insan Altruistis terbebas dari hasrat.

Tujuan hidup kita di muka bumi ini adalah membebaskan diri dari hasrat atau, dengan kata lain, mentransformasikan diri dari insan Egoistis menjadi insan Altruistis. Pada akhir proses tersebut pertanyaan-pertanyaan besar akan terjawab. (Film Groundhog Day [1993] besutan Harold Ramis mengisahkan hal ini dengan simpel dan jenaka.)

Pada hasrat pertama – Kesintasan – kita menginginkan pangan, papan, sandang, pasangan hidup; intinya, segala hal yang dibutuhkan untuk dapat bertahan hidup. Hasrat tersebut dapat secara kasar digambarkan sebagai 100% ragawi, 0% rohaniah. Pada hasrat kedua – Harta – kita ingin menghimpun segala hal yang ada pada hasrat pertama. Hasrat ini bersifat 75% ragawi, 25% rohaniah.

Pada hasrat ketiga – Kuasa – manusia berkeinginan untuk mengendalikan harta orang lain. Hasrat ini (sekali lagi, hanya sebagai ilustrasi) bersifat 25% ragawi, 75% rohaniah. Kemudian pada hasrat terakhir – Pengetahuan – manusia menginginkan jawaban atas alasan dia menghasratkan kuasa, harta, kesintasan, dan alasan hidup terasa begitu pahit dan getir. Hasrat ini sifatnya 0% ragawi, 100% rohaniah. Perkembangan hasrat merupakan evolusi alamiah yang memastikan kita kian dalam menjelajahi alam-pikiran sampai kita melepaskan sifat Egoistis dan mengenakan sifat Altruistis.

Hasrat akan Harta merupakan penghimpunan segala yang ada pada hasrat akan Kesintasan. Hasrat akan Kuasa merupakan penghimpunan segala yang ada pada hasrat akan Harta. Hasrat akan Pengetahuan merupakan keinginan manusia untuk memaknai hasrat akan Kuasa, Harta, dan Kesintasan – pada ranah tersebut manusia berkehendak menjawab pertanyaan-pertanyaan besar seperti: apa arti hidup?

Pengetahuan mengenakan pengaruh pada Kuasa, Harta, dan Kesintasan. Pengetahuan menentukan cara dan bentuk manusia mengejawantahkan Kuasa, Harta, dan Kesintasan dalam hidup. Kuasa mengenakan pengaruh pada Harta dan Kesintasan, dan Harta mengenakan pengaruh pada Kesintasan. Yang lebih besar melingkupi yang lebih kecil, mirip susunan boneka matrioska.

Riemen berbicara soal fasisme dan solusi dia atas fasisme adalah: kita harus menemukan kembali kecintaan akan hidup. Untuk itu kita harus mengetahui apa itu hidup (tidak kenal maka tidak cinta) dan apa sesungguhnya kita – manusia, dan untuk itu, sebagai prasyarat untuk dapat mengetahui apa itu hidup dan apa itu diri kita, kita harus dibuat... mampu berpikir secara bebas dan ingin mempertanyakan segalanya. Begitu kita terlatih berpikir secara bebas dan ingin mempertanyakan segalanya kita tidak akan terbelenggu oleh '-isme' – -isme apa saja, termasuk fas-isme. Lalu apabila kita tidak terbelenggu oleh -isme, kita tidak akan merasa terperangkap dalam setiap dari keempat hasrat yang tengah kita lalui, dan apabila kita tidak merasa terperangkap dalam hasrat, kita akan menjadi paham alasan hidup terasa begitu pahit dan getir. Ingat: pemahaman adalah pangkal kearifan. Jadi, solusi Riemen atas fasisme sejatinya berlaku untuk setiap -isme yang sifatnya memandekkan perjalanan kita melewati keempat hasrat tersebut, yang sifatnya menghambat evolusi kita dari insan Egoistis menjadi insan Altruistis.

Segala upaya yang dirancang untuk menjadikan kita mampu berpikir secara bebas dan ingin mempertanyakan segalanya – prasyarat itu untuk menjadi tahu apa itu hidup dan apa itu diri kita – sejati memuliakan manusia. Kita kembali ke sayembara #KLFIniOpiniku.

Menyimpulkan jawaban peserta atas kelima pertanyaan kuis: media massa, pendidikan, politik, dunia usaha, dan cendekiawan di Indonesia tidak mengikhtiarkan agar bangsa kita melangkah ke luar dari gua Plato. Mereka tidak memuliakan manusia. Mereka tidak memanfaatkan kemerdekaan Indonesia untuk membebaskan Indonesia. Ingat: bangsa yang bebas adalah bangsa yang besar. Pada galibnya, sebab pokok keberadaan bangsa kita dalam gua Plato adalah ketidaktahuan.

Menjadikan bangsa kita yang tidak-tahu menjadi tahu, itulah Revolusi Mental yang sesungguhnya. Revolusi yang mesti diujungtombaki oleh pendidikan.

Untuk info terkini tentang Kekekalan Laten Fasisme pantau kicauan ber-tagar #KekekalanLatenFasisme pada Twitter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar